
Rahayu Wilujeng, S.E., CTFAIA., CTIA. Perempuan kelahiran Cianjur, Jawa Barat. Menetap di Pontianak.
Jakarta: Arsip Langit yang Retak
Jakarta hari ini
bukan Jakarta yang dulu kau kenal.
Kota ini mengingatku pada debu,
pada air mata yang mengering di pelupukmu,
pada senyum yang tak lagi menyapaku
di ujung gang tempat kita kehilangan arah.
Ada pesan singkat mengambang di udara,
mengabarkan bahagia yang tak menyebut namaku.
Kau sebut dia “teman selamanya”,
tapi kata-kata itu mengiris lebih dalam
daripada pisau pedagang kaki lima di Senen.
Aku belajar
cinta yang datang dan pergi
adalah bahasa Jakarta yang paling jujur.
Kita harus terpelanting di trotoar yang retak,
harus tersesat di kemacetan yang tak berujung,
harus menelan asap dan kepedihan
baru mengerti bagaimana menjadi manusia.
Akhirnya kuangkat bendera putih,
menyerah pada takdir yang kau tulis tanpa aku.
Maafkan jika langkah-langkahku dulu
hanya meninggalkan jejak kesepian.
Biarkan kau menyala
meski cahayamu membakar sisa-sisa rinduku.
Aku akan jadi bayangan yang diam
menyaksikan dari jauh
Jakarta memelukmu,
sementara aku belajar
menjadi hujan yang tak lagi dirindukan.
Ada yang Gemetar di Ujung Kata Pulang
Gundah merambat, memudar pelan
Malam membentang tanpa tepi
Di labirin lamunan, kuterpaku
Pada bayang yang berbisik: “Ini akhir”
Lelah.
Dan aku
tersungkur di lembah diri
tersesat dalam peta yang sobek
Saat langit runtuh dalam genggaman
Tiba-tiba
Suaramu datang membelah kabut
Memanggil dengan suara bulan
“Pulanglah”
Indah.
Seperti sungai memanggil hujan
Seperti bumi memeluk akar
Tak ada pelabuhan selain rindu
Tak ada surga selengkap dekapanmu
Ku berjalan
dengan kompas yang patah
menyusuri jalan-jalan yang terluka
Tapi suaramu tetap bergema:
“Di sini,
di antara debu dan bintang-bintang yang kau tinggalkan”
Tubuh ini Hanya Cerita, Sadrah adalah Sampulnya
Aku tersungkur di panggung ini,
dipaksa menyerahkan mahkota
pada dusta yang kau sampaikan.
Kau dan dia,
dua pemenang dengan piala kepalsuan,
bersulang dengan anggur pengkhianatan.
Aku? Hanya debu di sudut pesta,
pecundang dengan luka yang kau bungkus
dalam selendang kata “sudahlah”
Tak perlu kau permisi—
kuburkan rindu di bawah tanah,
biar tumbuh jadi bunga yang tak kau kenal.
Lelah ini bijaksana:
ia tahu air mata tak kan mengubah
cerita yang kau tulis dengan tangan dingin.
Maka rayakanlah
sementara aku belajar menjadi hujan
yang jatuh tanpa meminta bumi
untuk memahami sakitnya.
[]
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Rahayu Wilujeng
Editor: Tiara NS












