OlehYoffie Cahya
Bulan Ramadan kembali tiba. Semua umat Islam menyambut bulan suci yang penuh rahmat, ampunan, dan berkah ini dengan suka cita. Selepas Isya, anak-anak pesantren di kampungku berpawai obor keliling kota, sebuah tradisi yang terus berjalan setiap menyambut bulan Ramadan.
Berbeda dengan bulan Ramadan tahun-tahun yang lalu, tibanya bulan Ramadan tahun ini telah mendatangkan kesedihan yang mendalam di hatiku. Betapa tidak. Jika bulan Ramadan tahun-tahun yang lalu Ibu masih mendampingi kami sekeluarga, bulan Ramadan tahun ini kami sekeluarga telah kehilangan Ibu. Ibu meninggal tiga bulan yang lalu karena serangan jantung.
Kematian memang mutlak kehendak Allah. Tapi kematian Ibu erat hubungannya dengan peristiwa yang ia alami ketika ia bertengkar dengan istri kedua Ayah.
Ibu yang memang sudah lama mengidap jantung koroner rupanya tak kuasa mendengar cacian dan hinaan dari istri kedua Ayah ketika ia melabrak Ibu ke rumah kami. Ibu dan perempuan itu bertengkar sengit, masing-masing mengucapkan kata-kata kasar yang menyakitkan hati. Pertengkaran itu berakhir dengan terhuyung-huyungnya Ibu sambil menekan dada sebelah kiri dengan tangan kanannya karena merasa kesakitan yang luar biasa. Lalu Ibu terkulai dan tak sadarkan diri.
Perempuan itu seperti ketakutan dan segera pergi dengan menancap gas sepeda motornya. Kami segera melarikan Ibu ke rumah sakit, namun nyawa Ibu tak tertolong.
Peristiwa ini semakin menanamkan rasa benci kami kepada Ayah karena boleh dikatakan perbuatan Ayahlah penyebab kematian Ibu. Ayah juga telah menyakiti hati Ibu dengan menikahi perempuan itu dan menyebabkan hati Ibu menderita bertahun- tahun.
Kematian Ibu seperti tak menimbulkan kesedihan di hati Ayah karena waktu itu mungkin ia sedang berbahagia dengan si pelakor.
Kematian Ibu hanya menyisakan kesedihan di hati kami, tiga bersaudara yang masih tinggal dalam satu atap.
Dalam keluargaku, aku adalah satu-satunya anak perempuan dan anak bungsu yang masih duduk di kelas sebelas SMA. Kedua kakak laki-lakiku sudah bekerja di pabrik garmen dan pabrik sepatu yang berlokasi lima kilometer dari kampung kami. Mereka berdua belum berkeluarga.
Aku selalu ingat, jika bulan Ramadan tiba, Ibulah yang selalu sibuk menyiapkan makanan untuk kami berbuka puasa dan bersantap sahur pada dini hari. Ibu pula yang selalu bersamaku pergi ke masjid untuk salat Tarawih. Pulang dari masjid, di rumah, kami bertadarus sampai pukul setengah sepuluh malam. Ibu pula yang selalu mengajariku jika ada kata-kata tertentu dalam surat-surat Al-Qur’an yang lafalnya kurang sempurna. Tapi mulai bulan Ramadan ini, aku tak akan mengalami lagi hal-hal yang rutin setiap bulan Ramadan itu bersama Ibu. Ibu telah pergi untuk selamanya dan membuat aku benar-benar merasa kehilangan.
Rasa kehilangan ditinggal Ibu membuat aku melakukan sebuah kebiasaan jika hatiku sedang dalam kesedihan atau keterharuan, yaitu aku suka menulis puisi. Dengan menulis puisi, aku bisa mencurahkan isi hati, dan jika puisi itu rampung kutulis, aku merasa terlepas dari sebuah persoalan yang membebani pikiranku. Maka begitulah, pada suatu malam setelah membaca Al-Qur’an aku menulis sebuah puisi untuk Ibu.
Dalam imajinasiku, aku dan kedua kakakku seolah-olah sedang berziarah ke makam Ibu, hingga puisi itu kuberi judul: Di Depan Pusaramu
Di Depan Pusaramu
Ibu
di depan pusaramu
sempurna wujudmu dalam bayang
engkau yang telah pergi tinggalkan kami
kini terbaring sendiri dalam kesunyian
kepergianmu meninggalkan seribu kenangan
tentang sosokmu sebagai ibu sejati
melahirkan, merawat, dan memandu kami bertiga
dari kecil sampai dewasa dengan tulus
dan penuh pengorbanan dalam satu atap,
satu hati, dan satu cinta
kau berikan kami arti kasih sayang
tertanam begitu dalam di dasar hati
terasa selalu menyejukkan jiwa kami
di depan pusaramu
tangis dan sesal menyesak dada
kau begitu cepat tinggalkan kami
hingga kami tak sempat berbakti
hanya keikhlasan terpatri dalam hati
engkau pergi karena panggilan Illahi
di depan pusaramu
hanya doa yang kami panjatkan
semoga arwahmu damai di sisi Tuhan
semoga kelak kita dapat bertemu
berkumpul kembali di alam keabadian
Rumah Sunyi, Ramadan 1445
*
Sejak Ibu tiada, Ayah tak pernah pulang. Ia tinggal bersama perempuan dan kedua anak tirinya itu di sebuah rumah kontrakan. Tiap bulan Ayah hanya mentransferku sejumlah uang untuk keperluan sekolah, termasuk uang jajan dan ongkos naik angkot. Untuk makan sehari-hari, kedua kakakku bergantian memberiku risiko dapur. Jadi, aku sebagai pengganti Ibu, tiap hari menyiapkan makanan untuk kami bertiga.
Dari Wati, teman sekelas yang kebetulan sekampung dan bertetangga dekat dengan Ayah, aku banyak menerima informasi tentang rumah tangga Ayah dengan perempuan itu.
“Kasihan ayahmu,” kata Wati suatu siang ketika kami pulang sekolah.
“Memangnya kenapa, Wat?” tanyaku karena aku benar-benar ingin mengetahui keadaan Ayah.
“Gaya hidup perempuan dan kedua anaknya yang masih kuliah itu benar-benar konsumtif. Sehingga, dari segi keuangan ayahmu seperti kewalahan. Perihal ini aku sering mendengar percakapan, bahkan pertengkaran mereka.”
“Oh, ya?” Hanya itu kata-kata yang terucap dari mulutku. Aku jadi ingat, beberapa bulan yang lalu, Mang Udin, adik ayahku, pernah mengatakan bahwa Ayah sudah dua kali menjual sawah warisan keluarga tanpa kesepakatan bersama. Mungkin hal ini Ayah lakukan untuk memenuhi keinginan istrinya. Gaji Ayah sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta tidak cukup menafkahi perempuan beranak dua itu.
“Perempuan itu seperti memeras harta ayahmu. Mungkin karena tingginya biaya hidup mereka sehari-hari, ditambah dengan biaya kuliah kedua anaknya.”
Aku hanya berdiam diri. Aku tak mengerti mengapa Ayah begitu mencintai perempuan itu.
“Perempuan itu memang cantik dan bertubuh seksi, banyak lelaki menginginkan dirinya, tapi hanya ayahmu yang berhasil menikahinya.”
“Oh, begitu, ya. Pantas ayahku seperti tak berdaya diperbudak perempuan itu,” kataku menimpali ucapan Wati. Sejujurnya aku masih membenci Ayah, tapi mendengar semua yang diceritakan Wati tentang Ayah, rasa kasihan pada Ayah diam-diam menyelinap ke dalam hatiku.
*
Entah hari yang ke berapa di bulan Ramadan ini, Ayah pulang dengan wajah duka seperti sedang ditimpa musibah. Sejak Ayah beristri dua, kami bertiga memandang Ayah dengan sikap yang acuh tak acuh. Ayah juga seperti tak lagi memperhatikan kami sebagai anak-anak yang masih membutuhkan perhatian dan tanggung jawabnya.
Sehabis salat Magrib, malam itu kami berempat berbuka puasa bersama. Tak seperti biasanya, sikap Ayah kepada kami selama ini. Malam itu Ayah bersikap seperti dulu, ramah dan penuh perhatian kepada kami. Kepada Kak Hendra, kakakku yang paling sulung, ia bertanya tentang gajinya setiap bulan dan apakah sudah ada niat berumah tangga. Juga kepada Kak Amran, ia bertanya perihal yang sama. Kepadaku, Ayah bertanya sambil bercanda apakah aku sudah punya pacar atau belum. Ayah mewanti-wanti, agar aku rajin-rajin belajar untuk bisa lulus SMA dengan nilai memuaskan. Jika aku berniat meneruskan sekolah ke perguruan tinggi, Ayah bersedia menanggung biayanya. Aku merasa Ayah begitu menaruh perhatian kepadaku dan aku mulai merasakan kembali kasih sayangnya.
Sekira pukul sepuluh malam, ketika kami sudah berada di kamar masing-masing, aku mengangkat handphone karena ternyata Wati memanggilku.
“Halo, Is. Belum tidur?”
“Belum, Wat? Ada apa?”
“Enggak, Is. Aku ingin memberitahu saja, tentang ayahmu itu. Apa sekarang sudah pulang ke rumahmu?”
“Oh, ya … ya. Ayah memang sekarang ada di rumah. Memang kenapa, Wat? Ada yang mau kauceritakan?”
Aku bertanya demikian karena merasa penasaran ingin mengetahui kenapa sekarang Ayah pulang dan berkumpul lagi dengan kami.
“Ya, Is. Kemarin sekampung kami gempar. Sebuah berita dari mulut ke mulut menjadi viral. Tante Irma, istri ayahmu itu, terciduk sedang berbuat mesum dengan selingkuhannya di sebuah hotel. Istri selingkuhannya melabrak mereka hingga di hotel itu terjadi keributan.
Aku terkejut mendengar ucapan Wati, lalu bertanya, “Lantas bagaimana, Wat?”
“Atas laporan satpam yang bekerja di hotel itu, mereka bertiga digiring warga ke rumah RW untuk dimintai keterangan. Kemudian ayahmu juga dipanggil untuk memberi keputusan atas perbuatan mereka.”
Beberapa saat aku hanya berdiam diri. Sekarang aku tahu mengapa Ayah pulang dan sikap Ayah kembali seperti dulu.
“Aku mendengar kabar bahwa ayahmu tidak akan memperpanjang kasus ini. la hanya akan menceraikan Tante Irma dan hari itu juga pulang ke kampungnya.”
“Oh, begitu. Terima kasih, Wat, atas informasinya.”
“Ya, Is. Sama-sama. Selamat malam, wassalamu’alaikum.”
Aku terhenyak. Termangu merenungi apa yang telah diceritakan Wati tentang peristiwa yang terjadi dalam rumah tangga Ayah dengan perempuan itu.
*
Beberapa hari Ayah tinggal bersama kami. Ia memperlihatkan sikap seorang muslim yang taat, rajin mengerjakan salat lima waktu. la menunaikan salat Isya di masjid untuk kemudian mengikuti salat Tarawih. Di rumah, ia membaca Al-Qur’an sampai pukul sepuluh malam.
Sampai pada suatu malam, ketika aku terbangun dan bermaksud mempersiapkan sahur untuk kami sekeluarga, aku mendengar tangisan dari kamar Ayah. Aku segera mengetuk pintu kamar Ayah karena ingin mengetahui apa yang terjadi.
” Masuk!” kata Ayah dan ternyata pintu kamar tidak dikunci.
Ayah mengusap-usap matanya yang sembap sehabis menangis.
“Kamu yang menulis puisi ini?” tanya Ayah.
“Ya, Ayah,” jawabku. Aku baru ingat, aku menulis puisi itu di sehelai kertas lalu menyimpannya di laci lemari Ibu. Rupanya Ayah menemukan puisi itu dan membacanya malam ini.
“Aku terharu membaca puisi itu, aku merasa berdosa kepada almarhumah ibumu.”
Aku hanya diam, aku sengaja membiarkan Ayah terus berbicara tentang Ibu.
“Selama ini aku telah menyakiti hatinya karena tergoda oleh perempuan lain. Aku telah meninggalkan istri dan anak-anak, hanya karena menurutkan hawa nafsu. Aku bukan seorang suami dan bukan seorang Ayah yang baik. Aku benar-benar menyesal atas perbuatanku selama ini.”
Aku melihat mata Ayah kembali berkaca-kaca. Aku buru-buru berkata, “Sudahlah, Ayah. Nasi sudah menjadi bubur. Yang penting sekarang Ayah sudah kembali ke rumah ini.”
Ayah mendekat dan memeluk tubuhku, membelai-belai rambutku dengan penuh kasih sayang. Diam-diam aku pun menangis karena terharu.
Dini hari ketika kami berkumpul di ruang makan untuk bersantap sahur, Ayah mengutarakan maksudnya untuk kembali tinggal bersama kami. Ayah meminta maaf kepada kami atas perlakuannya kepada Ibu. Sebagai orang tua yang masih punya tanggung jawab, ia meminta maaf karena meninggalkan kami begitu saja. Ayah berbicara dengan mata yang lebih sering menatap Kak Hendra dan Kak Arman karena Ayah tahu bahwa sedikit banyak aku sudah lebih dulu mengetahui hal ini.
Kak Hendra dan Kak Arman hanya mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda memaafkan Ayah dan menerima kembali Ayah sebagai kepala keluarga di rumah ini.
Selesai kami bersantap sahur, Ayah mengeluarkan sesuatu dari dalam saku bajunya, dan ternyata sehelai kertas bertuliskan sebuah puisi yang kutulis untuk Ibu itu.
“Nah, hari Lebaran nanti, kita berempat berziarah ke makam Ibu. Setelah kita berdoa untuk arwah Ibu, Ayah harap lis membacakan puisi yang ditulis untuk Ibu ini. Kamu siap, kan?” tanya Ayah sambil menatapku.
“Ya, Ayah. Saya siap,” kataku spontan.
Dini hari itu kami kembali merasakan suasana sebuah keluarga yang berbahagia. Ya, bulan Ramadan tahun ini yang semula bagiku mendatangkan kesedihan ditinggal Ibu, akhirnya diimbangi dengan kebahagiaan karena Ayah telah kembali bersama kami. Bulan Ramadan memang bulan yang penuh rahmat, ampunan, dan berkah. []
Kadipaten, 12 Februari 2024
Yoffie Cahya. Lahir 26 Oktober di Kadipaten, Majalengka. Menulis buku, cerpen, esai, dan artikel di media lokal dan nasional, media cetak dan daring. Pada 25 September 2023, mendapat penghargaan sebagai seniman (sastrawan) dari Pemda Majalengka.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Yoffie Cahya
Editor: Adisman Libra