Riri Satria Ulas Bagaimana Kecerdasan Buatan Bekerja, DKJ Didorong Pelopori Sikap Seniman terhadap AI

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) didorong untuk menjadi pelopor dalam menyusun pernyataan sikap seniman terhadap penggunaan kecerdasan buatan (AI) serta etika dalam dunia kesenian.

JAKARTA, Majalahelipsis.id – Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) didorong untuk menjadi pelopor dalam menyusun pernyataan sikap seniman terhadap penggunaan kecerdasan buatan (AI) serta etika yang harus diterapkan dalam dunia kesenian.

Isu ini menjadi sorotan utama dalam seminar singkat bertajuk “Etika Kreasi di Era Digital Vol II: Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI” yang digelar DKJ bersama Jakarta Poetry Slam serta Kongsi 8 di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jumat (7/3/2025).

Acara itu membahas tantangan dan etika penggunaan AI dalam dunia kreatif secara kritis dan mendalam.

Seminar menghadirkan sejumlah pakar di bidangnya, antara lain Riri Satria (Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI untuk Digital, Siber, dan Ekonomi serta Komisaris Utama PT ILCS Pelindo Solusi Digital), Dr. Saraswati Dewi (dosen Filsafat Universitas Indonesia), dan Dimaz Prayuda (pakar hukum hak cipta).

Moderator dalam diskusi ini adalah Bageur Al-Ikhsan (penulis dan aktivis kesenian) serta Antonia Timmerman (jurnalis teknologi dan bisnis).

Dalam sesi diskusi, Riri Satria menjelaskan bagaimana AI bekerja dan perannya dalam ekosistem kreatif.

“Dengan memahami AI secara proporsional, kita dapat mengindahkan aspek hukum dan etika dalam profesi seni. Isu hak cipta menjadi krusial dalam dunia kesenian,” ungkapnya.

Salah satu contoh menarik dalam diskusi ini adalah Code-davinci-002, sebuah mesin berbasis AI yang dikembangkan OpenAI sejak 2021.

Mesin ini mampu menghasilkan kode pemrograman dan puisi berdasarkan teks deskriptif yang diberikan.

Dalam eksperimen terbaru, AI ini bahkan menulis autobiografi dalam bentuk puisi, yang diterbitkan dalam buku I am Code: Poetical Autobiography by Code-davinci-002.

“Pertanyaannya, jika AI dapat menciptakan karya seni, bagaimana etika penggunaannya? Apakah AI bisa disebut sebagai pencipta? Atau tetap manusia yang memiliki hak cipta?” ujar Riri Satria.

Riri menambahkan, perspektif filsafat sangat penting dalam memahami keberadaan AI.

“AI hanyalah alat yang bekerja berdasarkan algoritma dan data yang diberikan manusia. Kecerdasannya bersifat buatan. Oleh karena itu, manusialah yang harus tetap menjadi subjek utama,” jelasnya.

Dalam pemaparannya, Riri Satria juga menekankan pentingnya prinsip berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS) dalam menghadapi perkembangan AI.

Foto bersama usai acara. (Foto: Majalah elipsis)

“Bencana akan datang bagi manusia yang hanya memiliki kapasitas berpikir rendah (lower order thinking skills/LOTS). AI membutuhkan referensi manusia untuk membentuk struktur dan pola. Oleh karena itu, kita perlu manusia yang mampu memaksimalkan HOTS, bukan sekadar LOTS,” tegasnya.

Lebih lanjut, Riri menyoroti perlunya regulasi yang jelas terkait penggunaan AI dalam berbagai bidang, termasuk kesenian.

“Pemerintah harus hadir untuk mengatur penggunaan AI, karena tidak semua masyarakat memahami teknologi ini. Organisasi profesi juga harus memiliki regulasi khusus terkait pemanfaatan AI dalam bidangnya masing-masing,” ujarnya.

Dalam konteks hukum dan regulasi, Riri mengacu pada Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.

Prinsip-prinsip yang diatur dalam surat edaran tersebut mencakup inklusivitas, kemanusiaan, kredibilitas, akuntabilitas, transparansi, keamanan, perlindungan data pribadi, serta kekayaan intelektual.

“Nilai-nilai ini bertujuan memastikan bahwa AI dikembangkan secara bertanggung jawab dan memberikan manfaat luas bagi masyarakat,” jelasnya.

Diskusi ini diharapkan dapat menjadi pijakan awal bagi komunitas seniman untuk memahami dan menyusun sikap terhadap penggunaan AI dalam dunia seni.

Dewan Kesenian Jakarta pun didorong untuk memimpin kajian lebih mendalam mengenai etika AI dalam ranah kesenian.

Acara diakhiri dengan sesi tanya jawab yang interaktif, di mana para peserta, termasuk seniman, akademisi, dan pengamat teknologi, menyampaikan pandangan mereka tentang masa depan AI dalam dunia kreatif.

Semua pihak sepakat bahwa teknologi AI harus digunakan secara bijaksana, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan hak cipta.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan