Oleh Solu Erika Herwanda
UM mendekat pada undakan toko. Suara ibunya berembus masuk lubang telinga, “Jaga sikapmu. Santun.”
Semalam, bulan bulat penuh yang tampak diarsir dedaunan pohon tanjung mengatapi mereka. “Buat apa?” tanya Srining menanggapi Um ketika perempuan itu bilang akan menjepret satu demi satu batik yang akan ditemuinya.
“Buat laporan ke Bapak kalau suatu saat Bapak sudah kembali, kalau selama ini, Um sudah bisa membantu usaha Ibu. Bagian pembaharu inovasi.”
Wajah Um berseri mengatakan kalimat itu. Sangat jauh beda dengan Srining yang justru menatap kosong pemandangan di depannya. Pemandangan para pekerja yang selesai ngelorot dan sebagian pekerja yang baru saja selesai menyampirkan kain untuk diangin-anginkan.
“Mak Sih, bentangkan kainnya dikit lagi, Mak. Mak Sih minggir dulu. Oke cukup. ‘Tu, dua, yak, sip.” Instruksi Um begitu mengikuti tatapan Srining sekaligus mencoba lensa kamera dengan mengambil potret kain-kain yang dijemur.
Melihat hasilnya, Um yakin lensa kamera yang sudah jarang dipakai itu masih cukup bagus untuk memotret corak-corak batik di Kamolyan.
“Dalam hidup ini ada hal yang cukup kamu imani adanya. Tidak perlu kamu tanyakan dan cari keberadaannya.” Um diam. “Mengerti maksud Ibu?” Srining mencekal pergelangan tangan Um yang masih asyik memperhatikan hasil jepretan-nya.
“Aku percaya Bapak pasti kembali.”
“Kata Ibu, waktu kecelakaan dan rahang Bapak robek, Bapak masih bisa menghibur Ibu. Artinya, Bapak pasti bertahan dengan apa pun demi bisa kembali, ‘kan, Bu?”
Srining mendengus pelan.
“Nikmati saja liburanmu, Um. Lihatlah motif batik yang cantik-cantik di Kamolyan. Jangan lupa ke Bagja Kraton Batik, ya.”
“Memangnya ada apa di sana? Koleksi batiknya lengkap? Atau bagaimana?” Kini pandangan Um beralih dari hasil jepretan-nya dan menatap Srining.
“Iya. Koleksi batiknya lengkap dan cantik. Toko itu menjadi distributor batik terbesar. Pemiliknya seorang pembatik andal. Lebih andal dari Ibu. Dia dulu juga mengenal Bapak. Namun ingat, jika kau bertemu dengannya jangan bertanya macam-macam, jaga sikapmu. Santun.”
Um terdiam cukup panjang.
Siang ini, di hadapannya toko yang diceritakan ibunya terlihat nyata. Sepatu kets Um menapaki lantai toko yang lengang. Karyawan di toko batik itu, Um pikir, tak punya selera bagus pada musik yang dipilih. Semenjak menapakkan kaki di depan pintu toko itu Um hanya mendengar langgam jawa yang lembut, pemanggil kantuk. Suasana yang seperti ini sangat pas jika pengunjung toko Bagja Kraton dikhususkan bagi para orang tua yang ingin menghabiskan uang pensiun mereka untuk berbelanja batik.
“Mbakyu sedang mencari apa? Kemban, jarit untuk tunangan, atau jas batik tulis kami? Biasanya jas batik tulis kami paling banyak diburu.”
“Izinkan saya melihat-lihat dulu.” Sang pegawai mengangguk ramah lantas pergi.
Um akui, batik-batik di toko itu memang memiliki citra pantes disawang, mungkin batik-batik itu digambar dengan tangan-tangan orang yang lurus dan berhati tulus. Betul kata ibunya, ia tak elok melewatkan Bagja Kraton Batik.
Matanya mulai memindai sekitar. Tampak di deretan jenis rok, perempuan bersanggul dan beranting mutiara putih berdiri. Untuk memastikan perkiraannya bahwa perempuan itu adalah sang pemilik toko, Um mendekati salah seorang karyawan dan pertanyaan Um pun terjawab sesuai keinginan Um. Um memberanikan diri mendekati perempuan itu.
“Eh, ada bocah ayu. Mencari rok lilit?” sapa perempuan itu lebih dulu.
Meski pipi perempuan itu penuh kerutan, ia tetap terlihat awet muda. Sesungging senyum Um berikan sebagai sapaan balik pada perempuan yang ia yakini sebagai pemilik Bagja Kraton Batik. Sungguh dia kikuk untuk mengawali obrolan.
“Motif lereng seling sangat patut buatmu, Cah Ayu,” kata perempuan itu sambil menarik tali hingga lilitan rok pada manekin lepas. Matanya yang tenang menjebak siapa pun yang memandangnya agar tersesat.
“Batik di sini cantik-cantik. Apa benar Ibu pemilik toko ini?” Jantung Um berdegup kencang. Perempuan itu tersenyum kecil dan mengembuskan napas lembut.
“Batik memang memikat, aura seorang perempuan akan memancar bila memakainya. Karena memang sebenarnya kodrat perempuan-perempuan pribumi itu, ya, memakai batik.” Perempuan itu belum mengenalkan diri.
“Siapa namamu, Cah Ayu?” Pertanyaan itu justru kembali padanya, Um mendadak gelagapan.
“Nama saya Ummara, Ibu bisa memanggil saya Um seperti Ibu saya memanggil saya,” ucap Um mengenalkan dirinya. Berharap perempuan itu sedikit ingin tahu mengenai ibunya. Mulut Um gatal betul ingin menceritakan ibunya, tapi lagi-lagi ia ingat pesan Srining, “Jaga sikapmu. Santun.” Pesan itu bagai mengiang di udara.
“Oh, tapi enggak apa-apa to, kalau Bu Durasmi manggil kamu Mara? Cantik, lo. Seperti wajahmu. Kayak widodari.”
Um tersenyum pahit. Dia pikir Durasmi akan menanyakan soal ibunya, paling tidak memuji ibunya karena memberikan nama yang elok, tapi perempuan itu justru memilih panggilan lain terhadap namanya.
Rok lilit di tangan Durasmi dia berikan kepada Ummara. Ummara hanya menerimanya. Mereka menyusuri toko perlahan. Durasmi tunjukkan koleksi batik-batik tulis yang dia kerjakan sendiri ataupun para pekerjanya. Um dikenalkan dengan motif parang, lereng, jumputan, dan masih banyak yang sebenarnya sudah Um ketahui. Hanya saja Um berbohong. Dia bilang, sangat sulit menghafal batik-batik itu.
Akhirnya, dengan kebesaran hati Durasmi berikan izin Um memotret batik koleksi tokonya satu demi satu.
“Anak-anak kuliahan juga sering berkunjung ke sini, Mara. Sekadar beli batik kebutuhan mereka atau kadangkala juga wawancara saya. Seperti kamu ini, mereka akan memastikan apa benar saya pemilik toko.” Durasmi tertawa kecil. Gelagatnya tak bisa sembunyikan rona bangga dalam hati perempuan itu.
“Sejak tahun berapa toko ini berdiri, Bu?”
Durasmi memandang Um, tatapan Um mendorongnya menyelami sejarah. “Dulunya hanya rumahan, saat itu Biyung pekerjakan tiga pengrajin.”
Um manggut-manggut, sesekali dia memfoto batik yang ada di kiri dan kanannya. Warna-warna batik di Bagja Kraton tidak terlalu ngejreng, tetapi, Um pikir itu justru menjadi daya tarik dan identitas Bagja sehingga menjadikannya sebagai pusat pendistribusi batik terbesar. Meskipun di hari-hari libur seperti ini tokonya amat lengang, jangan salah, toko online Bagja Kraton Batik tak pernah jeda menerima orderan.
Um dan Durasmi berhenti tepat di depan dua bingkai foto. Foto beberapa pengrajin batik yang sedang nyanting dan di sebelahnya sebuah potret langit kuning pucat dengan bulan bundar benderang diarsir dedaunan pohon tanjung. Um menunggu cerita itu berlanjut, sekalian jika nanti sempat, dia akan menyinggung soal bapaknya.
“Setelah Biyung wafat, usaha batik itu mandek. Saya sendiri, dengan berbekal kemampuan membatik menjadi seorang karyawan di rumah batik daerah Sulur. Tugas saya hanya ngelorot di malam hari di bawah sinar bulan, sambil menikmati desiran angin dan sesekali guguran daun tanjung. Itu merupakan waktu ngelorot khas mereka.”
Ummara tersentak. Dia ingin memotong cerita bahwa itu ciri khas rumah batik milik ibunya, dia ingin bercerita soal ibunya dari sini, dan menanyakan bapaknya pula. Akan tetapi, lagi-lagi Um urungkan niatnya. Memotong cerita orang lain bukan sesuatu yang santun.
“Saya sungguh berterima kasih pada pemiliknya, atas kesempatan itu saya bisa membuka toko ini.” Um tersenyum senang. Sampai rumah nanti, dia akan memuji ibunya, akan menyampaikan terima kasih Durasmi kepadanya. Um mulai tahu alasan ibunya keukeuh menyuruhnya mampir mengunjungi toko batik satu ini di Kamolyan, ternyata Durasmi adalah mantan pekerjanya yang sukses.
“Namun, ada sebuah kesalahan.” Um tercengang sebentar lantas mengelus pundak Durasmi spontan seolah menyampaikan, semua orang punya kesalahan. Cukup jadi pelajaran dan kenangan. Begitu yang ibunya selalu katakan padanya ketika Um kecil ceroboh.
Saat Durasmi menjeda ucapannya, langkah seorang lelaki dibarengi dengan suaranya yang berat dan berwibawa menghampiri mereka. Lelaki itu memakai ikat kepala batik dan kemeja batik motif alasan. Durasmi kenalkan bahwa lelaki itu karibnya merintis toko sekaligus sang garwa.
Namun, sesaat sebelum Durasmi mengenalkan Adi Subagja sebagai suaminya, Um tersentak. Um yakin wajah Adi Subagja muda ada dalam sebuah album lawas di rumahnya. Di foto yang Um lihat, Adi Subagja berdiri di samping Srining yang saat itu sedang mengandung dirinya. Srining sempat bilang itu foto Bapak. Sekarang, Um bertemu Adi Subagja di toko batik rekomendasi ibunya di daerah Kamolyan, sebagai suami Durasmi.
Akal Um sedang berusaha keras memikirkan, apakah bapaknya punya saudara kembar. Apakah nama mereka juga sama. Um ingin segera menelepon ibunya, mungkin benar itu bapaknya, atau itu hanya saudara kembar bapaknya. Lidah Um terasa menebal hingga sukar digerakkan. Apa di dunia ini selalu ada kemiripan wajah, nama pada dua orang, dan kesamaan bekas luka? Apa itu hal wajar?
Um makin terfokus pada rahang suami Durasmi. Ada kulit timbul seperti kepang sepanjang telunjuk di rahang Adi Subagja. Um menggeleng. Kali ini dia menepis prasangka baik yang diajarkan ibunya. Dia tahu, yang terlihat sama pada seorang kembar hanya kemiripan wajah, bukan kepersisan perkara apa saja yang melekat pada tubuh mereka. Lebih-lebih bekas jahitan luka. Rasanya sekarang juga Um ingin menyeret lelaki itu dan menggugatnya. Sementara kepada Durasmi, dia ingin meludah di matanya.
“Mara….” Durasmi menyadarkan lamunannya lembut.
Bersamaan itu, pesan Srining kembali mengiang di telinga, “Jaga sikapmu. Santun.” Um sekuat tenaga menjinakkan api di dada. []
Solu Erika Herwanda. Mahasiswi yang lahir dan tinggal di Madiun, di Ponorogo kuliah saja. Beberapa cerpennya bisa dibaca di Lensasastra.id, Matamata.co, Cerpen_Sastra, Ngewiyak.com, Janang.id, Omongomong.com, dan Kompas.id.
Ikuti update terbaru tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Solu Erika Herwanda
Editor: Ayu K. Ardi