Wijaya Suryantarini. Bernama lengkap Ni Wayan Puspa Wijaya Suryantarini, akrab disapa Yanari. Lahir di Kota Mataram tahun 2004. Menyukai novel karangan penulis-penulis Jepang, khususnya yang bertema anak-anak dan sejarah. Dua puisi yang pernah ditulisnya: “Bayangan Musim Panas” (2021) dan “Jendela Malam” (2023).
Rindu ‘tuk si Perantau
Bukan sekadar sindiran semata,
seonggok peribahasa,
tak lagi diperdengarkan di kuping anak muda.
Anak saya,
usianya kira-kira sebaya,
dua tahun belum pulang sejak pamit kelana.
Ke mana saja,
ambisi mengayuh jauh roda sang raga,
hasrat mungkin hilangkan ingatan tentang yang menanti cerita,
oh, sungguh tinggi mimpimu diperjuangkan asa.
Malam nanti kita ‘kan dengarkan bulan mendongengkan,
ledakan-ledakan tawa mengangkasa di puncak perbukitan,
terapit danau-danau kecil bak samudra,
desa kelahiranmu sebelum matamu tersilau binarnya kota.
Malam nanti kita ‘kan dengarkan hujan bersaksi bisu,
lipatan kemejamu yang mungkin tak pernah luput dari aroma rindu,
surat berkabar tak lagi dikirimkan oleh si penunggu,
aku tahu kemerlap yang semu itu telah membuatmu candu.
Ingat untuk pulang, Anakku,
demi tunas hijau si bengkoang,
rumput-rumput ilalang yang berhenti kausiang,
kayu bakar basah menimbun bara di pematang.
Tak perlu membawa seguci emas, Nak,
harta yang kaupupuk dalam-dalam,
biarlah tetap tersembunyi hingga datangnya malam,
kita ‘kan bermimpi lagi di bawah lentera yang temaram.
Mataram, 31 Desember 2023
Baca juga: Puisi-Puisi Hidroyan Sunengsih
Setulus Peluk Arunika
Apa kabar engkau pejuang peluk arunika?
Masih kuamati dari balik merahnya langit senja,
helai rambut yang satu per satu meninggalkan kantungnya,
lipatan kulit mengeriput di bantaran senyuman yang tetap sejuk menyapa.
Masih kuingat tawa manis saat kaudongengkan aku legenda,
anak-anak pincang di seberang lautan yang tak mengenal luas semesta.
Apakah masih kausimpan penawar luka dalam rabaan tangan selembut sutra?
Membelai sambil bermimpi berpayungkan dedaunan hutan menerawang purnama.
Bolehkah aku datang lagi bersandar letih berkeluhkan semu dunia?
Hati yang kecil tak sanggup menahan karamnya angan cita,
menyeka air mata berlinang menantikan badai mereda,
mendekap erat kesepian menunggu Tuhan membalas cerita.
Apa kabar engkau pejuang peluk arunika?
Masih terbenam di benakku langkahmu yang berani,
goresan-goresan di tumit menyebrangi ranjau-ranjau berduri,
demi anak-anak cucu yang kaubawakan lentera dalam sunyi.
Masihkah embusan napas mengukir abstrak bayangan rumah di udara?
Dalam kepekatan kabut yang menghantui malam,
kauberpesan tentang masa depan tanpa berbalik menyambangi yang kelam,
terasa nadi memburu mengejar waktu yang tak mau berhenti terdiam,
kawan-kawanmu hanya mengirim duka dalam surat tanpa turut membaluti lebam.
Aku tetap di sebelahmu, terpangku hampa tak utuh jiwa melihatmu derita.
Tak lagi terkumandang harapan-harapan di telinga,
janji-janji tak berlogika,
sudah cukup kau mengusap sendiri detak yang meronta setiap terjaga.
Bila siapkah kau segera terlelap,
tinggalkan kami banyak memori tak bersayap,
sesekali hadirlah dalam mimpi yang takkan lenyap,
aku mencintaimu seumur hidup yang selamanya menetap.
Mataram, 14 Januari 2024
Baca juga: Puisi-puisi Dalbert Chaderick
Tenggelam di Udara
Ibu pertiwi, bolehkah kubiarkan air mataku menetes sedikit menjangkau dalam ragamu yang sunyi?
Penyair favoritku mengoyak memori masa lalu, diksi yang tak berjiwa, menembus lubang berdarah di balik kalbuku.
Kehidupan yang kupertahankan dengan satu kaki, takdir yang melumpuh, dan masa depan yang penat ‘tuk kukejar lagi.
Ibu pertiwi, bolehkah sekali saja aku jatuh cinta pada orkestramu sebelum matahari berpamit?
Kehampaan menampar keras ke sekujur relungku, bagai dayung sampan yang patah, ditinggal oleh arus di pesisir tersesat tanpa renjana ingin kembali.
Aku kehilangan pujaan hatiku, Ibu, sosok yang kerap menjenguki kamarku saat bermimpi, malam tak berbintang kala ketakutanku mengucur deras.
Tak mampu aku membendung hujan menggenangi kasih yang lama kutinggal mati, waktu-waktu tak bersuara seperti memerangkapku dalam frustrasi menantikan asa.
Kemarin aku mengecupnya terakhir kali, Ibu, dosa-dosa yang melayang di kepalaku, memahkotai kesucian yang selama ini membiusku terjaga.
Maafkan anakmu ini, Ibu, polos dan tak mengerti apa-apa.
Andai lekas aku terbunuh oleh semesta, kautakkan kerepotan menutupi sesal dan benci yang kubawa.
Mataram, 16 Januari 2024
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Wijaya Suryantarini
Editor: Ayu K. Ardi
-
Ping-balik: Puisi-puisi Soeryadarma Isman - Majalahelipsis.id