Revolusi AI dalam Kedokteran, Riri Satria: Dari Deep Blue hingga Masa Depan Medis

Kecerdasan buatan (AI) telah mengalami perkembangan pesat dan kini memainkan peran penting dalam dunia kedokteran, mulai dari diagnosis hingga perawatan pasien, dengan meningkatkan akurasi dan efisiensi layanan medis.

PADANG, Majalahelipsis.id — Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah mengalami perkembangan pesat sejak pertama kali diterapkan dalam permainan catur pada tahun 1958.

Saat itu, penelitian di bidang AI masih dalam tahap awal, dengan tujuan meniru kecerdasan manusia dalam menyelesaikan masalah.

Namun, pada tahun 1997, superkomputer IBM Deep Blue mencatat sejarah dengan mengalahkan juara catur dunia, Gary Kasparov.

Peristiwa ini menjadi titik balik dalam pengembangan AI, membuktikan bahwa mesin dapat berpikir dan mengambil keputusan secara mandiri.

Baca juga: Peran AI dalam Kedokteran, Riri Satria: Dokter Harus Siap Beradaptasi

Dalam seminar singkat bertajuk “Bagaimanakah Teknologi Kecerdasan Buatan Bekerja?” yang diselenggarakan Program Studi Spesialis Dermatologi, Venereologi, dan Estetika Fakultas Kedokteran Universitas Andalas di Rumah Sakit Umum Dr. M. Djamil Padang dan diikuti para dokter, calon dokter spesialis serta dokter muda, Kamis (6/3/2025), pakar transformasi teknologi digital sekaligus Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan RI, Riri Satria, menyoroti bagaimana AI kini berperan besar dalam dunia kedokteran.

“AI telah menjadi game changer dalam berbagai bidang, termasuk kedokteran. Dengan teknologi ini, kita tidak hanya mengotomatiskan tugas-tugas medis, tetapi juga meningkatkan akurasi diagnosis, efisiensi perawatan pasien, dan percepatan pengembangan obat,” ujar Riri Satria, yang juga merupakan dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

Bagaimana AI bekerja? Riri menjelaskan bahwa kecerdasan buatan pada dasarnya adalah kemampuan komputer untuk berpikir dan belajar seperti manusia.

Baca juga: Riri Satria: Suka Tidak Suka, Mesin AI Sudah Mampu Ciptakan Puisi

“AI mempelajari pola dari data yang tersedia melalui algoritma machine learning dan deep learning. Jika machine learning adalah cara belajar yang umum bagi manusia, maka deep learning dapat diibaratkan sebagai pola belajar manusia yang sangat cerdas,” ungkapnya.

Dalam prosesnya, papar Riri, AI bekerja dengan menganalisis data, melatih model, membangun prediksi, dan terus memperbarui pemahamannya melalui umpan balik (feedback).

Meskipun AI dapat meniru pola berpikir manusia, Riri menekankan bahwa teknologi ini tidak memiliki pemaknaan atau rasa seperti manusia.

“AI bekerja melalui simbol dan kalkulasi matematis tanpa memahami makna yang sebenarnya, sehingga sentuhan manusia tetap dibutuhkan dalam pengambilan keputusan medis,” tambahnya.

Peran AI dalam Dunia Kedokteran

Lebih lanjut Riri Satria menguraikan, dalam dunia medis, AI telah diterapkan dalam berbagai aspek, mulai dari diagnosis, pengobatan, hingga manajemen rumah sakit. Salah satu contoh nyata adalah dalam bidang radiologi, di mana AI digunakan untuk menganalisis citra medis seperti MRI, CT scan, dan rontgen guna mendeteksi penyakit seperti kanker dan pneumonia dengan akurasi tinggi.

“Teknologi AI sering kali lebih cepat dan akurat dalam mengidentifikasi pola penyakit dibandingkan manusia,” jelas Riri.

Selain itu, AI juga memainkan peran penting dalam pengembangan obat. Dengan menganalisis miliaran senyawa kimia, AI dapat mempercepat proses penemuan obat yang efektif, bahkan mengurangi biaya serta waktu yang diperlukan dalam uji klinis.

“Simulasi berbasis AI telah banyak membantu dalam pengujian virtual sebelum obat diuji langsung pada manusia,” ujarnya.

Sementara dalam hal perawatan pasien, chatbot dan asisten virtual berbasis AI kini digunakan untuk menjawab pertanyaan pasien, mengingatkan jadwal konsumsi obat, serta memberikan saran medis awal.

Baca juga: Riri Satria: “Bisnis Digital adalah Perpaduan Sains, Teknologi, dan Seni”

AI juga telah digunakan dalam operasi bedah melalui sistem seperti da Vinci Surgical System, yang memungkinkan dokter melakukan operasi dengan lebih presisi dan minimal invasif.

“Robot bedah yang dikendalikan AI mengurangi risiko kesalahan manusia, mempercepat pemulihan pasien, dan meningkatkan keberhasilan operasi,” jelasnya.

AI juga memiliki peran besar dalam prediksi dan pencegahan penyakit. Dengan memanfaatkan big data dan machine learning, AI dapat menganalisis pola kesehatan populasi dan memperkirakan kemungkinan wabah penyakit.

“Dalam konteks penyakit kronis seperti diabetes dan jantung, AI mampu mendeteksi risiko sebelum gejala muncul, sehingga memungkinkan intervensi dini,” ujar Riri.

Selain itu, ungkap Riri, AI membantu meningkatkan efisiensi rumah sakit dengan mengotomatiskan tugas administratif seperti pengelolaan data pasien, penjadwalan janji temu, dan manajemen stok obat. Teknologi ini juga diterapkan dalam sistem triase darurat untuk menentukan prioritas perawatan pasien berdasarkan tingkat keparahannya.

Etika dalam Penggunaan AI

Meskipun AI membawa manfaat besar, Riri menekankan adanya tantangan dan etika yang harus diperhatikan dalam penerapannya. Salah satu isu utama adalah keamanan data pasien.

“AI dalam bidang kesehatan harus mematuhi regulasi ketat untuk melindungi data pasien dari penyalahgunaan,” katanya.

Selain itu, bias dalam algoritma juga menjadi tantangan. AI hanya sebaik data yang digunakan untuk melatihnya, sehingga jika data tersebut tidak mewakili seluruh populasi, hasilnya bisa tidak adil. Oleh karena itu, pengawasan dan penyempurnaan terus-menerus sangat diperlukan.

Dalam seminar itu, Riri juga mengangkat pentingnya prinsip etika dalam penggunaan AI, seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.

Prinsip-prinsip ini mencakup inklusivitas, kemanusiaan, kredibilitas, akuntabilitas, transparansi, keamanan, aksesibilitas, perlindungan data pribadi, pembangunan dan lingkungan yang berkelanjutan, serta kekayaan intelektual.

“Nilai-nilai ini bertujuan untuk memastikan bahwa AI dikembangkan secara bertanggung jawab dan memberikan manfaat luas bagi masyarakat,” jelasnya.

Riri menutup seminar dengan menegaskan bahwa AI bukanlah pengganti tenaga medis, tetapi alat pendukung yang dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan.

“Yang ideal bukan AI menggantikan manusia, tetapi sinergi antara kecerdasan manusia dan AI. Dari prompting dengan teks deskriptif, ke generating dengan algoritma AI, hingga finalizing dengan sentuhan manusia—itulah masa depan teknologi AI dalam kedokteran,” pungkasnya.

Ditambahkan, dengan perkembangan pesat AI, dunia kedokteran kini berada di ambang revolusi besar yang dapat membawa perubahan signifikan dalam diagnosis, pengobatan, dan pencegahan penyakit.

“Namun, tantangan dalam etika dan regulasi tetap harus menjadi perhatian utama agar teknologi ini dapat dimanfaatkan secara optimal dan bertanggung jawab,” pungkasnya.

Ikuti update terbaru tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan