Oleh Rahmat M. Harahap
ARWIN duduk terdiam di kursi yang ada di teras rumahnya. Sekujur tubuhnya lemas seakan tidak punya tulang lagi. Matanya menatap kosong dan dadanya terasa hampa setelah membaca surat putusan pengadilan yang mengalahkan mereka dalam kasus gugatan kepemilikan tanah dan rumah yang dia dan beberapa tetangganya tempati oleh mafia tanah yang berkedok perusahaan pengembang perumahan. Arwin tidak menyadari lagi kertas yang membawa petaka itu terjatuh dari tangannya menggelayap di lantai teras. Sia-sia waktu, upaya, dan uang yang mereka keluarkan untuk membayar pengacara menghadapi kasus ini. Arwin merasa sekelilingnya gelap walau matahari baru beranjak naik, segelap masa depan yang akan dia dan keluarganya hadapi karena kekalahan ini.
Beberapa saat Arwin tidak tahu mau melakukan apa, dia bingung, dan terbodoh. Perlahan dia arahkan matanya memperhatikan halaman rumah. Tatapannya menyapu mulai dari sisi kiri pintu pagar, lalu ke rumahnya, terus ke bagian tengah, melihat berbagai kembang berwarna-warni yang ditanam istrinya tapi kelihatan layu semua dan menghitam di mata Arwin dan terakhir ke bagian kanan halaman, mentok pada serumpun bambu hias yang tumbuh di sana.
Mata Arwin nanar melihat beberapa helai daun kering yang menjuntai di tengah daun bambu yang hijau. Arwin tegak berjalan perlahan untuk melihat lebih jelas. Ternyata daun tersebut bekas sarang burung yang selama ini dibiarkan Arwin dan keluarganya bersarang di rumpun bambu, tapi sekarang ditinggal oleh burungnya. Hati Arwin jadi tidak enak. Apakah burung punya naluri akan terjadinya hal-hal yang tidak baik? Sudah bertahun burung-burung tersebut membangun sarang di bambu hias mereka. Tapi sekarang semua pergi meninggalkan bekas sarangnya. Arwin merasakan perih di dalam dadanya. Dia tegak bersandar di tembok pagar menghadap ke rumah dan keperihan makin menyayat karena tidak lama lagi rumah itu bukan milik mereka lagi.
Menyadari akan kehilangan rumah yang dia peroleh dari hasil keringat bertahun-tahun bekerja sebagai tenaga administrasi di perusahaan perkebunan swasta dan lewat perjuangan berdarah-darah bersama istrinya, mata Arwin dengan sayu melihat ke bangunan rumah di depannya. Mengorek ingatan Arwin pada rumah tempat dia dilahirkan dan dibesarkan kurang lebih dua ratus kilometer dari tempat dia sekarang, nun jauh di kota kelahirannya. Di mana ayah dan ibunya masih tinggal di sana. Sekaligus membangkitkan kembali rasa getir akibat lama tinggal di rumah kontrakan yang sudah bisa Arwin simpan sejak dia punya rumah sendiri.
Rumah tinggal mereka hanya rumah kontrakan, bukan rumah milik orang tuanya. Karena ibunya di umurnya yang sudah kepala enam belum punya rumah, atau tepatnya Ayah Arwin belum mampu membuatkan rumah untuk mereka. Rumah bedeng papan kopel berkolong ukuran lima kali dua belas meter itu tidak akan pernah bisa hilang dari ingatan Arwin.
Kita harus naik empat anak tangga yang terbuat dari semen sebelum masuk ke dalam rumah. Rumah yang sudah termasuk tua karena rumah di sekitarnya tidak ada lagi yang berkolong, sudah lantai semen yang dilapisi keramik. Melewati pintu masuk langsung ke ruang tamu yang berukuran tiga kali lima meter. Di ruang tamu, ada satu set kursi yang disusun membentuk huruf L menempel ke dinding kamar tidur dan sebagian di dinding samping rumah, serta sebuah lemari hias kecil bersandar juga di dinding ini.
Pada malam hari, kedua Abang Arwin tidur di sini. Kursi tamu akan berubah fungsi jadi tempat tidur karena salah satu abangnya selalu tidur di kursi dan abangnya yang satu lagi tidur di tikar yang dibentangkan di lantai. Tidur di ruangan yang bukan diperuntukkan untuk tidur mungkin mimpinya tidak seindah kalau tidur di kamar tidur. Karena abangnya nomor dua lebih sering tidur di rumah kawannya sampai akhirnya pergi merantau meninggalkan rumah kontrakan mereka, mengejar mimpinya untuk punya rumah sendiri.
Kamar tidur pertama ukurannya lebih kecil, yaitu tiga kali empat meter karena ada lorong satu meter menuju ke belakang. Kamar tidur ini adalah kamar tidur saudara perempuan Arwin yang berjumlah tiga orang. Satu di atas Arwin umurnya, dan dua lagi di bawahnya. Di dalam kamar ini ada satu tempat tidur dan satu lemari pakaian. Ada jendela kecil di dinding samping untuk sekadar keluar masuk udara supaya kamar tidak terasa pengap. Tapi seandainya dibuat jendela besar pun kepengapan di kamar ini tidak berkurang karena diisi terlalu padat.
Kemudian berbatasan dinding dengan kamar saudara perempuannya adalah kamar tidur kedua, yaitu kamar tidur ayah dan ibu Arwin. Ukurannya sama dengan kamar tidur pertama dan isinya juga hampir sama, cuma lemari di kamar orang tuanya lebih besar. Ibunya bercerita bahwa mereka, enam bersaudara, dilahirkan di kamar ini. Dengan cerita kelahiran yang berbeda tentunya. Menurut ibunya, dari pertama Pak Haji Ibnu membangun kontrakan ini, keluarga merekalah yang jadi pengontraknya.
Ruangan berikutnya yang bersatu dengan dinding kamar tidur ayah dan ibu Arwin yang sebelah lagi adalah ruang makan yang ukurannya sama dengan ruang tamu. Di sini Ayah membuat tempat tidur untuk Arwin dengan membuat sejenis loteng di dekat jendela. Tingginya kurang lebih dua meter dari lantai, persis di atas jendela. Ukuran dua meter kali satu seperempat meter dan di ujung ruang yang masih tersisa ada tangga kecil untuk naik. Sebuah meja makan kecil yang kursinya hanya dua merapat di dinding arah dapur. Jadi, ruangan ini berfungsi sebagai ruang makan dan tempat tidur Arwin.
Di atas tempat tidur buatan ayahnya, Arwin selama bertahun-tahun sebelum terlelap selalu menyusun khayal punya kamar tidur sendiri dan bertekad suatu saat akan membuatkan rumah untuk orang tuanya. Rumah tempat ayah dan ibunya bisa istirahat dengan tenang tanpa diganggu ketakutan tidak bisa bayar sewa. Tekad yang sudah menjadi motivasi hidup buat Arwin yang dibawa ke tempat dia merantau setelah tamat SMA.
Di sudut ruangan makan, selurusan dengan pintu masuk, ada pintu ke dapur. Dapur hanya ruangan tambahan yang dibuat ayah belakangan atas seizin yang punya kontrakan karena masih ada tanah rumah kontrakan yang tersisa. Lantai dan dinding bangunan utama terbuat dari papan karena berkolong kurang lebih satu meter di atas tanah, sedang dapur lantainya bersemen lebih rendah dari lantai rumah. Di dalam dapur ini ada sebuah sumur yang letaknya di tengah antara dapur mereka dengan dapur bedeng sebelah. Sumur ditutup dinding karena di dekatnya ada WC. Jadi satu sumur untuk dua rumah.
Memori yang penting tentang rumah kontrakan mereka sebenarnya bukan tentang bentuk atau ukurannya, tapi sesuatu yang selalu membekas di jiwa Arwin dan juga saudara-saudaranya tentang tidak enaknya masih mengontrak. Berbagai perasaan selalu membebani, ada rasa rendah diri, ada rasa malu, dan juga merasa tidak dianggap. Berbagai perasaan yang tidak enak tersebut berbaur dengan rasa pesimis untuk dapat memiliki rumah sendiri. Karena umur Ayah yang tidak muda lagi, sudah kecil kemungkinan bisa membuatkan rumah untuk anak istrinya.
Benarlah apa yang pernah Arwin dengar bahwa dalam proses perjalanan hidup harus diusahakan sudah punya rumah sendiri sebelum umur mencapai empat puluh tahun. Karena setelah umur empat puluh tahun, biasanya pengeluaran keluarga akan bertambah besar. Disebabkan anak-anak sudah membutuhkan banyak biaya untuk pendidikan dan keperluan lainnya. Kalau pendapatan tidak bertambah, peluang untuk bisa membangun rumah sendiri jadi sangat kecil.
Arwin merasa ibunya yang paling sedih karena mereka masih mengontrak. Walaupun kesedihan itu tidak pernah dia tunjukkan dihadapan anak-anaknya, tapi Arwin rasakan keperihan yang diderita ibunya karena belum bisa membuatkan rumah untuk tempat tinggal anak-anaknya. Kepedihannya ditutupi dengan memberikan apa pun yang anak-anaknya minta dan kadang sangat berlebihan menurut Arwin. Ibu memanjakan anak-anaknya dengan memasak makanan-makanan yang enak setiap hari, membelikan baju baru hampir setiap bulan. Dan khusus untuk Arwin, Ibu selalu memberikan uang untuk membayari hobi Arwin menonton film India di bioskop. Hobi yang menjadi tempat pelarian dari rasa minder Arwin karena mereka masih tinggal di kontrakan. Dengan memperlakukan anak-anaknya seperti itu, Ibu ingin menunjukkan ke orang lain bahwa mereka sangat bahagia. Untuk membiayai itu semua, Ibu rela setiap hari bangun jam tiga pagi mempersiapkan lontong dan jajanan lain yang akan dia jual pagi hari di pinggir jalan di belakang rumah kontrakan mereka. Ibu tidak mau dibantu mempersiapkan apa yang hendak dia jual. Uang yang Ibu dapat bisa menambah penghasilan Ayah yang bekerja sebagai pekerja bangunan.
“Kalian mau sekolah, tidur harus cukup supaya di sekolah tidak mengantuk dan bisa menerima semua pelajaran dengan baik.” Selalu itu kata Ibu bila mereka mau membantu.
Arwin sering diam-diam bangun kalau ibunya sedang memasak di dapur di subuh yang masih dini. Perlahan dia turun dari tempat tidur dan berjalan pelan ke arah pintu dapur, memperhatikan Ibu yang sedang mempersiapkan bahan jualannya. Hati Arwin selalu terenyuh menyaksikan perempuan yang melahirkannya di temaram lampu dapur sendirian mengerjakan apa yang mau dijual pagi hari nanti. Dingin pagi jadi terasa hangat buat ibunya karena harus bergerak ke sana kemari di dapur yang tidak luas. Dari memeriksa kuah lontong di periuk besar yang terjerang di kompor, menyayat-nyayat kol untuk membuat bakwan dan mengaduknya dengan tepung supaya nanti bisa digoreng, lalu mengupas ubi dan pisang untuk dibuat gorengan. Sampai hari terang, Ibu baru bisa menyelesaikan semua pekerjaannya kemudian ayah dan abangnya membantu mengangkati semuanya ke warung terbuka di belakang rumah yang berada persis di pinggir jalan besar untuk dijual.
Ketika Arwin dan istrinya sudah punya rumah, mereka pernah mengajak orang tuanya untuk tinggal bersama di rumahnya.
“Nak, tempat Ayah dan Ibu tinggal memang masih mengontrak, bukan punya kita. Tapi di kontrakan itulah Ibu bertarung nyawa melahirkan kalian berenam. Bersama Ayah membesarkan kalian dengan segala pahit getir dan suka dukanya. Maka selagi Pak Haji masih mengontrakkannya Ibu akan tetap tinggal di sana merawat semua kenangan yang kita punya. Doakan kami ada rezeki untuk dapat membeli rumah itu bila Pak Haji mau menjualnya, sehingga kami bisa tinggal di sana sampai ajal menjemput,” jawab ibunya.
Jawaban yang tidak ada tawar menawar lagi. Akhirnya, Arwin hanya minta izin ke ibunya supaya diperbolehkan dia yang membayar sewa kontrakan itu dan sampai sekarang masih Arwin yang bayar.
Rasa getir dan rendah diri yang lahir karena lama tinggal di rumah kontrakan seperti momok yang selalu menghantui Arwin dan perasaannya akan selalu tersentuh bila menyangkut rumah untuk tempat tinggal. Saat kedua anaknya lulus PTN di ibu kota provinsi yang jaraknya dari rumah mereka hampir seratus kilometer, dia rela bersakit-sakit membeli secara kredit rumah sangat sederhana untuk tempat tinggal kedua anaknya daripada mereka harus tinggal di kos.
Arwin berjalan kembali masuk ke dalam rumah setelah mengambil surat dari pengadilan yang tercecer di lantai teras, lalu memberi tahu istrinya yang sedang memasak di dapur.
“Kita cuma dikasih kompensasi dua ratus lima puluh juta?” tanya istrinya kaget setelah membaca lengkap surat tersebut. ”Padahal dulu sudah ada yang menawar enam ratus juta,” lanjutnya dengan nada kesal campur putus asa.
Arwin tidak berkomentar. Karena menurut dia tidak ada lagi gunanya membahas apa yang ada dalam surat dari pengadilan itu. Mereka mau banding juga percuma, hanya menguras tenaga dan uang untuk bayar pengacara dan akhirnya tetap kalah juga karena kuku mafia tanah sudah tertancap di semua instansi. Satu-satunya jalan adalah merima uang kompensasi.
HP Arwin di kantong celananya berbunyi. Ibunya menelepon. Arwin mengaktifkan speaker biar istrinya yang masih berada dekat kompor ikut mendengarkan.
“Assalamualaikum, Win.” Suara ibunya datar.
“Walaikumsalam, Bu,” balas Arwin pelan.
“Ibu cuma mau bilang, Pak Haji Ibnu mau jual kontrakan yang kita tempati. Harganya tiga ratus juta, tapi kalau kita yang beli, dikasihnya harga dua ratus tujuh puluh lima juta.” Suara ibunya terdengar lesu tidak bersemangat. “Begitu aja ya, Nak.” Ibunya menutup handphone.
Hampa, tidak berdaya berkelindan di dada Arwin. Istrinya mendekat ikut duduk di kursi meja makan, berhadapan dengan sang suami. Mereka sama-sama diam memikirkan dua berita tidak bagus yang mereka terima pagi ini, membuat rumah yang tinggal mereka berdua saja menempatinya terasa makin sunyi dan hening.
Otak Arwin buntu, tidak bisa memikirkan jalan keluar dari dua masalah yang datang bersamaan. Dia belum tahu apa yang mau dia lakukan setelah menerima uang dua ratus lima puluh juta. Akan ke mana ayah dan ibunya kalau rumah kontrakan mereka dibeli orang lain. Dada Arwin sesak, ada kesedihan mendalam yang dia rasakan karena tidak bisa membantu ayah dan ibunya membayar rumah yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Dia merasa menjadi orang yang paling gagal.
“Bang.” Suara istrinya memanggil di tengah kebisuan.
Arwin tidak menyahut, hanya matanya yang memandang sendu ke arah perempuan yang sudah dua puluh lima tahun lebih jadi pendamping hidupnya. Mereka bertemu karena sama-sama merantau ke daerah ini. Kawan berjuang dari nol.
“Bagaimana kalau uang kompensasi rumah, kita pakai buat membayar rumah Ayah dan Ibu?”[]
Palembang, Februari 2025
Rahmat M. Harahap. Bernama lengkap Rahmat Mulia Harahap, lahir di Kota Padangsidimpuan, Sumatra Utara. Sejak tahun 1995 sampai sekarang tinggal di Kota Palembang. Tulisannya berupa cerpen dan puisi telah dimuat di media online dan surat kabar yang terbit di Kota Medan, Palembang, dan Jakarta. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit: Pembunuh Ibu (2023), Haruskah Kutulis Aku Bahagia? (2024).
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.











