Oleh Syarif Al Dhin
Malam itu, di ruang kecil berlapiskan tembok lembap, Udin menatap layar laptopnya yang hampir mati. Sebagai seorang jurnalis, ia merasa bahwa ini bukan sekadar profesinya, tetapi panggilan jiwa. Beberapa bulan terakhir, Udin menjadi sasaran ancaman setelah serangkaian artikelnya membongkar praktik korupsi pejabat tinggi pemerintah. Tulisan artikel terakhirnya yang mengungkap kongkalikong anggaran bantuan sosial, adalah pukulan telak bagi rezim.
Namun, akibatnya, ruang redaksi tempatnya bekerja kini diawasi ketat. Rekan-rekannya mulai mundur satu per satu, takut menjadi korban berikutnya. Udin, yang sebelumnya penuh semangat, kini dihantui dilema: haruskah ia tetap melawan atau menyerah demi keselamatannya?
Hari itu, sebuah pesan anonim masuk ke emailnya. Isinya singkat namun mengejutkan: “Kami tahu di mana kamu tinggal. Berhenti menulis, atau keluargamu jadi taruhan.” Udin memandangi foto anak perempuannya di meja. Ia tahu ancaman itu bukan main-main.
Namun, alih-alih gentar, ancaman tersebut justru membakar api di dalam dirinya. Ia tahu, jika ia berhenti, mereka akan menang. Jika ia tunduk, kebenaran akan terkubur selamanya. Ia memutuskan untuk bertindak diam-diam, menggunakan kekuatan jaringan jurnalistik bawah tanah yang selama ini tersembunyi.
*
Di sebuah warung kecil di pinggir kota, Udin bertemu dengan Rudi, seorang aktivis HAM yang memiliki akses ke server dengan beberapa petinggi negara yang masih bersih. Rudi mengajaknya untuk mempublikasikan temuan-temuannya melalui platform independen yang tidak bisa disentuh oleh pemerintah.
“Aku tahu risikonya besar, Udin. Tapi ini satu-satunya cara agar suaramu tetap hidup,” ujar Rudi tegas.
Udin hanya mengangguk. “Jika aku diam, apa bedanya aku dengan mereka yang membungkam?”
Kerja mereka dimulai malam itu. Rudi membantu mengenkripsi data, sementara Udin terus menulis artikel investigatifnya. Artikel demi artikel diterbitkan di platform independen dari dalam dan luar negeri, membuat geger masyarakat. Bukti-bukti yang Udin bongkar mulai menarik perhatian dunia internasional.
*
Akan tetapi, pemerintah tak tinggal diam. Suatu malam, ketika Udin sedang dalam perjalanan pulang, sebuah mobil tanpa pelat nomor membuntutinya. Ia tahu waktunya hampir habis. Namun, sebelum ia ditangkap, Udin telah mengirimkan seluruh data penting ke server aman milik Rudi dan beberapa teman yang lain.
“Aku tahu ini akan terjadi,” pikirnya saat pria-pria berseragam menyeretnya ke dalam mobil.
Berita penangkapannya menyebar luas. Demonstrasi muncul di mana-mana, menuntut pembebasannya. Tulisan artikel-artikelnya menjadi api yang menyulut perlawanan masyarakat.
*
Di balik jeruji, Udin tersenyum pahit. Ia kehilangan kebebasannya, tetapi tidak sia-sia. Perjuangannya telah membuka mata banyak orang. Pena mungkin tak sekuat pedang, tapi kebenaran yang ditulis dengan keberanian mampu mengguncang fondasi kekuasaan yang rapuh.
Udin tahu, perlawanan tak pernah berhenti pada satu orang. Di luar sana, banyak “Udin-Udin” lain yang akan melanjutkan perjuangan. Dan itulah yang membuatnya tetap hidup, meski dalam jeruji besi.
“Kebenaran tidak bisa dibungkam. Jika bukan aku, maka akan ada yang lain.”[]
Syarif Al Dhin. Penulis, aktivis dari Sulawesi Selatan.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Syarif Al Dhin
Editor: Disyadona