Oleh Muhammad Subhan

“Ini timun suri, timun Aceh, antarkan ke dapur. Suruh Emak kau bikin minuman untuk berbuka,” seru Abak Engku Kari Kecil, berpuluh tahun lampau.

Timun itu berbungkus pelepah pisang. Khas sekali kemasannya. Dan, di masa itu, Engku Kari Kecil dibawa merantau abaknya ke Aceh. Kampung belum banyak berlistrik, gawai apalagi.

Bergegaslah Engku Kari Kecil menyambut timun Aceh itu. Buahnya besar dan segar. Sebesar badan pepaya jumbo. Warna kulitnya hijau kekuningan. Kalau dikubak, isinya ondeh, terbit air liur. Kadang terbawa mimpi pula.

Emak Engku Kari pandai benar meracik buah timun itu, seperti Engku Raoh lihai meracik teh telur di lepaunya di Simpang Lapan.

Emak Engku Kari mengorek isi timun itu pakai sendok, kemudian dimasukkan ke dalam ceret plastik. Agar lezat, dicampurnya sirup, lalu dimintanya Engku Kari membeli es batu ke lepau.

Timun, sirup, es batu, bercampur jadi satu.

Ketika minuman itu sudah terhidang, dan beberapa menit menjelang berbuka puasa, Engku Kari Kecil duduk menafakuri gelas berisi timun di meja kayu usang. Berpangku kedua tangannya di bibir meja, ia tumpangkan wajah dengan kedua bola mata yang tak lepas melihat hidangan di hadapannya. Jakunnya sudah tentu turun naik.

Menit-menit menjelang berbuka itu, menjadi momen paling ditunggu-tunggu Engku Kari Kecil. Tapi, beduk belum juga dipukul Engku Bilal di meunasah (surau), dan menit terasa sejam-dua jam lamanya. Lambat benar waktu berjalan.

Sebentar-sebentar ditengoknya jarum jam dinding berjambul yang setiap waktu berdentang. Ketika beduk sudah benar-benar berbunyi di surau, melompatlah dia menyambar gelas berisi timun Aceh itu. Sekali-dua kali teguk, tandas minuman itu melewati kerongkongannya, terus ke lambungnya yang bagaikan karet lebarnya, menampung makanan apa saja.

Sesudah kenyang, terbit sendawanya. “Uwwoookkk…!”

Jika melihat perangainya itu, Abak dan emaknya hanya dapat geleng-geleng kepala saja.

“Tak elok kau makan minum terburu-buru. Pelan-pelanlah. Tersedak kau nanti,” nasihat emaknya.

Engku Kari Kecil mengangguk, tapi besok diulanginya lagi perangainya itu.

Setelah tahun-tahun paling membahagiakan itu berlalu, dan abaknya sudah pergi pula ke alam baka, tak balik-balik lagi ke dunia, barulah terkenang di benak Engku Kari tentang kebahagiaan masa kecil yang tak dapat diulanginya lagi. Suasana perkampungan yang damai, rumah di tengah sawah yang di anak-anak airnya banyak ikan lele dan belut, serta kawan-kawan masa kecil yang lucu dan selalu bergembira, tak dapat ia lupakan sepanjang waktu.

Zaman yang tak pernah tergantikan, tak akan datang lagi kedua kali.

Dia ingat bagaimana abaknya mengayuh sepeda unta tua belasan kilometer ke kota hanya untuk membeli timun Aceh, semata untuk membujuk dirinya agar mau berpuasa penuh, tak boleh bolong-bolong.

“Kau sembahyang bisa dilihat orang, tapi puasa, hanya kau dan Allah yang tahu. Jujurlah, jangan sekali-kali kautinggalkan yang wajib jika masanya sudah tiba,” nasihat abaknya setiap kali Ramadan datang.

Engku Kari tercenung. Ingat almarhum abaknya.

Allahummaghfirlahu warhamhu….

Dan, kedua bola matanya berkaca-kaca…. []

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan