Perpustakaan

Perpustakaan adalah pintu masuk peradaban. Ia harus aktif menjemput pembaca, bukan sekadar menunggu.

Oleh Muhammad Subhan

KITA punya masa lalu yang suram. Lebih tiga abad dijajah bangsa asing. Salah satunya Belanda.

Nenek moyang kita ditindas. Diperbudak. Kekayaan alam dan kekayaan intelektual kita dikeruk. Diangkut. Dibawa ke Negeri Kincir Angin itu.

Namun, sesuram-suramnya masa lalu, tetap ada kenangan yang patut dijemput. Ditelusuri jejaknya setelah negeri merdeka. Diambil kembali. Dibawa pulang ke Tanah Air. Jika perlu, dibayar dengan harga tak murah. Tak masalah. Sebab ada yang lebih berharga dari rupiah.

Kekayaan masa lalu itu adalah investasi. Investasi ilmu pengetahuan masa depan.

Maka, tak heran. Sarjana-sarjana terpelajar Indonesia berbondong-bondong ke Belanda. Belajar di sana. Menelusuri rekam-jejak sejarah bangsanya. Termasuk sejarah Minangkabau. Di perpustakaan besar itu. KITLV namanya.

KITLV adalah lembaga ilmiah. Milik Kerajaan Belanda. Dibentuk sejak 1851. Namanya panjang. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. Artinya: Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda. Bahasa Inggrisnya: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.

Fokusnya Asia Tenggara. Termasuk Indonesia. Negara yang dulu mereka jajah. Mereka bawa manuskrip. Buku-buku. Catatan sejarah. Lukisan. Dan dokumen lainnya. Diteliti. Disimpan. Diarahkan untuk kepentingan kolonial.

Tulisan ini tidak mengulas KITLV. Tapi cukup jadi pemantik. Api semangat bagi pencari ilmu. Untuk menghargai pentingnya arsip dan buku.

Perpustakaan menyelamatkan masa lalu. Merawat masa depan. Sudah pasti itu. Masa lalu bisa dilihat dari arsip. Yang usianya puluhan. Bahkan ratusan tahun. Masa depan bisa diterawang dari buku. Yang mengandung ilmu dan pengetahuan.

Perpustakaan adalah pintu masuk peradaban. Islam pernah jaya. Karena peradaban buku. Pusatnya di Baghdad. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Sekitar tahun 665 Hijriah.

Tapi semua itu hancur. Dibakar. Dimusnahkan. Oleh pasukan Mongol. Dipimpin Hulagu Khan. Toko buku dibakar. Perpustakaan diratakan. Buku-buku dibuang ke Sungai Eufrat dan Tigris. Air jernih menjadi hitam. Karena tinta dari buku-buku yang dibinasakan.

Itu tragedi. Tragedi ilmu. Tragedi peradaban. Tragedi umat manusia. Dan, menjadi titik runtuhnya kejayaan Islam.

Kita tak ingin peristiwa kelam itu terulang. Kita ingin bangkit. Bangkit dengan buku. Bangkit dengan ilmu. Bangkit dengan peradaban.

Caranya? Dirikan perpustakaan sebanyak mungkin. Di rumah. Di kantor. Di sekolah. Di surau. Di tengah-tengah masyarakat.

Buku cetak maupun digital. Semuanya penting. Semuanya dibutuhkan.

Peradaban tidak akan bangkit, jika kita tidak menjaga perpustakaan. Dan membiarkan buku-bukunya berdebu. Rusak. Tak tersentuh. Tak dibaca.

Syukurnya, pemerintah peduli. Ada lembaga perpustakaan dan kearsipan. Dari pusat sampai daerah. Gedung-gedung perpustakaan berdiri megah. Buku-buku lengkap. Akses terbuka.

Tapi ada tantangan besar. Disrupsi teknologi. Orang lebih suka layar. Gawai lebih menarik daripada halaman buku. Penerbit banyak yang gulung tikar. Toko buku tutup. Perpustakaan makin sepi. Pemustaka makin jarang datang.

Kalau dibiarkan, perpustakaan akan jadi museum. Hanya dilihat. Tidak dihidupkan.

Maka, pustakawan tak boleh diam. Tak cukup hanya menyusun buku. Mendata. Memberi label. Menunggu orang datang.

Pustakawan harus bergerak. Punya program. Punya kreativitas. Punya semangat literasi.

Perpustakaan tidak boleh hanya menunggu. Ia harus menjemput. Menemui masyarakat. Menawarkan bacaan. Membuka ruang dialog.

Ada banyak cara. Misalnya, pustaka keliling. Hadir di pasar. Taman kota. Sekolah. Nagari-nagari jauh. Mobil puskel jangan main aman di tengah kota saja. Anak-anak pinggiran menunggu buku juga.

Buku-buku disajikan dalam suasana santai. Menyenangkan. Seperti “ngopi sambil baca buku”.

Pojok baca bisa dibuat di mana saja. Warung kopi. Ruang tunggu puskesmas. Halte. Kantor desa. Ruang praktik dokter anak. Tempat orang berkumpul. Semua dihidupkan.

Anak muda dilibatkan. Jadi duta baca. Duta yang tidak sekadar pagar ayu. Berikan anggaran. Ajak bikin program. Bergerak bersama. Menjaga buku-buku, membawa ke luar, menarik massa.

Ada juga ide “jemput bacaan”. Seperti layanan antar makanan. Buku diantar ke rumah-rumah. Untuk dibaca sekeluarga. Gratis. Atau sistem pinjam antar jemput.

Perpustakaan juga bisa menjadi ruang pelatihan. Pelatihan menulis. Ruang diskusi. Nonton bareng film edukatif. Workshop kreatif. Panggung ekspresi anak-anak dan remaja. Dan semua kegiatan edukatif lainnya.

Intinya satu. Perpustakaan harus hidup. Harus hadir. Di mana ada masyarakat, di situ buku ikut serta.

Kita juga harus singkirkan stigma. Bahwa perpustakaan tempat buangan. Bahwa pustakawan hanya petugas. Yang diam dan membosankan.

Tidak! Mereka penjaga peradaban. Pilar literasi. Penjaga ilmu. Penuntun masa depan.

Mengurus perpustakaan bukan pekerjaan sisa. Tapi pengabdian besar. Menjaga pengetahuan. Merawat harapan.

Berbahagialah mereka. Yang mengabdikan dirinya di jalan literasi. Yang hidup di antara rak-rak buku. Yang berenang dalam lautan ilmu.

Tapi tentu, itu hanya bisa dirasakan oleh mereka, yang mencintai buku. Membacanya. Merawatnya. Dan membaginya pada orang lain.

Perpustakaan bukan tempat sunyi. Ia adalah rumah kehidupan. Rumah masa depan. Rumah peradaban. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan