Oleh Chudori Sukra
MENGAPA selama beberapa dekade ini, karya-karya Pramoedya Ananta Toer masih terus dikenang, bahkan oleh para pembaca milenial kita? Ia bukan dikenal hanya karena tulisannya yang tajam, tetapi juga karena filosofi hidupnya yang lebih menyibukkan diri pada kontribusi, bukan pada citra diri dan pengakuan publik semata.
Fokus pada kontribusi ini harus menjadi titik sentral yang menjadi acuan para penulis dan sastrawan, hingga ia takkan terpental dan tersesat karena dibutakan untuk mengejar citra diri. Untuk para penulis milenial, hendaknya mereka tak terlampau mengejar followers, likes, posisi dan jabatan, atau bahkan pujian, hingga cenderung melupakan esensi dari pekerjaan dan keterpanggilannya sebagai penulis. Padahal, menjadi penulis hebat dan terkenal, hanyalah efek samping saja dari posisinya yang berguna dan bermanfaat bagi kemajuan budaya dan peradaban.
Seorang penulis dan sastrawan harus pandai membuat karya-karyanya bernilai dan berguna, bukan saja untuk memperbaiki watak dan karakteristik pembaca, tetapi juga bagi perkembangan mentalitas dirinya sendiri. Keheningan, ketekunan, dan kesederhanaan akan membuat seorang penulis lebih produktif dan memiliki kontrol atas hidupnya sendiri. Ia tak perlu pamer dan menonjolkan diri di media sosial setiap kali menyelesaikan sesuatu. Cukup dengan melemparkan karya-karyanya kepada redaktur media daring maupun luring. Perkara mereka menayangkan atau tidak, itu soal lain. Perkara akan mendapat royalti atau tidak, itu juga soal lain lagi. Yang terpenting adalah dampak positif dari karya yang ditayangkan, bukan semata-mata soal tampilannya.
Dalam Keheningan
Kemanfaatan dan pekerjaan yang dilakukan penulis dengan diam, bukan berarti ia pasif. Justru itulah bentuk paling murni dari kekuatan mental. Sang penulis akan tetap berkarya meskipun tak ada orang yang memuji; ia akan terus memberi meskipun tak seorang pun yang menghargai. Ia akan memosisikan dirinya selaras dengan kebajikan semesta, bagaikan sinar mentari yang terus bercahaya, bahkan menyinari apa pun dan siapa pun tanpa pilih kasih.
Prinsip seorang penulis yang baik, akan menjadikan dirinya berguna, jauh lebih bermakna daripada sekadar terlihat sukses. Untuk itu, Gol A Gong selaku Duta Baca Indonesia, tak bosan-bosan memberi saran kepada para penulis muda, agar mereka lebih mengalihkan energi dari membangun citra diri ke membangun kualitas diri. Penulis yang baik, hendaknya mampu mengukur dampak dari karya-karya yang telah disuguhkan ke publik, bukan seberapa banyak buku yang dicetak, atau seberapa ramai pujiannya.
Untuk itu, penulis yang baik harus pandai mengukur kemanfaatan karya dan kreasinya, serta seberapa besar pengaruhnya dalam memacu dan mengilhami para penulis lain. Ia tidak hanya berkarya untuk memenuhi kepentingan egonya sendiri, yang bersifat temporer dan sesaat. Terkait dengan ini, Hafis Azhari, penulis novel Perasaan Orang Banten pernah menyarankan para penulis milenial, agar mereka lebih fokus membantu orang melalui karya dan kreasinya.
“Di era transformasi spiritual ini, semua orang bijak sepakat, bahwa kesuksesan sejati bukan terletak pada ketenaran dan popularitas, atau seberapa banyak orang membaca karya-karya kita. Tetapi, apakah karya kita memberi dampak dan pengaruh yang baik kepada khalayak pembaca?”
Baginya, menjadi berguna identik dengan menjalani hidup sesuai tujuan, tidak tergoda oleh ego, hawa nafsu, juga memilih tangan di atas daripada tangan di bawah. “Khirunnas an fa’uhum linnas,” demikian dikutip dari sabda Nabi Muhammad. Beliau telah memberi teladan kebajikan, bukan saja menjadi sukses di dunia, tetapi juga selamat di akhirat kelak. Bahkan, beliau menggariskan sifat narsistik, pamer dan gila pujian, identik dengan perbuatan riya yang dimurkai Tuhan. Jangankan riya dalam soal-soal karya dan kreasi yang bersifat duniawi, bahkan riya dalam ibadah pun tetap tak diindahkan oleh agama.
Untuk itu, menjadi penulis yang baik, harus pandai menjaga dan mengukur diri, juga harus pintar menempatkan diri agar menjadi manusia yang berarti. Ia tidak harus menjadi hebat dan terkenal untuk menjadi bermanfaat, tetapi jadilah bermanfaat agar benar-benar menjadi hebat dan dikenal dengan sendirinya.
Dalam Kecemasan
Akhir-akhir ini, banyak penulis milenial yang merasa dirinya dilanda kecemasan dan kegelisahan. Saya kira, hal tersebut terkait dengan masalah psikologis, atau kegagalan manusia hipermodern dalam menerima kenyataan hidup di luar kendali dirinya. Padahal, sudah merupakan hukum alam, bahwa nasib hidup manusia ada yang sesuai dengan keinginan, tetapi juga banyak yang tak sesuai dengan harapan yang diimpikannya.
Keinginan atau bersikeras mengendalikan sesuatu yang sebenarnya di luar kendali dirinya, itulah yang menyebabkan banyak kecemasan dan kegalauan. Seorang penulis kadang ingin memastikan semuanya berjalan sesuai ekspektasi dan prediksinya. Ia merancang skenario atas kemungkinan terburuk, kejadian chaos dan absurd seperti yang dituliskannya, namun dalam kenyataannya hidup manusia terus mengalir dan biasa-biasa saja. Bahkan, di sisi lain banyak yang mengalami perubahan dan kemajuan. Untuk itu, semakin penulis memikirkan sesuatu secara berlebihan, dan makin ia memaksakan diri agar kehidupan berjalan sesuai apa yang dirancang dalam tulisannya, justru makin ia dilanda oleh kegelisahan dan keraguan.
Jangan sampai kejadian yang di luar kendali membuat seorang penulis merasa galau dan depresi, karena kecemasan adalah musuh bagi ketenangan dan ketentraman batin seorang penulis. Saat ini, di tengah dunia yang penuh dengan notifikasi, tuntutan, dan perbandingan sosial media, banyak penulis merasa tertekan untuk selalu tampil dan menonjolkan diri. Padahal hidupnya, bahkan karya-karyanya belum bisa dikatakan selaras dengan prinsip kejujuran untuk mengakui identitas dan kelemahan diri, tetapi masih sibuk mengejar pengakuan (tak ubahnya dengan sastrawan era Orde Baru).
Tetapi, seorang penulis yang sanggup mengendalikan egonya, jujur dan berani melakukan muhasabah atau introspeksi, dialah yang berani membangun kekuatan batin yang tahan terhadap tekanan eksternal. Kekuatan mental seorang penulis bukan semata retorika politis yang termaktub dalam teori-teori kesusastraan. Tetapi, ia akan lahir dari pribadi-pribadi yang tekun melatih dirinya, seperti rajin menulis di waktu sepertiga malam untuk menjernihkan pikiran dan ketenangan batinnya. Ia merasa yakin, bahwa di balik kekacauan dan kegalauan, terdapat tatanan yang menanti untuk ditelusuri, bahkan ditemukan solusinya. Selain itu, kemampuan untuk hening dan berdiam diri, merenung, bahkan rehat dari media sosial, juga termasuk keberanian baru yang jarang dimiliki para penulis yang mengejar target musiman belaka.
Bagaimanapun, penulis yang baik akan sampai pada kesimpulan, bahwa dirinya tak dapat berpikir jernih jika terus dikejar oleh pikiran-pikiran yang tak menentu. Sedangkan, kunci dari semua itu bukanlah mencari jawaban-jawaban di luar dirinya, melainkan menyederhanakan apa yang ada di dalam pikirannya. Untuk itu, dalam dunia literasi dan tulis-menulis, Hafis Azhari pernah berpesan:
“Tak perlu memaksakan diri melawan pikiran-pikiran yang kuat. Cukuplah dengan menghanyutkan diri, diam, dan lakukan sesuatu yang berguna, sekecil apa pun yang dapat dilakukan.” []

Chudori Sukra, anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), juga penulis opini dan prosa di Kompas, Koran Tempo, Republika, dan sebagainya.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Chudori Sukra
Editor: Ayu K. Ardi












