Oleh Pasini

LALU Alan lebih banyak mengurung diri di kamar kerjanya yang pengap layaknya kelomang dan cangkang. Berada di sebuah dunia seluas 3 x 4 meter sampai pagi di hari berikutnya. Ia beralasan menyelesaikan pekerjaan kantor di rumah, tetapi bagi Rinjani itu alibi menghindari.

Secangkir kopi, sepiring pisang goreng panir dengan parutan keju, dan sesungging senyum, sering kali berakhir abai. Ketukan pertama, kedua, seterusnya, hanya dibalas oleh dengingan sekoloni nyamuk. Rinjani masih bertahan di ambang pintu ruang kerja Alan sampai satu jam kemudian. Sampai kakinya terasa pegal, dadanya semakin sesak, matanya semakin panas, hatinya semakin perih. Lalu berakhir menyerah dengan membuat pilihan pergi ke kamar tidur mereka, yang kini seolah tertasbih menjadi kamarnya sendiri.

Rinjani merasa, mungkin ia akan kehilangan Alan. Sebagaimana ia kehilangan Ayah Lama yang merupakan kehilangannya untuk pertama kali. Kehilangan mungkin sengaja diciptakan Tuhan sebagai pintu pembuka bagi kehilangan berikutnya. Terbukti bahwa Rinjani akhirnya mengalami kehilangan-kehilangan semenjak ia kehilangan Ayah Lama. Bahkan sampai pada kehilangan hal yang paling berharga.

Tetapi ada kehilangan yang dapat kembali. Meski tidak serta-merta membuat keadaan bisa seperti mula lagi. Dan itu adalah kembalinya Ibu.

Perempuan jelang paruh baya itu akhirnya pulang ke tanah air dari negeri padang pasir. Setelah selama enam tahun ia hanya muncul sebagai selentingan kabar lewat tulisan tangan yang tertuju ke alamat: Blok IX, Kamar No. 19, ASRAMA PUTRI. Yang lebih sering muncul tentu saja sosok Ibu dalam bentuk mimpi yang menghiasi ruang imaji seorang gadis kecil yang terpetik jauh sebelum meranum.

“Astaga, Nduk. Kau seperti tinggal di penjara saja. Keadaanmu bahkan jauh lebih buruk daripada dayang-dayang Cleopatra yang diceritakan Wan Harun padaku.” Lalu Ibu memeluk erat tubuh Rinjani yang hanya membalasnya dengan sikap diam. Karena hanya itu yang Rinjani pelajari selama ini.

Entah kapan tepatnya terakhir kali Rinjani dapat berbicara lancar. Tentunya jauh sebelum masa itu, masa di mana hujan menderas yang ditingkahi petir dan angin ribut, di mana ia mengambil sekotak lilin untuk memberi kamarnya sebuah cahaya remang, di mana ia hanya bisa meringkuk di sudut ruangan dan melirih, “Ah…. “

Ibu akhirnya membeli sebuah rumah berdinding bata dari rial-rial yang ia kumpulkan. Rumah masa kecil Rinjani yang berdinding kayu dan merekam jelas wajah Ayah Lama telah dijual untuk keperluan mengurus visa, paspor, dan sejenisnya.

“Kau beruntung dapat majikan yang baik,” komentar seorang tetangga yang datang bertamu. Disuguhi kurma, air zam-zam, dan bualan cerita.

“Itu karena ana pandai menyenangkan hati Wan Harun. Ente juga bisa pergi ke sana kalau mau. Ana punya banyak koneksi,” kata Ibu setengah berbisik, selayaknya ada mata dan telinga di balik pintu, dan apa yang dikatakannya berhukum haram dibuka di muka umum.

Padahal Rinjani justru sedang mengeram di kamar. Persis seperti induk ayam dengan telur-telurnya. Ia tidak tahu persis bagaimana perasaannya meskipun ibunya kini sudah kembali. Bayangan seorang induk yang mampu melindungi terhenti saat Rinjani berusia sepuluh tahun. Ayah Rinjani baru meninggal beberapa bulan, tapi Ibu sudah membawa lelaki berbeda.

“Aku tidak mau Ayah yang baru, Bu,” elak Rinjani ketika itu. Tentu saja waktu itu ia masih lancar bicara. Keyakinannya masih penuh, bahwa Ayah, Ibu, dan rumah, adalah tempat yang terbaik dan aman. Hanya Ayah yang sudah tidak ada. Ada dua terbaik yang lain sehingga Rinjani masih merasa hidupnya akan aman-aman saja.

“Jani, tentu kau tahu bahwa ‘meninggal’ tidak sama dengan ‘pergi’, kan?”

“Aku tidak apa-apa tidak memiliki Ayah. Aku masih punya Ibu. Dan Ibu masih punya Jani, kan?”

“Tetapi Ibu tidak punya suami, Rinjani,” kata Ibu dengan nada semakin ditekan. Rinjani menyadari bahwa pembicaraan mulai tak nyaman. Ada beberapa ketidak-mengertian yang terpaksa ia tahan karena Ibu menunjukkan wajah masam. Jika Ayah bisa digantikan Ibu sehingga Rinjani tidak merasa kehilangan, kenapa ia tidak bisa menggantikan Ayah di hidup Ibu?

Lalu Ibu menikah dengan lelaki baru itu. Serumah dengan Rinjani. Sesuai permintaan Ibu, Rinjani pun memanggilnya “Ayah”. Meski ia tidak seperti Ayah sebelumnya yang pergi pagi dan pulang senja lalu disambut dengan uap kopi di atas meja. Lalu wajah Ibu secerah bohlam saat tangan Ayah Lama mengulurkan lembar-lembar berwarna merah. Tetapi sekarang justru kebalikannya. Ibu yang justru harus menguras tabungan dan menjual barang-barang di rumah untuk menghasilkan lembar-lembar merah itu.

“Aku mencari suami untuk menghidupi, bukannya benalu. Aku bukan inang bagimu dan anakmu itu.”

Ibu dan Ayah Baru makin rajin bertengkar. Rumah makin meriah layaknya dilengkapi petasan yang berwujud makian dan banting-membanting barang. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyentuh hitungan tahun.

Lalu, Ayah Baru pergi dari rumah Rinjani. Pergi yang tidak ada bedanya dengan meninggal karena sama-sama tidak kembali. Meskipun alasannya adalah bercerai. Rinjani tahu saat tak sengaja menemukan surat pengesahan yang dikeluarkan pengadilan agama. Sejak itu Ibu semakin murung sebagaimana Rinjani.

Rinjani tidak bisa kembali tersenyum dan banyak bicara seperti sebelumnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya dan tidak bisa terurai. Padahal Ayah Baru telah pergi sebagaimana keinginannya yang tidak pernah menghendaki pernikahan Ibu. Tapi sebagian besar hari-harinya tetap saja ia habiskan dengan mengeram di kamar. Memandangi alamander dari jendela kamar, pun memeluk foto mendiang Ayah Lama yang berada di balik pigura. Semua dilakukan Rinjani sembari diam. Membaca buku pun tanpa suara. Bahkan batuk, bersin, sampai kentut pun ia latih untuk jangan sampai menimbulkan bunyi. Karena berbicara adalah bahaya. Itu doktrin yang membelenggu kepala Rinjani. Kepatuhan yang tidak bisa ia lepaskan.

Ibu terlalu sibuk untuk sekadar menyadari bahwa Rinjani sekarang lebih suka gelap. Tidak remang. Lebih-lebih terang.

Dulu setiap kali listrik padam, Rinjani akan berteriak ketakutan. Lalu Ibu akan buru-buru mencari sekotak lilin yang selalu siaga di dekat ketiga almari ruang tamu. Ayah Lama mengeluarkan korek dari dalam saku baju. Tapi tidak hanya korek. Beberapa buah permen juga. Yang akan ditaruh mengelilingi lilin yang dinyalakan tadi. Rinjani baru akan mendapatkan permen-permen itu setelah menyanyikan lagu ulang tahun. Rinjani protes. Hanya kue yang boleh bersanding dengan lilin. Tapi Ayah Lama mengelak. Permen juga boleh. Karena mereka sama-sama manis.

Ayah Lama adalah sebaik-baiknya pelindung bagi Rinjani. Bukan Ibu. Karena Ibu bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri saat Ayah Baru memberikan berulang tamparan ke pipinya, memberikan pukulan ke bahunya. Pasti sakit rasanya dan Rinjani tidak ingin mengalami sakit yang seperti Ibu. Dan satu-satunya cara yang ia tahu adalah diam.

Rinjani baru sedikit membuka mulutnya kembali saat Ibu mengajaknya bicara dengan wajah tegang.

“Kau tiga belas di tahun ini, Nduk. Ibu yakin kau bisa mengurus dirimu sendiri. Karena itu akan kukirim ke sekolah lanjutan yang berasrama saja. Ibu ingin menjadi TKI. Di sana Ibu bisa mengumpulkan lebih banyak uang.”

Kepala Rinjani berisi bantahan bahwa selama ini ia memang sudah mengurus dirinya sendiri dan itu bukan dikarenakan ia sudah bukan anak kecil. Tapi karena Ibu yang biasa mengurusnya justru sibuk bertengkar dengan Ayah Baru. Selain itu Ibu juga sibuk bersedih.

“Terserah Ibu saja.”

Setelahnya, Rinjani kembali bungkam. Meskipun Ibu berulang-kali memeluk sebelum kepergiannya dengan menyeret sebuah koper besar. Meskipun tangis terus menderai layaknya ada telaga air asin di balik ceruk mata Ibu. Yang Rinjani tahu, ia hanya diperintah untuk diam.

*

“Alan adalah lelaki yang baik. Ibu bisa pergi dengan tenang.” Lalu Ibu menutup mata, pamungkas dari rasa sakit yang menderanya begitu lama.

Alan, lelaki yang dipilihkan Ibu, tidak hanya baik. Tetapi juga lugu. Tidak ada tanya apalagi kecewa kenapa tidak ada bercak merah di atas seprai pada malam setelah hari pernikahan, kenapa punyaku cukup mudah menerobos punyamu selayaknya pernah ada punya orang lain yang membukanya lebih dulu.

Rinjani mencontoh apa-apa yang pernah dilakukan mendiang Ibu untuk mendiang Ayah Lama. Bangun lebih dulu. Sarapan tepat waktu. Aroma khas kopi dengan uapnya yang berkepul hangat. Rumah yang bersih dengan tetaman berisi lili, bugenvil, anggrek, mawar. Baju-baju yang tersetrika rapi lalu ditaruh di almari selayaknya gantungan koala pada sebatang pohon atau kelelawar pada langit-langit gua.

Sampai suatu ketika, Alan pulang membawa seorang lelaki muda.

“Sayang, kakakku akan tinggal dengan kita untuk sementara waktu. Sampai pertengkaran dengan istrinya mereda dan ia bisa pulang ke rumahnya lagi.”

Tubuh Rinjani mendadak kaku bagai sebuah tongkat kayu. Selayaknya ular dimantrai dalam sebuah cerita nabi. Tapi celakanya, tubuh kaku Rinjani tidak sakti dan tidak dapat membelah lautan menjadi sebuah jalan. Tubuh itu hanya mampu berlari ke dalam, lalu meringkuk di sudut kamar. Setelahnya, kekakuan itu beralih menjadi ketakutan yang begitu besar. Sampai-sampai Rinjani hanya mampu melirihkan sebuah tangis tertahan.

“Bukankah kata ibumu dulu, kau pernah punya seorang kakak?” Alan menggedor-gedor pintu kamar. Tiada jawaban. Digedor makin keras. Rinjani di dalam makin ketakutan. Makin meringkuk. Tubuhnya seakan menyusut menjadi sebesar kelingking.

Kakak… kakak… kakak.

Kata itu bagai sebuah jangkar maha jauh yang mampu menjangkau sampai ke kedalaman ingatan Rinjani, mengail kembali apa yang pernah ingin ditenggelamkannya sampai ke palung atau kerak bumi.

Seorang remaja tanggung. Beberapa tahun di atas Rinjani. Badannya besar dan tinggi. Dibawa lelaki baru dan Ibu berkata, “Kalian bisa jadi teman yang baik. Oh tidak, ia lebih pantas sebagai kakakmu.”

Lelaki tanggung mengulurkan tangan dengan sikap ganjil. Senyum yang aneh, tatapan yang aneh. Setidaknya itu yang ditangkap oleh sepasang mata Rinjani. Tetapi Ibu dan calon Ayah Baru justru tertawa-tawa dengan keyakinan penuh bahwa mereka berempat akan menjadi keluarga bahagia.

Malam-malam ketika Ibu lagi-lagi menangis setelah bertengkar dengan Ayah Baru, lelaki tanggung mendatangi Rinjani dengan langkah pelan. Membekap mulutnya. Menindih tubuh Rinjani. Disaksikan liukan api lilin ke kanan dan ke kiri. “Aku bisa melakukan lebih dari apa yang dilakukan ayahku pada ibumu. Jadi sebaiknya kau diam!”

Rinjani menangis, tapi kemudian memelankannya karena begitu ketakutan. Tangannya sakit, dadanya sakit, terutama sekitar selangkangannya. Rinjani sampai harus meringis saat ingin buang air kecil dan cairan yang keluar pertama kali dari kemaluannya berupa percik darah dan bukannya kekuning-kuningan.

Setiap kali mereka tidak sengaja berpapasan di ruang tamu, di dapur, di ruang tengah, Rinjani menjelma sebutir debu yang berhadapan dengan puting angin. Rinjani kecil begitu ketakutan, tetapi yang bisa dilakukannya hanya diam.

Kejadian yang sama terulang lagi. Dan lagi. Tidak hanya ketika malam dan diremangi cahaya lilin. Tetapi juga ketika siang dan tak ada siapa-siapa di rumah yang awalnya diyakini Rinjani adalah tempat terbaik yang akan menjaganya sebagaimana Ibu dan Ayah Lama. Keadaan telah berbalik. Satu-satunya tempat teraman sekarang adalah gelap karena Rinjani bisa bersembunyi di kolong ranjang tanpa bisa ditemukan.

Ada mata yang selalu berkilat penuh kemenangan menyaksikan tubuh ringkih Rinjani dengan pakaian lusuh, meringkuk di sudut kamar dan bergumam kesakitan, “Ah…. ” []

Pasini. Mitra BPS Kabupaten Ngawi sebagai tenaga entri data. Menulis cerpen yang pernah tersiar di sejumlah media cetak dan daring. Salah satu cerpennya masuk sebagai nominasi cerpen terbaik dalam Anugerah Sastramedia (2022).

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Pasini

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan