Oleh Rhendi Sepriany
DEKAPAN jemari itu begitu hangat seakan meniup hawa dingin studio bioskop yang begitu menggigit untukku yang lagi-lagi lupa membawa jaket. Sesekali Nicho menoleh ke arahku dengan tersenyum. Walau dingin tetap saja ice avocado latte selalu jadi pilihanku jika kami berkencan ke bioskop layaknya hari ini. Tentu saja popcorn butter penyempurna dari printilan hal yang tak ingin kulewatkan. Kencan pasaran yang selalu dilakukan oleh anak muda zaman sekarang tampaknya jadi gaya yang kami pilih untuk berada di tengah keramaian namun tidak bersinggungan dengan orang lain. Bukan tentang apa yang kami tonton, tapi tentang bagaimana kami bisa melewati banyak waktu bersama lebih lama. Kejutan-kejutan dari film horor ini seakan tak berarti untuk menakutiku. Jari-jari yang lebih kokoh itu seakan berkata “tak akan kubiarkan mereka menakutimu”, hingga genggaman tangannya tak memberikan jarak untukku merasa takut pada hal semacam itu. Ia tentu saja dengan senyum tampannya seakan membiusku untuk terus berani dalam genggaman tangannya.
Sesekali kusuapi Nicho dengan popcorn yang lebih kentara rasa asin karena hampir habis, ini membuatnya menyeringai keasinan saat disuapi. Walau kutahu Nicho tak bisa meminum kopi karena masalah lambung, tetap saja aku mencekokinya dengan tidak tahu diri. Kopi yang diberi alpukat ini, dan Nicho tak pernah menolak saat aku jejali di bibirnya. Semua yang kami lakukan seakan membuktikan betapa bodohnya dua anak manusia yang sedang dimabuk cinta.
Ini tahun ketiga kami bersama sebagai sepasang kekasih. Nicho adalah sahabat dari sejak kecil dan berakhir jadi kekasih, sedikit banyak membuatku tak pusing dalam hal memaklumi dan dimaklumi. Aku yang dulunya selalu sombong dengan tinggi badanku ketika kami masih kanak-kanak, harus mengakui bahwa Nicho tumbuh baik menjadikanku hanya berada pada ukuran bahunya saat ini. Aku tak mengharapkan tinggi badanku akan bertambah karena aku merasa nyaman ketika memeluknya, tubuhku tenggelam dalam hangat dekapannya dan bisa kuhirup wangi tubuhnya yang bercampur dengan parfume tak ada yang berubah, dia tetap lelaki tertampan di hidupku dengan semua yang dia miliki.
Tak terasa film Bangkit dari Kubur ini sepertinya akan berakhir, seperti biasa Nicho menawarkan kepadaku untuk ke kamar kecil terlebih dahulu, sementara dia akan keluar lebih akhir dari studio agar tak bersinggungan dengan banyaknya penonton lain. Sambil kukumpulkan sampah bekas camilanku dan mengambil kunci mobil yang ada di dalam tas, dengan cepat aku membuangnya di tong sampah yang telah disediakan, dan segera bergegas ke kamar kecil. Tujuan utamaku adalah kamar kecil karena sedari tadi kantong kemih ini seakan tak bersahabat mendorong naluriku untuk segera mengosongkannya.
Setelah lega dengan pergumulanku menahan air kecil, aku mencuci tangan dan tersenyum manis pada pantulan diriku di cermin itu, “siapa perempuan cantik, berambut panjang, bermata sayu di sana? Iya benar, itu adalah Lea istri masa depan Nicholas Pratama!” Terbahak sendiri aku di depan cermin mengagumi betapa cantiknya bayanganku yang ada di cermin itu. Seseorang datang membuyarkan lamunanku di depan cermin, membuatku bergegas harus menyudahi hal bodoh yang kulakukan, kuputuskan menghidupkan kran air dan mencuci tangan tanpa menghiraukannya.
“Lea, kamu Lea kan? “ Sapa perempuan itu dengan yakin.
“Iya, saya Lea. Maaf siapa, ya?” Percayalah, aku sedang berusaha mengingat siapa sosok perempuan cantik berambut ikal, bersuara lembut yang sedang menatapku dengan mantap ini.
“Ini aku Hana, masa kamu lupa? Hanaya! Kita duduk bersebelahan saat duduk di bangku SMP?” Perempuan itu kembali berusaha meyakinkanku.
“Ooo iya yaa.” Aku masih mencari-cari ingatan.
“Hana, hai Hana, sudah lama tidak bertemu!“ Jawab raguku semakin menjadi, aku kembali mencari di mana sisi ingatanku tentang masa SMP itu? Mengapa wanita yang ada di depanku tidak berhasil kutemukan dari kepingan ingatanku. Kenapa seakan kepingan itu bisa menguap di udara raib tak berbekas. Perempuan itu tampaknya kaget dan kecewa dengan jawabanku.
“Lea, bukan masalah jika kamu lupa pada sahabatmu saat SMP, aku akan pamit duluan, ya!“ Sambil melambaikan tangan dia berlalu dengan kecewa nampaknya. Dengan ekspresi wajah itu dia berhasil membuatku membeku di tempat. Aku mulai panik dengan apa yang terjadi. Perempuan itu tampak dongkol saat berlalu, tapi jujur kukatakan, “Mengapa aku tak mengenalnya?”
Terlena mengingatnya aku lupa bahwa Nicho masih menungguku. Sesegera mungkin aku kembali ke arah studio. Sialnya aku terlambat menyadari bahwa aku berjalan ke arah studio yang salah! Batinku geli dengan semua yang terjadi sampai akhirnya tanganku tak kuasa untuk tidak menepuk dahi. “Luar biasa Lea, hari yang lucu.” Sambil menuju ke arah pintu studio aku mengobrak-abrik tasku untuk menemukan kunci mobil. Mengapa kunci mobil tak ada di saku tasku? Kuraih ponsel untuk menghubungi Nicho. Nada dering itu seperti biasa tak pernah berlangsung lama.
“Nic, apakah aku memberikan kunci mobil padamu?“ tanyaku sambil melambaikan tangan dari arah pintu keluar studio, memberikan kode pada Nicho yang dengan santai masih menunggu orang-orang bergantian ke luar studio.
“Sepertinya kamu menyimpannya di saku tas Lea, tapi aku akan memeriksa kembali, barangkali tercecer di bawah kursi.” Suara di telepon ini terdengar begitu sabar menjawab, walau gerak tubuhnya seakan menyusuri tiap jengkal di tempat kami duduk sebelumnya.
Tak berhasil menemukan kunci mobil tersebut Nicho turun di antara kerumunan yang mengantri keluar studio dan menghampiriku.
“Lea, aku tidak berhasil menemukannya, apakah ada tempat lainnya yang dapat kita coba periksa?” Matanya mulai mengisyaratkan kekhawatiran. Melihat itu aku tak kalah lebih khawatir.”
“Bantu aku mengingat apa yang telah terjadi, Nic!” Aku mulai panik.
“Tatap aku Lea, jangan panik! Kita hanya perlu mengingatnya pelan-pelan. Turun dari mobil, kamu katakan biar kamu yang menyimpannya di saku tas, kemudian ….”
“Tunggu Nic, sekarang aku dapat mengingatnya! Aku mengumpulkan sampah dan membuangnya ke sana!” Mata kami sama-sama tertuju pada tempat sampah yang sedang digunakan orang-orang yang selesai dengan camilan menonton. Iya, limbah popcorn dan sebagainya. Kali ini kebodohan apalagi yang terjadi? Jika kunci itu tidak ada pada tong sampah biarkan dia jadi benda keramat yang entah di mana rimbanya. Gantungan kunci Roronoa Zoro yang tampan tak lantas membuatnya selalu aman untuk digenggam.
“Mohon maaf, apakah kami boleh mengobrak-abrik tong sampah ini? Sepertinya perempuan di sebelahku ini membuang sesuatu yang berharga.“ Pinta Nicho pada janitor yang sedang bertugas, sambil melihat ke arahku yang sudah berdiri tegak bak pohon yang kaku, menyadari betapa cerobohnya aku, namun Nicho masih bisa tersenyum mengejekku. Dia menyingsingkan lengan kemeja flanel yang dikenakan. Maafkan aku, Nicho. Aku sepertinya cukup yakin bahwa kunci itu memang terbuang saat aku membuang sampah berondong jagung sialan itu.
Tak berselang lama Nicho mengangkat gantungan kunci Roronoa Zoro itu di depanku, sekaligus menjauhkannya dari jangkauanku ketika akan kugapai.
“Maaf Lea, ini harus dicuci terlebih dahulu sebelum digunakan, kotor terkena kopi.” Selesai dengan semuanya Nicho kembali, seakan tak terjadi apa-apa dia mengusap kepalaku dengan lembut, “Maaf membuatmu menunggu.” Untuk kesekian kalinya jari-jari itu menyelinap di antara jari-jari kecilku dan tak memberikan jarak untuk melepaskannya. Sepanjang jalan menuju parkiran aku tak berhenti menyalahkan diriku atas apa yang terjadi. Tak berhenti di situ, aku sadar dengan kebodohanku hari ini. Air mataku seakan tak bisa kutahan untuk tidak tumpah.
”Nicho, aku minta maaf, aku ceroboh, aku membuatmu harus mengobrak-abrik tong sampah. Aku tidak bertanggung jawab.“ Seakan terkejut mendengarkan isak tangis pengakuanku, Nicho merengkuhku dalam pelukannya dan terdiam untuk beberapa saat.
“Semuanya baik-baik saja. Kuncinya kita temukan, apa yang harus kamu khawatirkan, Lea? Lagi pula ini pengalaman yang lucu. Kamu hanya tak sengaja membuang benda yang mungkin didambakan semua orang. Ingat, tak sengaja! Bukan masalah bagiku.“ Tapi tetap saja aku merasa berdosa karena semua itu. Tak ada yang bisa kukatakan atas hal konyol yang terjadi.
Tujuan selanjutnya kencan hari ini adalah museum. Kami yang sering kali menghabiskan akhir pekan dengan produktif untuk pasangan yang sedang kasmaran nampaknya sepakat akan menghabiskan satu hari penuh bersama. Hari ini begitu padat dan penuh drama sejak tempat pertama kencan, seakan tak ada hari esok kami harus sering bertemu serta menghabiskan banyak waktu tanpa diganggu oleh sahabat dan kerabat. Walau sebenarnya rasa lelah mulai menggerogotiku, seakan menjalar ke seluruh tubuhku, rasa lelah ini semakin menjadi-jadi aku tetap saja penuh semangat melihat senyum Nicho yang tak pernah berubah.
Selesai membeli tiket Nicho merangkul pundakku memasuki museum sepeda. Berbagai macam sepeda dipajang dengan sangat unik. Mulai dari yang tertua hingga yang paling modern. Ada juga sepeda anak-anak yang terpajang dengan kokoh. Langkah Nicho terhenti pada salah satu sepeda anak-anak dengan model mini federal.
“Kamu ingat dulu yang sering boncengin aku naik sepeda itu kamu? Kita berjalan-jalan mengelilingi komplek, dan aku akan merasa sangat bahagia jika anak-anak di komplek mengejek kita dengan berkata bahwa kita “sepasang kekasih”, dan kamu tahu bagaimana ekspresimu? Kesal bukan main,” ucap Nicho sambil menatapku.
Aku berusaha mengingat momen itu. Mengapa ingatanku berkabut, aku tak pernah ingat momen yang Nicho ceritakan. Mengapa hanya dia yang ingat? Dan aku tidak! Sejauh yang aku dapat ingat hanya ciuman pertama yang Nicho berikan, berhasil membuatku tak bisa berkata-kata karena kupikir Nicho tak akan berani melakukannya. Aku takut dia kecewa jika kukatakan “aku tidak mengingatnya”. Kepalaku semakin penat, ada apa denganku? Kabut ini semakin menjerat ingatanku hingga tak ada yang mampu kuingat saat masa kecilku bersama Nicho. Bagaimana aku mengatakan bahwa aku tak mengingatnya. Dia pasti kecewa padaku.
Kepalaku seakan mau pecah, aku menatap Nicho nanar tak mampu mengucapkan apa pun selain menyangga kepalaku yang semakin berat agar tidak mencium bentala pada pijakanku. Semuanya tampak berputar, semakin cepat hingga kelam mulai menjerat pandanganku. Kosong.
Lamunan hampa, kelam, hitam. Aku di mana? Rasanya seperti berada di ruang jebakan yang menekanku untuk meringkuk dalam dasar jurang kenihilan tanpa akhir. Samar-samar kudengar namaku dipanggil. Aku tak memiliki cukup tenaga untuk menjawab mereka. Suara ayah? Suara ibukah itu? Mengapa sepertinya suara-suara itu memanggilku untuk membuka mata? Mengapa aku lupa cara menjawab mereka. Kelu lidahku. Tidak, aku hanya tak memiliki tenaga bangun dari mimpi ini.
“Akhirnya kamu bangun, Lea!”
“Ibu menangis memelukku. Apalagi yang kulakukan hingga membuat wanita cantik nan baik hati sealam semesta ini berderai air mata. Bahkan terisak.
“Kamu baik-baik saja kan, Lea?” Kalimat yang Ayah lontarkan seraya mendekapku dan ibu dengan erat. Siapa lagi orang-orang yang berlarian ini? Dokter? Perawat? Sedang apa semua orang ini? Hal salah apa yang kutorehkan kali ini? Di mana tenagaku? Aku merasa ngantuk berat, bolehkah kalian tidak berisik dan membiarkan aku tidur? Semua kata-kata itu hanya ada di benakku.
Entah berapa lama aku tertidur, tapi pagi ini semuanya terasa lebih baik. Kusadari aku tidak terbangun di kamarku, tapi di rumah sakit. Perawat laki-laki itu menyapaku dengan sopan, dan berkata akan membuka tirai jendelaku. Cahaya matahari itu menyilaukan mataku. Perawat itu tersenyum melihat mataku yang menyipit karena silau. Dia menjelaskan setelah sarapan beberapa obat harus diminum. Dia juga menanyakan kabarku, apa yang kurasakan hari ini? Apakah ada keluhan yang kurasa? Semuanya terasa baik-baik saja. Ibu yang sedari tadi berdiri cemas di ujung kasur tampaknya membutuhkan jawaban konkret.
“Seperti yang terlihat, kabarku sangat baik, tak ada hal yang harus aku keluhkan kecuali Ibu yang sepertinya cemas sedari tadi di sana,” sambil tertawa aku menjawabnya. Mendengar jawabanku Ibu mencubit dan mencium pipiku. Memalukan sekali untuk usia 27 tahun masih diperlakukan seperti ini.
Ketukan pintu membuyarkan aku dan ibu yang sedang bersenda gurau. Berharap itu Ayah tapi tak mungkin karena beliau sangat sibuk bekerja di pagi hari.
“Silahkan masuk,” Ibu menjawab ketukan itu. Seorang laki berambut gondrong ikal diikat dengan beberapa helai disangkutkan pada daun telinga, berkulit putih, berbadan tinggi, berbibir tipis melengkapi ketampanannya. Dia membawa buket bunga aster, bunga kelahiranku. Seperti sudah mengenal kamar ini dia mengganti bunga aster yang lama dengan yang baru. Ibu tersenyum melihat hal itu. Kupandangi lelaki tampan itu, dia tersenyum manis ke arahku dengan mata indahnya yang sempurna dengan alis tebalnya. Aku tersipu malu dibuatnya. Kenapa ibu tidak marah melihat orang yang tidak dikenal menggoda anak gadisnya dengan senyum semanis itu. Lelaki itu mendekati tempat tidurku. Kenapa ibu lagi-lagi hanya diam saja. Ada yang salah dengan semua ini! Siapa laki-laki ini?
“Bagaimana keadaanmu, Lea?” ucap lelaki itu. Mengapa dia tahu namaku? Mengapa dia diizinkan mendekatiku?
Aku mulai mengingat siapa orang yang terakhir kali kutemui. Ah, sialan itu tak akan berguna, karena lelaki ini tidak ada pada sisi ingatanku! Lagi, mengapa dia memanggilku dengan akrab untuk Azhalea Alexandra?
“Lea, aku cemas, jawab aku bagaimana kabarmu?“ ucapnya mulai terdengar lirih. Kuberanikan untuk menatapnya. Mata itu mulai berkaca-kaca, apakah itu kerinduan? Ketakutan? Putus asa? Mengapa seakan mata itu menjerit ke arahku. Menjalarkan sesak di dada melihat mata nanar itu berkaca. Nelangsakah yang kamu bagi padaku dengan tatapan itu. Rasanya tiba-tiba begitu lirih, kenapa perasaan seperti ini yang dia bagi kepadaku dengan mudahnya. Tapi siapa dia?
“Kabarku baik, tapi kamu siapa?”
Bom waktu itu tiba-tiba meledak, dengan ibu yang terisak menangis membuat terkaget. Pertahanan bendungan air mata lelaki di depanku pun akhirnya runtuh. Walau tangisnya tak bersuara seperti ibu, sakitnya menjangkitiku. Siapa dia yang harus membagi pedih denganku? Mengapa perasaan kehilangan ini menggerogotiku juga. Apa salahku ibu? Aku ingin menangis menahan rasa sesak di dada melihat kalian tapi aku tidak tahu apa salahku?
Tanpa bisa kuhindari lelaki itu mendekapku erat. Hangat tubuhnya mulai menjalar, tapi mengapa aku merasa pelukan ini menenangkan? Sudah gilakah aku bersedia dipeluk lelaki yang tidak aku kenal tapi merasa nyaman?
Sepertinya lelaki ini sudah gila! Aku berusaha melepaskan diri dari pelukan lelaki ini! Namun, sia-sia badannya yang kokoh bukan tandinganku, hingga kuputuskan untuk lunglai menyerah.
“Biarkan aku mendekapmu sebentar saja, Lea. Akan kulakukan sesering yang kumampu walau ingatanmu tentangku juga ikut pudar menghilang,” bisiknya dalam tangis. []
Rhendi Sepriany akrab disapa Iren, perempuan yang lahir di Kalimantan Tengah pada 27 September ini aktif mengajar di salah satu sekolah nasional plus Bina Cita Utama yang ada di Kota Palangkaraya. Ia menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Palangkaraya dengan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Buku pertama yang bertajuk Antologi Puisi Guru-Guru Nusantara #7 dengan judul Melukis Langit (2022) memuat puisinya yang berjudul “Ilalang Melalang”. Menyelesaikan program sertifikasi guru di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara pada tahun 2022 membuatnya menjadi salah satu guru bersertifikasi yang diakui Kemendikbud RI.
Penulis: Rhendi Sepriany
Editor: Ayu K. Ardi