Ruang Baca, Ruang Bertumbuh

Ruang Baca Rimba Bulan bukan sekadar tempat membaca buku, tetapi juga ruang bertumbuh dan berbagi pengetahuan.

Oleh Muhammad Subhan

SORE kemarin saya di Ruang Baca Rimba Bulan. Ini salah satu taman bacaan masyarakat yang tumbuh di Padang Panjang, kota paling kecil di Sumatra Barat. Sejak berdiri pada 2018, Rimba Bulan aktif dalam berbagai kegiatan literasi dan dikunjungi banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri. Buka saja Google, ketik “Ruang Baca Rimba Bulan Padang Panjang”, banyak sekali beritanya di sana.

Kalau tidak ada aktivitas di luar kota, biasanya saya mampir di Rimba Bulan. Ngopi. Lebih sering minum teh telur. Membaca buku. Dan tentu, juga menulis. Tempat ini, meski sederhana, meneduhkan pikiran. Rak-rak buku terbuka, tidak terkunci, diletakkan di beranda rumah baca. Siapa pun boleh membaca tanpa khawatir buku-buku itu hilang atau diambil orang. Bahkan di malam hari, buku-buku itu tetap bersetia menunggu pembaca berikutnya.

Rimba Bulan berdiri pasca pencanangan Padang Panjang Kota Literasi, tujuh tahun lampau. Relawan-relawannya datang dari berbagai kalangan: ada yang masih SMP, SMA, mahasiswa, dan masyarakat umum. Kini, sebagian relawan itu telah tersebar di berbagai kota di Indonesia, juga lulusan perguruan tinggi di luar negeri, seperti Jepang. Di Rimba Bulan saya hadir sebagai pembina sekaligus inisiator ruang baca ini. Pengurusnya ada Alvin Nur Akbar, Jumadil Fajar, Sepriyadi, Rahmi Yulianti, dan beberapa lainnya. Mereka anak-anak muda Kota Padang Panjang yang energik, kreatif, dan aktif di bidangnya masing-masing.

Berbagai kegiatan literasi lumrah di taman bacaan: membaca bersama dan membaca nyaring untuk anak-anak, kelas menulis kreatif cerpen atau puisi, mendongeng dan bercerita, permainan literasi seperti kuis atau tebak kata, hingga kegiatan seni pendukung seperti mewarnai cerita atau membuat kerajinan tangan. Ada juga program pojok baca keliling ke sudut-sudut kampung, bimbingan baca tulis bagi anak usia dini, pelatihan literasi digital agar masyarakat melek informasi, serta program penguatan inklusi sosial.

Namun, Ruang Baca Rimba Bulan tidak sekadar menyajikan bacaan. Rimba Bulan juga rutin mengadakan diskusi inspiratif, mendatangkan para pakar di bidangnya. Dalam sebulan, setidaknya dua kali diskusi digelar. Kemarin, Rimba Bulan menghadirkan Rahma Sari Matondang, pewara profesional yang juga pegiat literasi, untuk berbagi kiat menjadi Master of Ceremony (MC) profesional. Diskusi ini diikuti pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Bahkan ada peserta dari Pasir Pangaraian, Riau, yang sengaja datang untuk belajar langsung.

Rahma Sari membuka diskusi dengan satu kalimat penting: “MC itu bukan hanya pembawa acara, tetapi penjaga suasana.” Seorang MC, katanya, ibarat jembatan penghubung antara tamu undangan, panitia, dan audiens. Tugasnya bukan hanya bicara, tetapi juga menghidupkan suasana, menjaga alur, dan memastikan pesan acara sampai dengan baik.

Dalam diskusi itu, Rahma Sari membagikan beberapa kiat praktis yang bisa diterapkan siapa saja yang ingin belajar menjadi pewara. Seorang MC harus memahami detail acara dari awal hingga akhir. Rundown bukan sekadar catatan, tetapi peta jalan yang harus dikuasai. Kuasai juga intonasi, lafal, dan artikulasi. Suara MC harus tegas, jelas, dan nyaman didengar, tidak monoton, tetapi juga tidak berlebihan. MC profesional wajib riset profil tamu atau narasumber. Jangan sampai salah sebut gelar, jabatan, atau nama. Hal kecil semacam ini bisa merusak kredibilitas pewara.

MC harus peka membaca situasi. Jika suasana mulai garing, ia harus cepat mencari celah humor atau interaksi ringan untuk mencairkan. Selain itu, perhatikan penampilan. Penampilan bukan soal mahalnya jas atau gaun, tetapi soal rapi, sopan, dan sesuai tema acara. Terakhir, seorang MC juga harus punya mental kuat. Sering kali di lapangan, jadwal berubah, tamu datang terlambat, sound system bermasalah, atau situasi di luar prediksi. Di situlah ketenangan dan improvisasi MC diuji.

Dalam diskusi, peserta juga diajak memetakan peluang dan tantangan profesi MC. Peluangnya terbuka lebar. Setiap acara, dari pesta pernikahan, seminar, festival budaya, hingga konferensi internasional, memerlukan pewara. Dunia digital pun membuka ruang baru: MC daring untuk webinar, podcast, atau siaran langsung. Semua ada cuannya. Menggiurkan.

Namun, tantangannya juga nyata. Profesi ini menuntut disiplin waktu, kemampuan membangun jejaring, dan investasi berkelanjutan untuk mengasah kemampuan public speaking. Persaingan pun makin ketat seiring munculnya banyak talenta muda yang fasih teknologi dan punya branding personal kuat di media sosial.

Diskusi sore itu berlangsung hangat. Beberapa pelajar yang awalnya hanya penonton, memberanikan diri tampil praktik menjadi MC, memandu jalannya simulasi acara. Rahma Sari memberikan masukan satu per satu. Ada yang grogi, ada yang masih terbata, tetapi semua merasakan manfaatnya.

Rimba Bulan hari itu tidak hanya menjadi taman bacaan, tetapi juga ruang praktik berbicara di depan publik.

Bagi saya, inilah esensi taman bacaan: bukan hanya tempat membaca buku, tetapi juga ruang bertumbuh, tempat orang saling belajar, saling menularkan keberanian, pengetahuan, dan keterampilan hidup. Di sudut-sudut rak buku yang terbuka, terhampar kesempatan bagi siapa saja yang ingin membuka halaman-halaman baru dalam hidupnya.

Di antara buku-buku di rak kayu, saya kembali tersadar: taman bacaan seperti Rimba Bulan, juga taman-taman bacaan lainnya, adalah perlawanan sunyi terhadap keterbelakangan pengetahuan. Ia menumbuhkan literasi, merawat ingatan, merajut mimpi. Dari sini, siapa saja bisa memulai, entah untuk menjadi penulis, pembicara, pewara profesional, atau sekadar pembaca yang terus mendewasakan diri.

Hari hampir senja, saya masih duduk di beranda Ruang Baca Rimba Bulan, meneguk secangkir kopi. Nun, di kejauhan, rimbun rimba Tandikek, Singgalang, juga Bukit Tui, tampak teduh dan diselimuti kabut. Langit menyimpan gabak. Rinai akan turun.

Jika Tuan datang ke Ranah Minang, melewati Padang Panjang, sempatkan singgah di Rimba Bulan. Ruang baca ini telah menjadi salah satu destinasi wisata literasi yang asyik, meski dari halaman tampak biasa saja. Tapi, terkadang, yang biasa sering menyimpan sesuatu yang luar biasa. Dan, yang luar biasa itu adalah kebersamaan orang-orang di dalamnya yang percaya, bahwa satu buku bisa menyalakan ribuan cahaya, seperti kata “Bulan” yang dilekatkan pada nama ruang baca itu. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan