Refleksi Atas Makna Kebebasan dan Pendidikan Perempuan

Kebebasan sejati menurut Kartini adalah keterikatan jiwa kepada Tuhan, bukan sekadar melawan tradisi.

Oleh Fatatik Maulidiyah

DALAM lintasan sejarah bangsa, nama R.A. Kartini begitu kuat terpatri sebagai sosok pelopor emansipasi perempuan. Di tengah budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebatas “konco wingking”—sekadar menghias diri, mengurus dapur, sumur, dan kasur—Kartini hadir dengan kegelisahan intelektual dan spiritual yang tak biasa. Ia hidup di tengah konstruksi sosial yang meminggirkan perempuan dari akses pendidikan dan peran publik. Namun, ia tidak tinggal diam.

Kegelisahan itu mendorong Kartini muda menjalin surat-menyurat dengan sahabatnya di Eropa, Stella.

Melalui surat-surat itu, ia mencurahkan keresahan tentang ketimpangan perlakuan terhadap perempuan: harus berjalan perlahan, berbicara dengan sopan yang berlebihan, tunduk total kepada suami, bahkan dilarang menempuh pendidikan.

Dalam ketidakadilan itu, Kartini justru menemukan semangat juangnya. Ia membuka kelas membaca dan menulis di rumahnya bagi perempuan pribumi, sebagai wujud nyata perlawanan terhadap kebodohan dan ketertinggalan.

Namun, Hari Kartini bukan semata tentang perayaan kebaya dan konde, atau euforia menyamakan peran pria dan wanita dalam semua lini kehidupan. Bukan pula tentang menggeser perempuan ke ranah pekerjaan maskulin demi disebut setara.

Pertemuan Kartini dengan ulama besar KH. Sholeh Darat menjadi titik balik penting dalam hidupnya. Dari beliau, Kartini mulai memahami isi Al-Qur’an melalui tafsir berbahasa Jawa. Ia menemukan bahwa Islam tidak pernah meminggirkan perempuan. Allah berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Ayat ini mempertegas bahwa dalam pandangan Allah, laki-laki dan perempuan sejajar dalam amal, nilai, dan ganjaran. Kartini pun memahami bahwa kebebasan sejati bukan sekadar melawan tradisi atau menuntut hak, melainkan saat manusia tunduk dan terikat sepenuhnya kepada Tuhannya. Maka, ia menyebut kebebasan sejati sebagai “terikatnya jiwa kita kepada Allah”.

Sebagai generasi penerus, tugas kita bukan hanya mengenang, tetapi melanjutkan api perjuangannya: mendidik perempuan agar berdaya, berpikir, dan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur. []

Fatatik Maulidiyah, penulis dan guru MAN 2 Mojokerto.

Penulis: Fatatik Maulidiyah

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan