Januar Efendi dengan nama pena JE Darwisi. Pegiat literasi ini lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 6 Januari 1988. Guru Pondok Pesantren Kauman Muhammadiyah. Ia menulis cerpen dan puisi. Beberapa karyanya pernah dimuat di koran-koran Sumatra Barat. Bersama dengan santrinya, sarjana S-1 FKIP UM Sumatra Barat ini telah menerbitkan dua buku antologi bersama; cerpen dan puisi. Beberapa kali menjadi narasumber kepenulisan fiksi bertajuk “Tebar Virus Literasi”. Saat ini ia pembina Sanggar Menulis Santri di sekolah tempat ia mengajar.
Desember Pada Wangimu yang Singgah
Savin! Aroma manis bolt dari vanilla coffee
Kubalut rindu mesti hujan kembali merinai
Oleh wangi tubuhmu yang sarat kenangan
Saat jejakmu tak lagi singgah dibasahnya air mataku
“Kita telah berdosa,” katamu dengan rintih paling pedih
Manusia pendosa saling mencintai dalam doa
Merapal zikir membasuh dosa membelah luka
Tentang sunyi yang tak lagi sepi
Tentang setitik kenang terselip genangan air mata
“Ada cumbu yang tak akan layu pada aroma parfummu,” kataku dengan kalut, mungkin hancur
Meski terlilit rindu dalam kungkungan waktu
Jalan takdir telah mengurai kisah
Jalan yang tak berjeda untuk meminta Kasih-Nya
Diamlah sejenak, biarkan luka berlumur butiran tangis
Tergurat tanya pada masa-masa entah
Rindu tak lagi memiliki waktu tunggu
Semerbak wangi vanilla coffee membakar tubuh pecinta
dalam sekarat dan kecewa bibirnya berucap pada sang maha kasih
Aroma kopinya seperti mengisi ruang palung kesunyian
Awalnya singgah sejenak kemudian berlalu pergi
Biarkan sejenak rindu mengendap di botolnya yang elegan
Aromanya yang maskulin atau pun seksi
Kaupun berlalu dengan tenang
Meninggalkan luka-luka dan perih paling rintih
“Kita hanya bisa bersandar pada waktu” tutupmu
Kauman, 19 Desember 2024
Desember Setelahnya
Kenanglah ia sampai berlumut
Meski senja yang terlukis segera lapuk
Mengakar puing-puing cemara tumbuh semalam
Seperti rintik hujan yang gemercik
Menyisakan gigil dan damai
Sedikit ia sisakan bekas air mata
Tawa terhapus dengan ribuan tanya
“Kita terlalu angkuh pada waktu” katamu
Bersandarlah! Mesti di sudut sunyi
Berbisik pada cakrawala
Agar ia berikan senja yang bermega
Padanya palung paling renyai
Agar masih menyisakan kanvas semesta
“Tidakkah ruang terlalu sempit?” tanyamu
Tunggulah! Biarkan semuanya indah
Seperti Mozart yang memainkan jemarinya
Pada nada-nada Concerto #21 dengan C Mayor
Mengalun menghentak pada bilur-bilur hati
Doa-doa semakin khusyuk dilantunkan
Rindu-rindu semakin dalam dirasakan
Kauman, 17 Desember 2024
Desember di Akhir Pekan
Di bibir cawanku sebaris senyummu membekas
Ada luka yang tergores di sana
Mungkin kopinya terlalu pahit saat kau nikmati
Atau karena lidahmu tak biasa dengan kejujuran dari rasa
Dalam Manyala Coffee Shop
dari kursi-kursi kayu taman kota Barelang
ke meja-meja Jati Luhur
Tetiba Kau hadir
Menyapaku lembut menyebut namamu O… Ja
Kau kembali mengukir
Lembaran-lembaran kisah yang telah kusam
dari perjamuan kita yang entah kapan akan berakhir
Rindu menjelma bagai bara api dalam genggaman
Perih tertusuk duri tajam
Berbaring di samping mata merah berdarah
Krisan gugur bagai luka-luka yang menganga
Aku sudah sampai pada tahap lelah
Ingin berhenti sejenak
Menyambangi rindu-rindu yang beriak
Tentu telaga bening di kedalaman hatimu
Tempat kutuju segala resah untuk dicurah
O… Ja…. O… Ja …
Barangkali pada sebuah senja
Menganak mata air kasih di pelupuk mata sendumu
Ingin kureguk dengan cawan-cawan kegelisahan
Jarak waktu mengintai
Ingin kupeluk mesti pisau-pisau sayapnya akan mencabik-cabik piluku
O… Ja… O… Ja …
Padang Panjang, 15 Desember 2024
Desember, Tahun-tahun Rindu
Kembali kusapa Rabb dengan sapaan paling mesra
Menyapa-Nya lewat lantunan doa-doa yang tak pernah hentinya kulangitkan
Diskusi dengan hati kecil
Tentang apa yang membuatnya kuat sampai detik ini
Adalah rindu yang tak pernah pudar ditelan peristiwa
Adalah rindu yang tak pernah pudar ditelan waktu
Adalah rindu yang tak pernah pudar ditelan masa
“Kita adalah satu kesatuan yang dipisah lewat cerita pelik kehidupan,” katamu
Aku hanya berbisik sedikit saja pada langit
“Namamu masih menjadi satu-satunya nama yang selalu kusenandungkan dalam doa-doaku”
Padang Panjang, 1 Desember 2024
Desember Kamis Entah ke Berapa
Kau tahu … Di sini sedang gerimis
Gerimis rindu yang masih membasahi hatiku
Aku paling senang saat kau memanggil nama panjangku
Entah kenapa, semua berbeda saat kaueja namaku dengan lengkap
Terkesan manja tak dibuat-buat
De’ patros cafe kita mendengar dengan lekat lagu kesayangan diputar bergantian
How Deep Is Your Love yang dimainkan dengan indah oleh Bee Gees
Atau petikan piano Closest to You yang mengoyak rindu
Pernah juga kita larut dalam syair Your Laughter Neruda
Menghayati setiap kata yang ia tumpahkan dengan keresahannya
Atau juga To One Departed yang justru telah mengoyak-ngoyak sepi seorang
Edgar Allan Poe
“Kau adalah satu nama yang kusebut setiap kali kubicara dengan Tuhan,” katamu
“Sama halnya dengan kopi, cinta akan menemukan pecintanya,” kataku
Ah … aku mengingatmu sebagai jalan buntu
Karena kita adalah satu ragu yang kau simpul menjadi satu
Aku bukannya tak mau pergi
Hanya saja aku adalah sosok lelaki yang enggan untuk melangkah lagi
Biarlah di sini di dosa yang selalu sama
Di pertaubatan yang masih yang itu-itu jua
Aku tengah mengaduk sesak sembari mengiris senja di pelantaran Nongsa Beach
Berharap sunrise terbit di altar-altar Melur Barelang
Atau kita akan bermain pasir di pantai Mirota
Membuat rumah-rumah pasir yang diempas gelombang
Atau sekadar bermain ayunan di taman-taman bukit Balerang
Biarlah!
Biarkan semua lekat di pelantaran doa-doa yang sering kita ucapkan
Di mihrab teragung kita kembali senandungkan lagu cinta yang masih sama
Padang Panjang, 15 Desember 2024
Minggu Kedua Desember Entah Tahun Berapa
Seperti engkau,
Aku lahir dari sebuah sejarah
yang rindu di pelupuk lara
Seperti pertemuan biasa atau kebetulan saja
“Rumah; tempat hati kembali,” katamu
Aku susuri jalan rindu yang masih abu
Takjub menemukan kepingan-kepingan luka
membangun dunianya sendiri
Di pantai Mirota engkau pungut mimpi dari kepingan cinta tipis
“Kita tidak sedang bercanda bukan?” tanyamu
Barangkali pada sebuah senja
Di kursi-kursi taman Bukit Barelang
Atau pada kamar depan rumah nomor 60
Engkau masih saja mengukir sepi di dinding langit
Atau dalam kafe tanpa nama, tanpa daftar menu, tanpa pengunjung dan juga barista
Ah … kata-kata berangkat tua dalam imajiku
Namun senyummu abadi seperti sebaris sajak Rendra
“Masihkah engkau simpan senja dalam ingatan?” tanyamu
Tetap saja sukar kubedakan
kekuatan doa dan kepiluan masa lampau
Ketika waktu berhenti sejenak,
kukenang kembali tawamu yang lepas
Di situ senja yang tak terlupakan diciptakan
Dengan sepotong ice cream yang cepat meleleh di rokmu
Kauman, 13 Desember 2024
Desember Tahun Sebelumnya
Kelopak Daffodil mengurai bersama rintik hujan siang ini
Mesti telah kurampungkan imaji dalam catatan kecil
Pada kanvas-kanvas langit, kembali kuukir rindu yang tak berkesudahan
Berlari mengejar mimpi-mimpi yang pergi entah ke mana
“Apakah kau percaya Oja?” tanyaku
Aku … ah … percayalah, aku tak akan pernah menyerah pada realita!
Ini belum sakit yang pernah kaugores luka-luka seperti Anne tersesat dalam penantian
Atau tentang Sawyer yang tak mau menyerah pada petualang baru bersama para sahabatnya
Bukan Oja, bukan juga tentang Luna dan Leo di petualangan yang menjelajahi Himalaya
Ini tentang Widge yang murung di depan sajak-sajak Rendra
Ini tentang Neruda dalam mencari tawa yang hilang
Pada sebuah cermin mungkin sepasang mata rusuh
menyelundup ke dalam hatimu: Ada yang mengalir lambat dan tenang di situ
Seperti perjalanan sungai musim
kemarau, menuju tempat yang asing yang tak pernah kau
kenal, barangkali laut, atau telaga rindu yang kusebut; entah!
Tetapi laut terlalu luas dan gagah bagi air mata yang jatuh dan menggenang di atas sehelai kertas, tanpa tulisan apa pun
Meninggalkan cuma jejak samar pada lembaran-lembaran hatiku
Membekas bagai serpihan cermin, luka-luka, terlukai, melukai, atau dilukai
Ah … Desember tahun sebelumnya
Kauman, 7 Desember 2024
Penulis: Januar Efendi
Editor: Muhammad Subhan