Riri Satria dan Re-Install Jagat Sastra Milenia
Melalui semangat Re-Install Jagat Sastra Milenia (JSM), komunitas ini terus tumbuh menjadi ruang belajar dan berkarya bagi para penulis Indonesia di era disrupsi digital.
Oleh Muhammad Subhan
MESKI sudah lama mengenal sosok Riri Satria sebagai seorang dosen, pakar transformasi teknologi digital, dan pegiat sastra, namun pertemuan pertama kali dengan Uda asal Kota Padang, Sumatra Barat, ini justru terjadi jauh dari kampung halaman kami—di Ubud, Bali.
Ketika itu tahun 2017, saat novel saya Rumah di Tengah Sawah terpilih sebagai satu dari 913 karya yang lolos kurasi Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) bersama 15 penulis muda lainnya dari berbagai kota di Indonesia. Di jantung Ubud yang tenang dan penuh aura seni itu, saya melihat bagaimana Uda Riri hadir dengan semangat luar biasa, membawa “pasukan” penulis muda Indonesia untuk ikut merayakan pesta sastra terbesar di Asia Tenggara itu.
Di sanalah kami pertama kali berkenalan dan saling bertukar buku. Sebuah pertemuan singkat, namun membekas.
Beberapa tahun kemudian, kami kembali bertemu di sejumlah acara sastra di berbagai kota. Karena sama-sama berasal dari Ranah Minang, perbincangan kami sering kali mengalir ringan, dari soal sastra, teknologi, hingga perubahan zaman. Dari pergaulan itu barulah saya tahu, di balik sosok yang ramah dan rendah hati itu, Uda Riri adalah seorang yang menapaki berbagai peran penting: dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, komisaris di perusahaan BUMN bidang digital, hingga staf khusus di Kemenko Polhukam, sekaligus penyair yang produktif.
Pandemi Covid-19 menjadi babak baru dalam kehidupan banyak orang, termasuk saya. Saat aktivitas literasi bergeser ke ruang daring, saya memulai kelas menulis yang kemudian bertransformasi menjadi Sekolah Menulis elipsis. Di tengah suasana pandemi yang mencekam, Uda Riri kerap hadir memenuhi undangan saya, berbagi ilmu tentang menulis, teknologi, dan masa depan literasi.
Ia selalu menyambut setiap ajakan dengan kesediaan dan ketulusan yang sama, bahkan setelah elipsis berkembang menjadi Majalah Digital elipsis dan Majalahelipsis.id, beliau berkenan menjadi salah seorang penasihat.
Bagi saya, Uda Riri bukan sekadar narasumber atau penasihat, tetapi sahabat yang punya semangat berbagi dan membangun jejaring kreatif yang kuat. Dan, semangat itu pula yang kemudian saya lihat tumbuh dalam komunitas yang ia dirikan: Jagat Sastra Milenia (JSM).
Tepat pada 10 Oktober 2025, hari ini, JSM genap berusia lima tahun. Dalam catatannya di Facebook berjudul Re-Install JSM, Uda Riri menulis refleksi mendalam tentang perjalanan komunitas ini. Lima tahun lalu, mereka mendeklarasikan JSM di Jakarta dengan visi yang sederhana namun kuat: “Menjadi rumah belajar dan berkarya bersama dalam upaya memajukan kesusastraan Indonesia.”
Logo JSM sendiri menggambarkan semangat zaman: pena bulu ayam merah sebagai simbol keberanian dan kelenturan menulis, buku sebagai lambang ilmu dan keabadian karya, serta awan biru teknologi cloud—simbol dunia digital yang kian mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan sastra.
Bagi Uda Riri, logo itu adalah representasi roh JSM: menulis dengan keberanian dan tanggung jawab, belajar tanpa henti, serta memanfaatkan teknologi untuk memperluas jangkauan sastra.
Lebih jauh disebutkan, selama lima tahun berdiri, JSM Press telah menerbitkan 28 buku, mulai dari puisi, esai, hingga novel karya para anggota komunitas. Enam buku puisi baru juga siap terbit. Semua melalui proses evaluasi, bukan sekadar selebrasi.
Di tengah arus deras konten digital yang sering cepat berlalu, JSM justru meneguhkan pentingnya kualitas dan keberlanjutan karya.
Namun, jalan menuju lima tahun bukan tanpa badai. Seperti dicatat Uda Riri, ada pendiri yang berpulang, ada pula yang memilih jalan sendiri. Program-program sempat tersendat, dan persoalan pendanaan tak bisa dihindari. Tetapi badai itu justru menempa JSM untuk melakukan re-install, memulai kembali dengan semangat baru, menata ulang sistem, memperbaiki yang salah, dan menyesuaikan diri dengan zaman.
Dalam semangat Re-Install JSM, saya membaca sesuatu yang lebih dari sekadar refleksi organisasi. Di sana ada pelajaran penting tentang keberanian menghadapi perubahan, tentang bagaimana dunia sastra mesti menanggapi era disrupsi digital bukan dengan ketakutan, tetapi dengan kreativitas.
Uda Riri Satria sendiri sudah lama berbicara tentang hal ini. Dalam buku-bukunya seperti Trilogi Proposisi Teman Ngopi dan Jelajah, ia mengaitkan teknologi, ekonomi, dan sastra dalam satu tarikan napas. Ia memandang bahwa kecerdasan buatan (AI), teknologi cloud, dan jejaring digital bukan ancaman bagi sastra, melainkan peluang baru bagi penyair dan penulis untuk memperluas ruang imajinasi.
Di berbagai forum sastra—dari Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival hingga Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT)—Uda Riri selalu menekankan pentingnya etika kreasi di era digital. Puisi, katanya, tidak boleh kehilangan ruhnya meski ditulis dengan bantuan mesin. Justru di situlah letak tantangan penyair masa kini: mempertahankan kemanusiaan dalam dunia yang semakin algoritmis.
Sebagai sesama penulis yang hidup di masa peralihan ini, saya merasa JSM adalah simbol dari jembatan antara generasi. Ia memadukan semangat literasi konvensional dengan keberanian menembus dunia digital.
Di tengah banyak komunitas sastra yang mati suri, JSM tetap hidup, aktif, dan melahirkan karya.
Di sanalah kekuatan sebenarnya komunitas ini, menjadikan sastra bukan sekadar kegiatan, tetapi ekosistem belajar dan berkarya yang berkelanjutan.
Kini, pada usia ke-5, Jagat Sastra Milenia bukan hanya komunitas, tetapi juga gerakan. Gerakan untuk terus membaca, menulis, dan berdialog di tengah dunia yang berubah cepat.
Dan, di balik itu semua, ada sosok Riri Satria—penyair, dosen, teknolog, dan sahabat—yang dengan rendah hati terus menyalakan api pengetahuan di tengah ruang digital yang luas.
Dirgahayu Jagat Sastra Milenia. Semoga semangat re-install itu menjadi inspirasi bagi semua pegiat literasi Indonesia untuk terus menulis, belajar, dan menghidupkan cahaya sastra di era yang serba digital ini. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, pendiri Sekolah Menulis elipsis.
Foto saat pertama kali bertemu Uda Riri Satria pada UWRF 2017 di Ubud, Bali.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Ayu K. Ardi











