Oleh Winarto

Lelaki paruh baya dengan ruas tulang rusuk tampak mengukir dadanya berjalan menghampiri bibir samudra. Hanya mengenakan celana komprang dengan motif batik luntur dan ikat kepala, kakinya telanjang berjalan di antara guguran daun cemara. Batuan karang dengan bongkahan besar yang memagari ombak tidak mampu menyurutkan tekadnya untuk bertapa.

Pagi itu kabut belum disapu, ombak riuh berderu, pantai yang suci dan perawan dari wisatawan aromanya semerbak wangi dari tiga yongsua yang sudah dibakarnya. Tubuhnya mulai didudukkan, kakinya mulai tersilang, tiga yongsua ditancap tepat di depannya.

Masyarakat sekitar Ujung Mara memanggilnya Datuk Andhira. Nama yang begitu indah dengan arti kuat dan berani dalam kebenaran. Sayup-sayup dalam bertapa, searah angin yang dikirim ombak terdengar suara.

“Andhira, aku tidak ke mana-mana. Jejakku masih ada, sukmaku masih kau bawa.” Suara lembut beriring senyum manis dan wajah sendu itu tampak jelas di antara kedua matanya yang terpejam.

Byuurrrr.”

Sekitar lima puluh sentimeter ombak membilas tubuhnya hingga kuyup.
Di kejauhan tampak matanya terbuka, wajahnya mulai liar menoleh ke kanan dan kiri. Tubuhnya beranjak pelan dan berjalan di antara tumpukan karang. Entah dengan takaran apa yang bisa mengukur bingungnya.
Wangi yongsua perlahan memudar seiring dengan tatapan kosongnya.

“Bukankah itu yang diucapkan Damayanti dua puluh tahun silam?” gumamnya.
“Damayanti, Damayanti! Daaamaayaanntiii!” teriaknya yang sudah tidak keras lagi.

Lelaki dengan ikat kepala putih mangkak dan wajah hitam itu tampak tertunduk lesu di antara gerimis yang berangsur turun. Matanya terpaku pada ombak dan burung-burung camar yang berhamburan.

“Tuk. Pulang, yuk, Tuk.” Suara anak kecil di belakangnya menembus kekosongan pikirannya.
“Maja, kok tau Atuk di sini?” Lelaki tua itu mengambil napas dan meredakan rasa sedih sembari membangun senyuman.

Atmaja atau biasa dipanggil Maja adalah cucu satu-satunya dari Sekarwati, anak angkatnya yang meninggal lima bulan silam.

“Maja bangun tidur cari-cari Atuk enggak ada. Ada yang bilang Atuk ke pantai. Yaa… Maja susul,” sahut Maja.

“Cah bagus, pinter, pulang dulu, ya. Atuk masih ada urusan di sini.” Sambil jongkok dan memegang bahu Maja, suaranya terbata-bata.

“Iya, Tuk. Maja pulang, ya. Perut Maja lapar,” sahut Maja dengan senyum dan wajah gemasnya.

Gerimis yang rapuh, matahari masih ditutup kabut, dan burung-burung camar yang terbang melingkar. Ombak berdebur makin kencang.

“Damayanti, masihkah kamu ingat? Apa yang kamu tanam di hatiku, saat ini sudah tumbuh menjulang tinggi. Akarnya mencengkeram kuat di seluruh sisi. Damayanti, jika laki-laki sempurna yang kau inginkan itu benar-benar diriku, lantas kenapa engkau pergi? Bukan begini, Damayanti, caramu menyiksaku. Bukan begini.” Suara pelannya di antara angin yang lalu-lalang dengan tubuh duduk di bebatuan karang.

“Atukkk, Atukkk!” teriak Maja dari sela-sela pohon cemara.
Atmaja berlari terbirit-birit, pasir membubung di antara entakan kakinya. Sekitar dua meter, sang cucu mulai mendekati tubuhnya. Andhira masih tidak menghiraukannya. Ucapan yang dititipkan ombak dan angin untuk kekasihnya, Damayanti, masih belum diselesaikannya. Dari arah belakang tampak asap tebal membubung tinggi berwarna hitam. Sayup-sayup terdengar suara bambu terbakar dan reruntuhan bangunan.

“Atuk, rumah kita, Atuk. Rumah kita kebakaran!” ucap Maja dengan nada keras dan wajah panik, menarik-narik tangannya.

Tanpa pikir panjang, tanpa sepatah kata pun, tubuhnya berlari, tergopoh-gopoh. Degup dadanya meletup-letup dan keringat menurap dari tubuhnya. Tiga menit berselang, dirinya sampai di hadapan rumah kayu yang sudah tidak berbentuk lagi. Tubuhnya lemas, terbatuk, dan terduduk.

“Habis, habis. Habis sudah semuanya.” Suaranya terbata-bata.
Lalu-lalang orang memegang ember, menyiram rumahnya dan sudah kewalahan mencegah api berulah. Cat kuning dengan pelipit hijau di rumahnya sudah tidak ada yang tersisa. Semuanya hitam, menjadi arang dan abu.

“Nah, benarkan, harta yang didapat dari pesugihan Pinggir Gisik tidak akan kekal.”
“Iya, benar. Mbah Satriyo itu dulu segalanya dimiliki. Sapinya tujuh sehat-sehat, tiba-tiba kena penyakit lalu mati. Sawahnya lima hektar semuanya terjual, tinggal rumah satu-satunya juga terbakar.”
“Banyak banget, lah. Nggak hanya Mbah Satriyo.”
“Iya betul, rata-rata mereka bertapa, kemudian terpesona dengan keelokan Ratu Damayanti, lantas bersetubuh dan diberi kekayaan.”
“Nah, di waktu yang meminta pesugihan saking cintanya, Ratu Damayanti mulai sulit ditemui, dan ada-ada kejadian untuk kehilangan harta.”
Mbok Sarinem dan Pak Dikin sambil melihat kebakaran mulai membicarakan pesugihan Ratu Pinggir Gisik yang dilakukan Datuk Andhira.

“Tadi kenapa, Ja, kok bisa terbakar rumahnya?” Dengan nada pelan dan sedikit helaan napas.
“Tadi Maja mau goreng tempe untuk lauk, Tuk. Maja masukan kayu di pawon. Maja siram minyaknya kebanyakan. Pas Maja menyalakan korek, api langsung menyambar ke rumah.”

Tak sedikit pun ucapan terlontar dari mulutnya, kepalanya hanya bisa menggeleng. Tak sekali pun dirinya membantah ucapan Mbok Sarinem dan Pak Dikin. Kerutan di dahinya yang menyerupai pematang sawah mulai memudar. Tatkala orang-orang sudah mulai memberhentikan penyiraman dan berangsur meninggalkan rumah, dia masih bersimpuh. Matahari mulai berkilau menyinari asap dari arang sisa-sisa rumah. Lelaki tua itu beringsut, pelan, dan bangkit.

Kali ini dalam diam di hadapan reruntuhan bangunan, wajahnya mulai menyempurnakan ketenteraman dari pergolakan. Ingatan-ingatan masa kecilnya tentang rumah yang ditinggalkan orang tuanya menancap kuat di benaknya. Dirinya merasa begitu berdosa atas doa-doa orang tua yang terselip dalam nama yang telah dilanggarnya. Burung-burung camar yang seharusnya bermukim di pantai berduyun-duyun menghampiri rumahnya dan terbang mengitarinya.

Huss, shaahhh! Huss, shaaahhh!”
Tangannya melambai-lambai ke atas tubuhnya, lari ke sana kemari kehilangan akal mengusir burung camar.
“Pergi kau, pergi. Dasar pasukan Damayanti yang kejam,” ucapnya sambil melambai-lambaikan tangan ke arah gerombolan burung camar. []

Rembang, Jawa Tengah. Desember 2024.

Winarto, lahir di Rembang, 13 Juli 1994. Menyelesaikan pendidikan S1 di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang pada 13 Desember 2016. Pekerjaan terakhir sebagai guru Bahasa Indonesia. Beberapa karyanya seperti cerpen dan artikel diunggah di Kompasiana.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Winarto

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan