Potret Kehidupan yang Terkorupsi oleh Pencemaran dan Keegoisan

Naskah drama Air Mata Senja menceritakan tentang perjuangan masyarakat yang tinggal di tepi sungai yang mengalami kerusakan dan pencemaran.

Oleh Al Khansa Humaira Fadil

Naskah drama Air Mata Senja ditulis oleh Joni Hendri, naskah ini dipublikasikan pada tahun 2022 di Majalah Sastra Karas. Judul Air Mata Senja memberikan daya tarik tersendiri yang seolah-olah menggambarkan kesan akan adanya pengalaman pahit atau kenangan buruk yang mungkin saja menghantui tokoh. Joni Hendri tampaknya ingin membuat pembaca bertanya-tanya, “Apakah senja menggambarkan perpisahan yang tak terhindarkan atau sekadar penutupan babak kehidupan seseorang?”

Naskah drama Air Mata Senja menceritakan tentang perjuangan masyarakat yang tinggal di tepi sungai yang mengalami kerusakan dan pencemaran yang mengakibatkan sungai tersebut menjadi banyak sampah dan mulai mengalami penyurutan. Hal tersebut disebabkan oleh masyarakat yang tidak bisa menjaga lingkungan dan keserakahan pihak-pihak berkuasa. Dalam naskah drama ini, terdapat para tokoh yang menggambarkan kegelisahan dan keresahan terhadap kondisi sungai yang tercermar oleh limbah dari industri. Tokoh tersebut yaitu Orang Tua, Istri Orang Tua, dan Tuan Kadi. Naskah drama ini menunjukkan ketidakberdayaan para warga yang berusaha bertahan hidup di tengah kondisi sungai yang menjadi sumber penghasilan bagi sebagian warga kini tercemar, mengancam kehidupan dan mata pencaharian mereka. Naskah drama ini mampu menyentuh hati pembaca secara mendalam karena peristiwa dalam naskah drama ini berhubungan dengan pengalaman dan tantangan kehidupan sehari-hari. Naskah drama sebagai salah satu genre karya sastra merupakan cerminan sosial dalam masyarakat dan mengandung nilai-nilai sosial yang relevan (Sidabutar, 2024). Keterkaitan tersebut membuat pembaca merasa lebih dekat dengan tokoh dan situasi yang dihadapi, sehingga nilai-nilai sosial dalam karya ini dapat dirasakan dengan lebih nyata.

Pencemaran Lingkungan

Menyadari tantangan yang sering kali dihadapi oleh masyarakat di tepi sungai pada saat ini, naskah drama karya Joni Hendri menyoroti pencemaran lingkungan dengan sangat mendalam. Pencemaran lingkungan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga mengancam mata pencaharian warga dan keberlangsungan ekosistem dari sungai tersebut. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau hadirnya zat-zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan yang menyebabkan perubahan kondisi, menurunkan kualitas, dan merusak keseimbangan ekosistem (Budiyono, 2019). Dalam naskah tersebut, tergambar perubahan sungai yang dahulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi beban yang mematikan akibat limbah dan sampah dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat kampung di tepi sungai berjuang mempertahankan hidup, tetapi mereka harus menghadapi kenyataan pahit tentang hilangnya ikan-ikan dan rusaknya kualitas air yang tak lagi layak konsumsi. Perhatikan kutipan berikut yang menampilkan dengan jelas kepiawaian penulis dalam menggambarkan kondisi sungai yang mengalami pencemaran akibat sampah dan keserakahan pihak-pihak berkuasa.

Orang Tua: “Sudahlah dangkal, penuh pencemaran, tak ada yang bisa hidup di sungai ini! (Bingung sendiri dengan perkataannya). Setelah itu ekosistem perairan pun terganggu. Habitat seperti ikan, akan habis. Tengok ini! (Menunjuk ke arah jala yang penuh dengan sampah) sampah yang banyak, air pun dah berminyak-minyak. (Mendekati lukah yang berdiri di tepi pelantaran) Apalagi ikan-ikan sudah punah. Dulu minum air sungai, sekarang air galon. Naseb badan!!! (Tertawa). Kalau mengutuk dalam hati, buat tambah serasa dekat dengan mati. Eeeeehh puihhh!”

Kutipan tersebut dengan jelas menunjukkan perasaan kecewa dan frustrasi yang mendalam dari tokoh atas rusaknya lingkungan sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan mereka. Penulis tidak hanya menyoroti perasaan para tokoh, tetapi juga rasa putus asa melihat ekosistem perairan yang sudah tidak bisa lagi mendukung kehidupan warga sekitar. Sampah plastik dan limbah minyak yang memenuhi sungai membuat ikan-ikan menjadi punah. Melalui sindiran pahit “dulu minum air sungai, sekarang air galon,” tokoh ini menggambarkan perubahan besar dalam kehidupan mereka.

Joni Hendri sebagai penulis naskah drama berhasil menggambarkan dampak buruk dari pencemaran sungai dan perasaan putus asa yang dialami oleh masyarakat yang bergantung pada sungai tersebut. Tokoh dalam kutipan di atas menunjukkan betapa parahnya kondisi sungai yang penuh dengan limbah dan sampah sehingga membuatnya tidak lagi layak sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat setempat. Ekosistem perairan yang terganggu mengakibatkan hilangnya habitat ikan dan menandakan kerusakan lingkungan yang tidak bisa diabaikan.

Rasa Kemanusiaan yang Mulai Pudar

Isu sosial lainnya yang saat ini banyak terjadi di masyarakat salah satunya yaitu rasa kemanusiaan yang mulai pudar. Rasa kemanusiaan yang mulai pudar mengacu pada penurunan nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, kepedulian, dan solidaritas antarindividu atau kelompok (Hasan et al., 2024). Naskah drama ini menyoroti dampak yang dihadapi tokoh karena pudarnya rasa kemanusiaan para penguasa yang tidak peduli akan keadaan masyarakat di tepian sungai. Ketidakpedulian ini tercermin dalam kebijakan yang mengabaikan kesejahteraan rakyat kecil, serta dalam eksploitasi sumber daya alam yang tidak memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Perhatikan kutipan berikut yang dengan jelas menunjukkan keterampilan penulis dalam menggambarkan kondisi sungai yang tercemar akibat sampah dan keserakahan pihak dari berkuasa.

Orang Tua : “Beginilah kisah perjalanan. Tentang hidup yang tak terukur. Tapi ini bukan tiba-tiba membuat kita bersabar atau merasakan nyaman dalam menjalani kehidupan di tepian Sungai Jantan. Tak ada guna untuk menangis. Air mata sudah senja, tak mungkin mengulang kembali menjadi siang benderang. Lihatlah mereka! (Menunjuk ke arah Orang Berkacamata). Itulah yang membekas di hati. Membuat luluh lanta, hingga gubuk-gubuk tua aku dirobohkan dan periuk tidak lagi berisi, tungku dapur pun tak berasap. Bahkan bencana batin terus mengusik lamunan. (Termenung sejenak lalu marah). Ini celaka! Ini benar-benar celaka! Di mana letak kemanusiaan? (Menghempas jalanya ke lantai panggung, sebanyak tiga kali lalu ia keluar panggung lagi ke tempat ia masuk pertama).”

Melalui kutipan tersebut dengan jelas menggambarkan perasaan kecewa dan frustrasi yang dialami dari para tokoh utama akibat hilangnya rasa kemanusiaan di sekitar mereka. Penulis tidak hanya menggambarkan penderitaan fisik yang dialami tokoh, tetapi juga menggambarkan dampak emosional yang ditimbulkan oleh ketidakpedulian dan keserakahan dari orang-orang yang berkuasa. Melalui ungkapan “ini celaka! Ini benar-benar celaka!” menunjukkan betapa tokoh tersebut merasa kehilangan arah hidup, seiring dengan kehancuran yang menimpa dirinya dan masyarakat di sekitarnya.

Keegoisan Penguasa

Tidak mengherankan, pada saat ini keegoisan para penguasa telah menjadi masalah sosial yang kerap kita temui di berbagai lapisan masyarakat, bahkan tidak menutup kemungkinan di kalangan pemerintahan sekalipun. Naskah drama ini menyoroti keegoisan tersebut melalui penggambaran kata-kata yang tajam dan penuh sindiran. Keegoisan penguasa mengacu pada sikap pemimpin atau kalangan elit yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan daripada kesejahteraan rakyat kecil (Umar, 2019). Naskah ini menggambarkan cara penguasa sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk mengambil keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak bagi rakyat kecil. Dialog berikut mencerminkan para penguasa seringkali mengabaikan permasalahan dan kerumitan hidup rakyat kecil serta menyelesaikan masalah mereka hanya dengan menggunakan materi saja.

Orang Berkacamata 3: Menurut firasat saya, masalah ini selesai dengan uang kita, saya yakin betul. Orang tepian sungai itu bukan ada yang kaya. Kais pagi makan pagi, kais petang makan petang, tak mungkin pula rasanya menolak. Meskipun ini hal yang sulit untuk mereka, tapi kalau sudah masalah duet yang masuk, hijaulah mata mereka.”

Betapa mendalamnya keegoisan yang dimiliki oleh para penguasa dalam memperlakukan rakyat kecil. Penulis tidak hanya menyoroti sikap meremehkan dan ketidakpedulian mereka, tetapi mereka juga menunjukkan pemikiran yang menganggap masalah kemiskinan dapat diselesaikan dengan menggunakan uang. Hal itu tercermin melalui pernyataan tokoh “Orang Berkacamata 3,” yang dengan mudahnya menganggap masyarakat kecil akan tunduk begitu ditawarkan materi, seolah-olah harga diri dan kebutuhan mereka dapat dibeli dengan uang.

Joni Hendri sebagai penulis naskah drama Air Mata Senja ini berusaha menggambarkan dengan tajam kerumitan situasi yang dihadapi oleh masyarakat kecil dan keterjebakan mereka dalam ketidakberdayaan di bawah kekuasaan kaum bangsawan. Penulis menampilkan rasa frustrasi, kebingungan, dan ketertindasan sering kali menjadi bagian dari hidup rakyat kecil, yang seolah tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti kemauan para penguasa. Sementara itu, penguasa semakin merasa berkuasa, seolah-olah uang adalah solusi untuk setiap masalah.

Keserakahan Manusia

Terdapat banyak persoalan sosial yang terjadi pada manusia apalagi dilihat berdasarkan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Naskah dalam drama ini menyoroti keserakahan tersebut dengan menggambarkan konflik yang timbul akibat nafsu pribadi yang tak terkendali. Keserakahan mengacu pada kecenderungan manusia untuk selalu menginginkan lebih, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap orang lain (Mahamboro, 2020). Naskah drama ini menggambarkan dengan jelas individu atau kelompok tertentu memanfaatkan kekuasaan atau posisi mereka untuk meraih keuntungan pribadi, mengorbankan orang lain demi kepentingan mereka sendiri. Dialog ini mencerminkan keserakahan membuat mereka yang lebih kuat mengabaikan penderitaan orang kecil. Perhatikan kutipan dialog berikut yang dengan jelas menggambarkan keserakahan manusia melalui kata-kata yang penuh sindiran.

Tuan Kadi : “Perenungan terhadap harapan akan kalah dengan berdiam. Manusia selalu terpuruk dalam kesia-siaan untuk menentukan hidupnya. Bahkan ia sendiri suka membuat sakit untuk kepentingan nafsu. Demi menyelamatkan keuntungan, sedangkan orang kecil akan menangis dan bertengkar dengan keluarga karena tidak bisa bersuara lantang terhadap penguasa. Kekuasaan adalah sebuah perangkap iman yang lemah. Setiap kali matahari muncul tidak mampu menahan cahayanya terhadap sungai ini. Apabila ia terbenam selalu saja membuat mata berbinar-binar memandang sekujur tubuh sungai, seolah-olah pasrah dan tidak bergairah. Tapi bibir mereka (Menunjuk ke arah Orang Berkacamata), merekah menyebut sungai dengan senyum di langit senja yang ranum. Ia tergila-gila untuk menghambur ke dalamnya. Ketika itulah mata air senja mengisak sampai tak mengeluarkan merahnya. (Suara tembakkan muncul dan Tuan Kadi keluar).”

Melalui kutipan di atas, naskah drama ini dengan jelas menggambarkan keserakahan yang terjadi di masyarakat berimbas pada kehidupan rakyat kecil yang terpinggirkan. Perbedaan perlakuan antara penguasa yang rakus akan keuntungan dan rakyat yang hidup dalam kesulitan menciptakan jurang sosial yang semakin dalam. Dialog ini menggambarkan penguasa yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, malah memanfaatkan posisi mereka untuk meraih keuntungan pribadi, sementara rakyat kecil terus merana tanpa bisa bersuara lantang.

Tampaknya, penulis naskah drama ini ingin menggambarkan dengan tajam dinamika kekuasaan yang tidak seimbang dan keserakahan para penguasa menambah penderitaan rakyat kecil. Ketidakadilan yang tercipta dari keserakahan ini, dengan uang menjadi solusi utama untuk segala masalah, menciptakan ketegangan dan ketidakpuasan dalam masyarakat. Dapat kita garisbawahi bahwa ketidakadilan semacam ini tidak hanya merugikan mereka yang terpinggirkan, tetapi juga berpotensi merusak stabilitas sosial dan menghancurkan rasa kepercayaan terhadap sistem yang seharusnya berfungsi untuk kesejahteraan bersama.

Dalam naskah Air Mata Senja karya Joni Hendri, tokoh-tokoh mewakili berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat tepi sungai. Orang Tua mewakili dampak pencemaran lingkungan, Tuan Kadi mencerminkan keegoisan penguasa, yang marah melihat eksploitasi sungai untuk keuntungan ekonomi, Orang Berkacamata menggambarkan keserakahan, Istri Orang Tua mengingatkan pentingnya tradisi, dan kelompok Manusia mewakili penderitaan rakyat kecil. Naskah ini menggambarkan kompleksitas masalah sosial yang saling terkait dan dampaknya pada kehidupan masyarakat tepi sungai. Melalui tokoh-tokoh yang terlibat dalam perjuangan mereka untuk bertahan hidup, naskah drama ini menyampaikan kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial dan dampak buruk dari keserakahan yang merusak ekosistem serta kehidupan masyarakat.

Referensi:
Budiyono, A. (2019). Pencemaran Udara: Dampak Pencemaran Udara pada Lingkungan. Berita Dirgantara, 2(1), 7. http://jurnal.lapan.go.id/index.php/berita_dirgantara/article/view/687/605%0Ahttp://jurnal.lapan.go.id/index.php/berita_dirgantara/article/view/687

Hasan, Z., Wijaya, B. S., Yansah, A., Setiawan, R., & Yuda, A. D. (2024). Strategi dan Tantangan Pendidikan Dalam Membangun Integritas Anti Korupsi dan Pembentukan Karakter Generasi Penerus Bangsa. Jurnal Ilmu Hukum Dan Politik, 2(2), 241–255. https://doi.org/10.51903/perkara.v2i2.1883

Hendri, Joni. 2019. Air Mata Senja. Pekanbaru: Kemdikbud

Mahamboro, D. B. (2020). Keserakahan Celeng: Ketamakan Dalam Kesadaran Moral. Jurnal Teologi, 02(01), 91–103.

Sidabutar, I. M. (2024). Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Karya Sastra Nusantara : Implikasi bagi Kurikulum Merdeka Local Wisdom Values in Literature of the Archipelago : Implications for. Jurnal Boraspati, 1(1), 15–27. https://doi.org/10.31004/boraspati.vxix.xxx

Umar, F. A. (2019). Menguak Kritik Ideologi Sosial Habermas. Jurnal Inovasi, 53(9), 167–169.

Al Khansa Humaira Fadil. Lahir 20 April 2004 di Padang, Sumatra Barat, Indonesia. Saat ini kuliah di Universitas Negeri Padang (UNP), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah menjuarai lomba menulis esai pada Festival Sastra Mursal Esten yang diadakan oleh Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia UNP. Ketertarikannya pada bahasa dan sastra tumbuh seiring dengan perjalanan pendidikannya, terutama dalam mengeksplorasi makna-makna yang mendalam dalam setiap karya sastra.

Penulis: Al Khansa Humaira Fadil

Editor: Maghdalena

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan