Oleh Fida Amarza
MATAHARI belum rampung terbenam, goresan lembayung pun masih ingin singgah di ujung cakrawala. Malu-malu, sinar rembulan perlahan mengintip dari balik celah awan yang bergumul di angkasa sekaligus menjadi pertanda bahwa burung-burung sudah seharusnya pulang pada sangkar kediamannya. Namun, tiga sekawan bernama Ananta, Keshwari, dan Saras belum juga beranjak dari tempat duduk mereka. Ketiganya masih asik berbagi canda tawa juga cemilan dan minuman yang mereka beli di minimarket di sebuah tempat peristirahatan sepanjang perjalanan yang entah akan membawa mereka ke mana.
Sayup-sayup ketiganya mendengar bunyi knalpot bising yang semakin mendekat, getarnya yang memekakkan telinga juga memberikan debar pada aspal yang dipijak, ditemuinyalah sekumpulan geng mobil yang tiba-tiba merubah suasana tenang menjadi ramai bak pasar malam belum dimulai. Seketika suasana menjadi begitu berisik dengan tawa dan obrolan anggota geng mobil yang singgah di area peristirahatan.
Ananta, dengan segala ide liarnya memutuskan untuk mengajak Keshwari dan Saras mengikuti sekumpulan geng mobil tersebut.
“Kita ikutin aja, yuk mereka, lagian kita juga belum tahu mau lanjut jalan ke mana,” ucapnya dan entah mengapa ide tersebut tidak dibantah oleh kedua sahabatnya.
Dengan bergegas mengikuti kecepatan geng mobil tersebu, tiga sekawan itu mengendap-endap mengikuti dan berhenti di pom bensin, tempat di mana salah satu anggota geng mobil tersebut memutuskan untuk mengisi bahan bakarnya dan yang lainnya tetap melajukan kendaraannya.
Ketiganya melihat pengemudi mobil sedan merah, seorang lelaki dengan tubuh tegap memakai jaket kulit berwarna hitam, celana jins hitam, juga sepatu boots kulit berwarna hitam. Mereka mengamati lelaki yang tidak dikenal itu dengan penuh cemas dan tidak mengerti mengapa ada perasaan cemas menjalar ke sendi-sendi tubuh.
Tidak berselang waktu yang lama, ia kembali masuk ke dalam sedan merah tersebut, mobil klasik dengan cat yang sangat mengkilat dan suara knalpot bising, namun bisa terdengar bahwa mobil tersebut sangat dirawat oleh pemiliknya. Tidak ada cacat maupun suara bising yang membuat orang ingin memaki ketika mendengar mobil itu melintas. Terlebih lagi dari kecepatan yang mampu ditekan oleh mobil tersebut membuat tiga sekawan itu yakin dengan tebak-tebakannya.
Ketiganya kembali berkelana tanpa tahu tujuan dengan kecepatan yang tidak biasanya, mengejar kecepatan mobil yang tengah diikuti. Mereka berpegangan erat pada sisi-sisi mobil agar tidak terpelanting. Sial, mobil sedan merah yang sedang diikutinya justru terpelanting dengan kencang dan membuat asap tebal yang menutup jarak pandang.
Seketika suasana sekitar terasa begitu asing, bukan karena kecelakaan besar yang berada di depannya, tetapi karena tiga sekawan itu masih berada di tempat yang sama, namun tidak mengenal di abad berapa mereka berada.
Seluruhnya berbeda, hanya dengan terhalang oleh asap tebal, angin-angin yang terasa lebih dingin, suara jangkrik mulai menyambut malam, juga kunang-kunang yang menari di alam liar. Tidak pernah ada kunang-kunang di abad ke-21 dengan segala macam polusi udara yang ada.
Setelah melihat kecelakaan besar, tiga sekawan itu memutuskan untuk tidak mengikuti geng mobil tersebut dan melanjutkan kelana mereka sendiri. Kelana yang mereka tidak tahu harus bertujuan dan berpulang ke mana. Atau bahkan, takada jalan pulang.
Ananta, Keshwari, dan Saras kembali bergegas dari situasi mencekam tersebut, melajukan mobil mereka dan meninggalkan mobil sedan merah tersebut ditutupi asap tebal tanpa ada anggota geng mobil lainnya yang mengetahui bahwa salah satu teman mereka mengalami kesialan di penghujung sore itu.
Tiga sekawan seketika terdiam dan mendengar debar jantungnya masing-masing, terpukul dengan apa yang baru saja dilihatnya tetapi lebih dikuasai oleh cemas dari keberadaan mereka di abad yang asing. Ketiganya berusaha mencairkan ketegangan yang ada di darah masing-masing dengan singgah di minimarket yang mereka lalui di sepanjang jalan panjang dengan rumput ilalang yang mulai meninggi, bahkan perkebunan jagung layaknya pedesaan. Mereka memarkirkan mobilnya dan saling tatap seolah tahu apa yang sedang terjadi. Namun, tidak satu pun dari mereka yang memiliki keberanian untuk memecah keheningan.
Di antara deretan mobil yang terparkir di depan minimarket tersebut, hanya mobil mereka yang berasal dari abad ke-21, sedangkan mobil-mobil lainnya merupakan mobil bergaya klasik dengan seri yang tidak lagi dijual di masa mereka. Berusaha mengenyampingkan segala pertanyaan yang ada di kepala, mereka memasuki minimarket dengan langkah gontai dan wajah bingung, mengamati sekitar. Tidak ada yang berubah, masih dengan udara segar, angin yang lebih dingin, dan hening.
Jantung mereka semakin berdebar ketika melihat produk-produk yang terjual di minimarket tersebut, tidak ada yang pernah mereka temui sebelumnya, bahkan orang-orang yang berada di dalamnya pun berpakaian layaknya masyarakat yang baru lepas dari jaman peperangan. Penampilan khas masyarakat kuno dengan baju berkerah yang dimasukkan ke dalam celana, memakai ikat pinggang, sepatu, dan potongan rambut yang tidak akan digunakan oleh anak muda di abad ke-21.
Seolah menyadari ada yang berbeda di antara mereka, pengunjung lain yang berada di minimarket menatap tanpa berkedip ke arah tiga sekawan tersebut dan memasang tatapan keheranan dari penampilan dan cara berpakaian yang bukan dari abad mereka. Dengan cepat, ketiganya hanya mengambil camilan dengan asal, donat yang menarik mata sejak memasuki minimarket lalu bergegas keluar. Setelah kembali memasuki mobil, tiga sekawan itu mendorong keberanian mereka untuk memecah keheningan dan segala pertanyaan besar yang ada di kepala.
“Kita bukan di abad ke-21,” ucap Keshwari memecah hening dan diikuti oleh tatapan cemas sekaligus setuju dengan ucapannya oleh kedua sahabatnya.
“Jalanannya sama kayak di abad ke-21, kita coba ke sekolah aja,” jawab Saras dan disetujui oleh kedua temannya.
Mereka tidak tahu harus berkelana ke mana lagi selain ke tempat mereka bersekolah di abad ke-21, dan kemudian mereka bergegas menuju sekolah mereka di jaman sebelum mereka dilahirkan.
Sesampainya mereka di sekolah, bangunan itu sama seperti yang biasanya. Hanya saja dengan cat berwarna cokelat muda dan nuansa yang lebih tradisional. Mereka berjalan memasuki sekolah dan menemukan kebisingan layaknya tengah ada acara. Benar saja, sekolah mereka sedang merayakan acara perpisahan dan lega menghampiri ketiganya ketika mereka melihat orang-orang yang mereka kenal menyapanya dengan riang gembira. Namun, lagi-lagi cemas menghampiri mereka setelah orang-orang tersebut memanggil dengan nama yang berbeda, nama yang bukan diberikan oleh orang tua mereka. Seketika mata mereka terbelalak saat melihat spanduk besar terpasang di sisi dinding yang bertuliskan:
“PERPISAHAN TAHUN 1980”
Dengan air mata yang tertahan, ketiganya beradu tatap. Panik menjalar ke seluruh tubuh dan keringat dingin mulai membasahi kening. Hanya pulang yang mereka inginkan saat ini. Pulang ke abad 21.
Tidak ingin menjadi pusat perhatian, ketiganya berusaha berbaur dengan orang-orang asing yang seharusnya mereka kenal. Ananta, Keshwari, dan Saras memutuskan untuk membantu menyiapkan acara perpisahan tersebut yang dimulai dengan menyusun pernak pernik. Setelah selesai dengan tugasnya yang pertama, mereka berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan makanan-makanan yang akan dihidangkan di acara malam nanti. Mulut mereka terkunci, hanya mata mereka yang mampu berkomunikasi satu sama lain ketika melihat buku menu yang ada. Buku menu yang sama dengan perpisahan yang pernah mereka lalui di abad ke-21, namun dengan hidangan-hidangan yang berbeda. Tetapi, keramaian tiba-tiba menggulung bagai ombak dan memisahkan ketiganya, bercarianlah mereka di antara orang-orang asing dengan wajah familiar.
Ananta, sahabat yang sedari awal memiliki ide liar untuk mengikuti geng mobil berlarian mencari kedua sahabat lainnya dengan perasaan cemas sekaligus takut. Ia menaiki salah satu kursi yang sudah tersusun rapi untuk mencari kedua sahabatnya di antara kumpulan orang ramai. Di tengah pencariannya, seorang lelaki yang ia kenal tiba-tiba menghampirinya, seseorang yang pernah menyatakan perasaan kepadanya dan menunggu jawabannya, seseorang yang seharusnya ia ketahui namanya namun memutuskan untuk tidak memanggil nama tersebut di masa itu.
Lelaki itu mengajak Ananta untuk duduk di salah satu kursi di sebelahnya yang sudah disediakan untuknya, namun mata Ananta terpaku pada salah seorang lelaki yang duduk bergerombol bersama dengan teman-temannya. Wajah yang sangat Ananta kenal, lelaki yang dipercayai untuk memeluk hatinya, lelaki yang ia ketahui namanya sebagai Rama di abad ke-21.
Batin dan logikanya seolah berperang di detik ketika Ananta mengamatinya dari kejauhan, Rama yang ia temui di satu abad sebelum dirinya lahir memiliki penampilan yang sangat berbeda. Ia memakai setelan khas masyarakat kuno seperti orang-orang lainnya, setelan yang tidak akan pernah dipakai olehnya di satu abad mendatang.
Saat itu, jantungnya berdebar kencang bahkan suara bising keramaian pun seolah samar di telinganya seiring matanya menatap Rama dengan dalam. Keinginan untuk berlari kearahnya pun semakin kuat, namun dengan cepat ia menepisnya, karena Rama yang ia temui saat itu tidak akan pernah mengetahui apa yang terjadi di antara mereka di masa yang lain.
Tersadar dari buaiannya, Ananta beranjak dari kursi dan kembali mencari kedua sahabatnya yang hilang ditelan lalu lalang manusia. Ia berlarian ke sana kemari, mencari di sudut-sudut ruang, bahkan seantero sekolah tetapi tak juga ia menemukan Keshwari dan Saras.
Seperti konspirasi alam semesta, Ananta justru menabrak Rama di koridor sekolah, keduanya saling bertatapan layaknya dua manusia yang sudah mengenal bahkan sebelum keduanya dipertemukan oleh waktu. Tetapi, panik yang dirasakan Ananta sudah lebih dahulu bersemayam dan menguasai tubuhnya, ia kembali berlarian tanpa arah untuk menemui Keshwari dan Saras.
Dari kejauhan ia mendengar Rama berteriak kesal, salah satu sifat yang Ananta sudah ketahui di masa depan.
“Woi! Nabrak-nabrak lu! Awas aja kita akan ketemu lagi!” teriaknya.
Tanpa Ananta sadari, waktu mencatat segala keinginan dan mengabarkan kepada angkasa bahwa satu abad setelah 1980 keduanya akan berjalan beriringan, di tempat yang sama, namun dalam kebetulan yang berbeda.[]
Fida Amarza. Seorang lulusan Hubungan Internasional (HI) dari salah satu kampus swasta di Jakarta Barat. Lahir di Jakarta, 08 April 2002. Dalam kesehariannya, ia menjalani bisnis keluarga dan mulai membangun brand hijabnya sendiri yang bernama “Ruh Almara’a”. Di luar profesinya, ia menghabiskan waktu dengan membaca buku dan menulis puisi yang dipublikasikan melalui akun Instagramnya. Ia juga bermain piano dengan genre musik instrumen klasik.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Fida Amarza.
Editor: Dian Sarmita