Oleh Emi Suy
Kita datang untuk bekerja.
Tapi sering kali yang paling bikin capek
bukanlah mesin yang berisik,
melainkan orang-orang yang takut kehilangan kursinya.
Catatan Harian Raka, Halaman Belakang
NAMA lelaki itu Raka.
Orang baru di kantor, tapi bukan anak kemarin sore. Usianya empat puluhan, kulitnya agak gelap, rambut mulai menipis di pelipis, tapi matanya tenang. Dia bukan tipe orang yang suka banyak bicara, tapi sekali ketawa, semua orang bisa ikut lega.
Raka dulu pernah jadi instruktur teknis di beberapa pabrik besar. Terbiasa turun ke lantai produksi, terbiasa ngadepin mesin mogok jam dua pagi. Jadi waktu dia masuk ke perusahaan ini, sebenarnya bukan untuk jadi pahlawan. Hanya buat memperkuat tim lapangan.
Tapi anehnya, sejak hari pertama, hawa kantor jadi agak lain. Orang lama tiba-tiba kikuk. Seolah-olah kursi yang mereka duduki mendadak goyang.
“Kehadiranmu bikin beberapa orang nggak nyaman, Pak,” bisik salah satu staf.
Raka hanya senyum, mengelap keringat di jidatnya. Ia tahu, bukan salah dia. Kadang yang bikin orang resah hanyalah perubahan, bukan kesalahan.
*
Pabrik itu luas, tujuh hektare. Blok produksi berjajar seperti labirin, mesin-mesin berdengung, udara panas bercampur bau oli dan besi. Raka memimpin lima anak muda yang masih belajar—Andi, Bayu, Lala, Nando, dan Joko. Tugas mereka sederhana di atas kertas: patroli tiga kali sehari. Menyisir lorong, memeriksa pipa bocor, mencatat baut longgar, ngobrol sebentar dengan pekerja yang lagi mengelap peluh.
Patroli itu sebenarnya lebih mirip jalan-jalan kerja. Mereka jalan kaki, bawa buku catatan, kadang berhenti lama di titik-titik yang mereka sebut “pos bayangan”. Bukan pos resmi, hanya tempat teduh dekat ventilasi atau bawah tangga. Dari situ mereka bisa lihat jalur mesin, sambil minum air botol plastik yang sudah tak dingin.
“Pak, ini kita lebih mirip satpam keliling atau montir keliling, sih?” Canda Bayu.
“Kalau montir, kalian sudah punya bengkel,” jawab Raka. “Kalau satpam, kalian dapat seragam. Jadi ya… kita ini campurannya.”
Anak-anak tertawa, meski tawa mereka cepat hilang karena panas bikin tenggorokan kering.
Waktu istirahat, Raka selalu mengajak mereka makan di bawah pohon akasia di belakang gudang. Bekal sederhana: nasi, telur dadar, kadang sambal teri. Raka makan pelan-pelan, sesekali nyolek candaan.
“Jangan kebanyakan cabai, nanti kalau patroli perut yang patroli duluan,” katanya.
Anak-anak terbahak.
Hari itu, semua terasa biasa. Tapi laporan sudah dibuat bahkan sebelum kotak makan ditutup.
“Saudara Raka meninggalkan pos saat jam kerja.”
Lengkap dengan foto dari jauh.
Raka membacanya diam-diam. Pahit terasa, tapi wajahnya tetap datar. Dia sudah tahu dunia macam ini: tempat kinerja bisa dianggap ancaman, dan diam dibaca sebagai sombong.
*
Di kantor itu ada satu sosok yang disebut “penjaga warisan.” Namanya Darmin. Orang-orang manggilnya “Pakde”, “senior”, “yang dituakan”. Tapi Raka punya sebutan lain dalam buku catatannya: raja kecil di balik meja.
Darmin tak punya jabatan resmi, tapi pengaruhnya merembes ke mana-mana. Dia hafal siapa datang pagi, siapa sering pura-pura sakit, siapa makan lebih lama dari jatah. Dia jarang ke lapangan, tapi tahu banyak. Dan cara bicaranya bikin orang malas bantah, bukan karena benar, tapi karena kalau dilawan, pasti panjang urusannya.
“Dulu saya jaga jalur ini tanpa duduk,” kata Darmin suatu pagi sambil menepuk meja.
“Kalau lapar, ya tahan. Namanya juga kerja.”
Raka tersenyum tipis. Dia tahu, kalimat seperti itu bukan kebijaksanaan. Itu luka lama yang diulang-ulang, seolah jadi kebanggaan.
*
Sejak laporan itu, anak-anak muda berubah. Yang biasanya heboh, jadi pendiam. Mereka berjalan sambil sesekali menengok ke belakang, takut ada yang diam-diam memotret lagi.
“Pak, gimana kalau kita diem aja di pos?” Tanya Joko.
“Kerja bukan soal duduk atau jalan,” jawab Raka. “Kalau kita diem, apa bedanya sama patung?”
Anak-anak tertawa hambar. Ketakutan mereka nyata. Mereka bukan takut salah kerja, tapi takut salah tafsir karena di kantor ini, tafsir sering lebih tajam dari fakta.
“Sudah, tenang. Kalau ada apa-apa, saya yang tanggung,” kata Raka. Ia ucapkan ringan, tapi mereka tahu, kalimat itu bukan basa-basi.
Malam-malam, Raka mulai menulis di buku tipis. Nama orang, kejadian, obrolan sepotong. Kalimat-kalimat yang kalau dibaca sekilas terasa konyol, tapi dampaknya bisa panjang.
“Pemimpin bukan cuma yang kasih instruksi,” tulisnya.
“Tapi yang berdiri di tengah badai, dan nggak lari meski bukan dia yang salah.”
Buku itu bukan untuk HRD, bukan buat pengadilan. Itu hanya cara Raka memastikan, ada yang mengingat. Sebab, kalau tak ada yang ingat, luka akan diwariskan jadi kebiasaan.
*
Sore itu, ia dipanggil manajer. Darmin sudah duduk di pojok, diam, hanya memandangi. Pertanyaan datang satu per satu, kenapa makan di belakang gudang, kenapa tak membalas laporan, kenapa tetap berkeliling padahal ada pos.
Raka menjawab tenang, pelan, tanpa tergesa. Sebelum keluar, Darmin sempat berkata dengan nada datar,
“Kalau nggak tahan budaya di sini, silakan pindah. Kita punya cara sendiri.”
Raka menoleh, suaranya lirih tapi tegas,
“Budaya bukan untuk dipertahankan kalau isinya saling menjatuhkan.”
Beberapa hari kemudian, Arif, atasannya langsung memanggil. Tanpa Darmin.
“Pak Raka, ada wacana penugasan ke pusat. Atasan kita melihat Bapak cocok di divisi teknis utama. Kalau Bapak mau, proses bisa cepat.”
Raka diam sebentar, lalu senyum.
“Terima kasih, Pak. Tapi saya di sini dulu saja. Pusat kejauhan. Lagi pula, pusat juga punya cabang, kan?”
Arif tertawa pendek. Ia paham, itu bukan penolakan. Itu sikap.
*
Hari-hari berjalan lagi. Darmin lebih banyak diam. Anak-anak muda mulai bercanda seperti biasa.
Dan Raka, setiap pagi, tetap jalan keliling pabrik tiga kali sehari. Bedanya, langkahnya sekarang lebih tenang, tatapannya lebih dalam. Dia tahu, bisa jadi sistem pelan-pelan menolaknya. Atau, bisa jadi justru dia yang sedikit demi sedikit membentuk sistem baru dari dalam.
Malam itu, di buku catatan, ia menulis:
Aku bukan orang paling pintar,
bukan juga yang paling tua.
Tapi mungkin satu-satunya
yang tetap memilih berjalan,
meski ada yang coba menghentikan.
Sebab lebih baik diasingkan karena jujur
daripada diterima karena tunduk pada kekeliruan.
[]

Emi Suy. Lahir di Magetan, Jawa Timur, dengan nama Emi Suyanti. Penyair perempuan Indonesia yang ikut mendirikan Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) dan saat ini aktif menjadi pengurus, serta menjabat sebagai sekretaris redaksi merangkap redaktur Sastramedia. Buku antologi puisinya, yaitu Tirakat Padam Api (2011); trilogi Sunyi: Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), dan Api Sunyi (2020); serta Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022). Buku kumpulan esai sastra berjudul Interval (2023), serta satu buku kumpulan puisi duet bersama Riri Satria berjudul Algoritma Kesunyian (2023). Ia juga menulis Naskah Opera (Libretto) I’m Not For Sale, tentang perjuangan tokoh perempuan Ny. Auw Tjoei Lan menantang kematian menyelamatkan kehidupan yang diaransemen oleh pianis dan komponis dunia, Ananda Sukarlan. Puisi-puisinya juga telah dimuat di berbagai media online, seperti Basabasi.co, Sastramedia.com. Juga dimuat di media nasional, antara lain Malutpost, Lampung Post, Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Media Indonesia, serta Kompas.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Emi Suy
Editor: Suria Tresna












