Oleh Narudin

LIMA tahun lalu, di dalam sebuah kamar yang temaram dan berbau aneh itu, aku tengah berdua dengan kekasihku. Kekasihku berambut panjang, bermata besar, berhidung mancung, berkulit putih, berbibir agak merah, dan berdada sedang. Ia menunjuk langit di atas.

“Langit malam ini gelap, Tono!”

“Aku tak bisa melihatnya.”

“Berdirilah di sini, di dekat jendela kamar. Jangan berbaring di atas tempat tidur.”

“Aku lelah.”

Aku tertawa.

“Kenapa kamu tertawa?”

“Aku tahu isi pikiranmu.”

Terdengar suara jendela yang ditutup. Lalu, keran air diputar di kamar mandi, berbunyi gemercik, bau asap rokok.

“Aku pergi, Tono.”

Rina berkata dengan suara parau dan perlahan-lahan.

“Ini masih pukul 12 malam.”

Bunyi langkah sepatu mulai menjauh di telingaku. Aku hendak mengejar Rina, tetapi kakiku terasa kaku. Kadang kala kudengar dari jendela sebuah warung di pojok sana teriakan-teriakan lamat-lamat seorang perempuan setengah baya tengah mengomeli anak gadisnya. Terdengar suara peralatan dapur yang dipukul-pukul dan dilempar-lempar sekenanya.

Kepalaku terasa berat. Kuminum sisa kopi hitam di atas meja, dalam cangkir kecil hadiah dari Rina. Beberapa saat kemudian, aku menyingkirkan selimut yang terasa lengket. Aku tatap ada cairan menempel pada selimut itu, aku tersenyum puas. Lalu aku melihat tubuhku yang telanjang di depan cermin selayang pandang dan segera kubuka jendela kamar lebar-lebar.

Rina tampaknya berdusta kepadaku.

Malam itu ternyata langit bercahaya terang karena sinar rembulan, awan-awan tersibak, bintang-bintang berkedip dengan gembira. Aku selalu merasa tubuhku seperti gemetar tak keruan apabila aku melihat benda-benda di angkasa yang begitu jauh, alangkah menakjubkan! Kupakai celana panjang dan jaket kulit hitam yang tergeletak di atas sofa. Aku tertegun sejenak.

Ada remah-remah roti kemarin di atas meja yang belum dibersihkan.

Kutendang pintu kamar, aku keluar. Entah luar itu apa. Aku keluar seperti masuk. Aku masuk seperti keluar seakan-akan aku memasuki ruang baru jika aku masuk atau jika aku keluar. Di luar, malam terasa dingin di leher dan punggung tanganku. Segala sesuatu seperti diam membeku. Kuhentikan sebuah taksi.

“Ke mana, Mas?”

“Ke mana saja,” kataku sambil aku memalingkan wajah ke kaca taksi.

Lima tahun sebelumnya, aku pun punya kekasih, mahasiswi Jurusan Filsafat. Wajahnya bulat kuning, bibirnya agak tebal kenyal, alisnya hitam melengkung, poni rambutnya tipis ibarat bintang film Jepang.

“Mengapa harus ada Tuhan?”

“Apa katamu?”

Di bawah sebuah pohon besar yang rindang di pinggir jalan, ia bertanya aneh seperti itu. Angin berembus kencang. Daun-daun kering jatuh, menerpa wajah dan rambut keriting pirangnya. Ia memakai kaus hitam, berkacamata besar, dan celana jeans biru tua yang robek pada bagian pahanya yang mulus berbulu halus.

“Mengapa harus ada Tuhan?” ulangnya dengan raut wajah yang agak cemberut.

“Ah, kamu. Kita tak berbicara hal-hal di luar akal kita. Akal kita terbatas untuk membahas Tuhan dan mengapa harus ada Tuhan. Lebih baik bertanya mengapa harus ada cinta di antara kita.”

Ia tak berkata apa pun lagi—hanya menatap mataku dekat-dekat dan menarik tanganku, mengajak belanja ke sebuah mall di pusat kota. Tak kusangka apabila aku diminta membayar seluruh belanjaannya yang banyak itu. Setelah belanja yang kurasa tak perlu itu, ia mengajakku ke suatu tempat, masuk ke kamar kontrakannya.

“Nah, aku tak akan bertanya lagi mengapa harus ada Tuhan, tetapi mengertikah kamu, mengapa kamu ada di dalam kamarku?”

Aku menjawab tidak tahu apa yang dia pertanyakan dan aku pun tak mengerti beberapa saat kemudian ia tiba-tiba memukuliku dengan bantal dan guling, mendadak menyuruhku pergi. Mungkin ia benar-benar tak senang dengan sikap masa bodohku, yang tak hendak menjawab pertanyaan-pertanyaannya itu.

“Besok kita tak perlu berjumpa lagi.”

“Oh, kamu pikir aku ini lelaki apa?”

Aku pergi—merasa diriku masih sebagai seorang lelaki. Aku tak mengerti mengapa saat itu kakiku terasa melayang ke udara—pandanganku terasa agak buram, dan hatiku hampa bagaikan jurang, jurang yang tak berdasar atau jalan di atas bumi yang tak berujung.

Kehilangan kekasih lima tahun lalu dan kehilangan kekasih lima tahun sebelumnya membuatku tak patah hati. Benar, lima tahun kemudian aku mengantar kekasih baruku ke gereja. Aku tak turut masuk ke dalam gereja. Aku menunggu di dalam mobil. Cukup lama aku menanti dirinya. Aku lihat ia keluar dari dalam gereja, membawa sebuah kitab sucinya di pelukannya—kitab suci itu ia tekan ke payudara kirinya yang masih penuh—kemudian ia menghampiriku, gerak kaki-kakinya agak lebih segera.

“Tono, apa yang sedang kamu pikirkan?”

“Aku sedang mengingat-ingat dua kekasihku sebelumnya.”

“Sepenting itukah mereka bagimu?”

“Yang satu pergi meninggalkanku, entah ke mana kini. Kekasih keduaku, kamu tahu, ia bunuh diri.”

“Oh, Tuhan Yesus ini gila.”

“Tak percaya kamu?”

“Tidak.”

Ia memalingkan dan menundukkan wajahnya sebentar, kedua matanya menatap lantai. Selama beberapa saat ia tak berkata apa pun.

“Ia bunuh diri dengan meminum cairan pembersih toilet.”

“Kok, bisa?”

“Ia seorang filsuf. Katanya, filsuf orang yang punya prinsip, tidak asal membebek pada apa kata orang. Kadang benar pembebekannya, kadang keliru.”

Sejak hari itulah aku yang meninggalkan Olive. Keputusan ini benar dan aku yakin.

Dan Mama menelepon aku bahwa aku akan dijodohkan dengan janda cantik, kaya raya, beranak lima. Jadi, besok aku akan pulang.

Di malam sebelum aku pulang, aku berbaring di tepi lapangan berumput di pinggir kota yang sepi. Aku melihat Rina dan si Filsuf berlari-lari di langit, saling mengejar, dan hendak saling mencakar. Aku tersenyum bangga. Mungkin mereka berdua memperebutkan lelaki seperti diriku. Kupandang bulan bersinar di balik awan—bintang-bintang hanya satu dua seperti titik-titik cahaya kecil di lengkung kaki langit sebelah sana. Pohon-pohon cemara malam itu tak bergerak, ada bunyi jangkrik berkrik-krik, juga ada bunyi kendaraan dari kejauhan. Kembali aku menatap langit. Ada seekor burung hitam melintas tak bersuara dan hilang di balik rimbun pohon tertinggi di sebelah selatan. Ketika gerimis kecil tiba-tiba luruh di mataku, aku segera bangkit dan pulang, mengikuti ujung-ujung jari kakiku.

Mentari bersinar demikian terang pagi itu, tak seperti biasanya, sinarnya menembus dadaku hingga terasa hangat seolah-olah cahaya matahari itu sampai ke jantungku. Ketika sedang menyeberang jalan raya, tak kulihat ada sebuah bus besar berpenumpang banyak mengebut, melesat hendak menabrak tubuhku. Aku terkejut bukan main. Tak berapa lama. Aku merasa gelap. Begitu gelap… masih dapat kudengar bunyi keras sebuah bus yang terguling dahsyat, terjungkir ke bahu jalan berikut jeritan histeris seluruh penumpangnya, akibat bus itu dibanting sekaligus direm sekuat tenaga.

“Mama, aku pulang!”

10 September 2024

Narudin. Sastrawan, penerjemah, dan kritikus sastra. Semua karya sastranya telah dimuat di media massa lokal, nasional, dan internasional, serta telah dibukukan. Buku kumpulan cerpen barunya berjudul Kuntilanak Monru (2024), berisi 9 cerpen yang telah dimuat di media massa.

Penulis: Narudin

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan