Potret Cermin dan Langit-Langit
Tindakan yang benar bukan sekadar tentang apa yang menguntungkan diri sendiri, tetapi juga harus membawa kebaikan universal.

Oleh Muhammad Ishak
ADA manusia yang tajam menyorot orang lain, tetapi lembut mengusap dirinya sendiri. Sebuah ironi, bak kaca benggala yang hanya memantulkan cahaya pada orang lain, namun buram kala mengintip balik ke pemiliknya. “Aku sudah hebat,” katanya, seolah dunia perlu mencatatkan namanya dalam kitab penghargaan semesta. Bersyukur? Tentu, tapi bersyukur dengan catatan kaki—cukup untuk diri sendiri, sekadar merasa cukup, tanpa menginspirasi.
Padahal, katanya lagi, melihat ke bawah itu untuk memeluk rasa syukur. Menyadari betapa masih banyak yang hidup dalam kesederhanaan, mengajarkan kita bahwa keberadaan kita bukan sekadar tentang pencapaian, tetapi tentang berbagi makna. Namun, apa yang sering terjadi? Melihat ke bawah malah dijadikan panggung untuk sombong, menepuk dada, dan merasa lebih unggul dari mereka yang kurang beruntung.
Sebaliknya, melihat ke atas seharusnya menjadi jendela motivasi—sebuah pengingat bahwa ada yang lebih berpengetahuan, lebih bijaksana, dan lebih kuat keimanannya, sehingga menggerakkan kita untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Tapi lucunya, sebagian justru memandang ke atas dengan skeptis, menganggap mereka hanya beruntung atau merasa diri ini tak perlu lagi bercermin pada yang lebih tinggi.
Psikolog dan ahli perkembangan manusia, Carl Rogers, dalam teorinya tentang “self-concept“, mengungkapkan bahwa manusia sering menciptakan pandangan subjektif terhadap dirinya sendiri yang cenderung bias. Menurut Rogers, seseorang cenderung lebih memaafkan kesalahan sendiri dibandingkan orang lain karena mekanisme defensif yang disebut “distorsi persepsi”. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsep diri yang positif.
Kita ini seperti kaca setengah retak—refleksi penuh distorsi. Kita lupa bahwa melihat ke bawah adalah untuk menemukan makna syukur, bukan untuk menilai rendah. Dan melihat ke atas adalah untuk menyerap inspirasi, bukan untuk mencibir apalagi merasa cukup puas dengan apa yang ada.
Ahli filsafat moral, Immanuel Kant, menegaskan pentingnya prinsip “tugas moral” dalam kehidupannya. Kant berpendapat bahwa tindakan yang benar bukan sekadar tentang apa yang menguntungkan diri sendiri, tetapi juga harus membawa kebaikan universal. Melihat ke bawah dengan rasa syukur dan ke atas dengan motivasi adalah bagian dari tugas moral untuk memperbaiki diri dan memberikan dampak positif bagi orang lain.
Manusia selalu pandai memutarbalikkan arah pandang, lupa bahwa syukur dan pelajaran itu tak pernah butuh drama, hanya keikhlasan sederhana. []
Muhammad Ishak, aktif di kegiatan silat, baca puisi, dan teater sejak belia sampai remaja, aktif dalam pementasan teater dan baca puisi sejak tahun 1989 sampai dengan 1995, tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dalam kelompok Teater Dayung Dayung pimpinan A. Alinde (alm.) tahun 1992 dan juga tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta (TIM) dengan Bumi Teater pimpinan Wisran Hadi (alm.) tahun 1994 ,dan aktif pementasan teater di Taman Budaya Sumbar dan kota lainnya, ikut dalam Forum Pejuang Seniman Sumatera Barat (FPS-SB), serta terlibat sebagai pembicara dalam Kelompok Kreator Era AI, bekerja di dunia perbankan selama lebih kurang 28 tahun sejak tahun 1996 sebagian dihabiskan menjadi Direktur Utama selama 20 tahun di beberapa Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Sumbar dan mendirikan BPR milik Pemda Padang Pariaman pada tahun 2007. Sekarang sebagai Komisaris di samping Advokat dan aktif dalam kegiatan Kebudayaan dan Kesenian di Sumatera Barat.
Penulis: Muhammad Ishak
Editor: Muhammad Subhan