Oleh Rusmin Sopian

Setiap sore, wanita tua itu selalu memandang ranting yang tumbuh di pohon beringin di halaman rumahnya.

Ranting itu tampak sangat kecil di antara ganasnya pohon beringin besar yang sudah berumur itu.

Setidaknya semenjak dia masih balita, pohon itu telah menjadi ornamen rumah mereka.

Dan ranting yang memparasitkan diri di pohon itu tak pernah patah walaupun rantingnya amat kecil. Seolah menjadi penghias pohon beringin tua itu.

Setiap memandang ranting yang hinggap di pohon tua itu, wanita itu selalu terbayang dengan satu nama. Cagal.

Ya, Cagal adalah lelaki yang dulu pernah mengisi hatinya saat mereka masih muda. Lelaki flamboyan itu selalu menghiasi hari-harinya dengan cerita-cerita yang indah dan memperlakukannya bak bidadari.

Saat itu dia sebagai wanita sangat dihargai mengingat banyak sekali teman-temannya yang ingin merebut hati dari Cagal.

Cagal selalu menomorsatukan dirinya hingga dia merasa sebagai wanita pilihan dari para wanita lainnya. Apalagi diksi Cagal selalu puitis dan membuatnya tersanjung ke langit tujuh.

“Kalau saja saat ini aku sudah bekerja, tentu aku akan meminangmu untuk kujadikan permaisuri dalam hidupku. Dan aku sangat bahagia bersamamu menyongsong masa depan yang terbentang indah,” ujar Cagal saat mereka sedang berduaan di bawah pohon tua di depan rumahnya.

“Ah. Gombal. Rayuanmu sangat gombal,” jawab wanita itu.

“Suatu hari, pepohonan ini akan menjadi saksi perkataanku ini biar kamu tahu betapa aku sangat menyayangimu hingga maut memisahkan kita,” jawab lelaki itu.

Sebuah cubitan penuh kasih sayang mendarat di lengan kokoh lelaki itu dari jari lembut wanita itu yang membuat mulut lelaki itu mengerang seolah-olah merasakan kesakitan yang luar biasa.

Kini sudah tiga puluh tahun dirinya tak pernah bertemu dengan lelaki yang selalu berbicara puitis dengannya.

Semenjak mereka tamat SMA, lelaki itu tak pernah berkabar. Entah ke mana angin membawanya pergi sehingga baunya pun tak terasa di penciumannya.

Sebagai wanita dirinya pun enggan menanyakan kabar lelaki itu. Dirinya masih ingat pesan yang disampaikan lelaki itu saat mereka bercerita di bawah pohon beringin tua itu.

“Kamu harus bermartabat sebagai wanita. Kodrat wanita itu menunggu pinangan dan bukan meminang lelaki. Dan kamu tidak perlu mendatangi lelaki. Tapi lelaki yang harus mendatangi kamu. Dan saya percaya kamu adalah wanita bermartabat,” ungkap lelaki itu.

Diksi itu selalu diingatnya sehingga dia sebagai wanita merasa malu untuk menanyakan kabar tentang lelaki itu.

Tak terkecuali kepada angin yang biasa mengantarkan pesannya. Tak terkecuali kepada matahari yang baisa menerangi jalannya untuk bertemu dengan lelaki itu. Dan tak terkecuali kepada indahnya rembulan yang menjadi cahaya petunjuk arah jalan ke tempat lelaki itu berada.

Sore itu angin berembus dengan sepoi. Embusannya meniupkan kesegaran di jiwa wanita tua itu.

Derai ranting di pohon beringin tua itu menambah keindahan. Sementara gemercik dedaunan pohon tua itu melahirkan sebuah alunan yang sangat indah bak komposisi musik klasik ala Mozart.

Wanita tua itu memandang kegagahan pohon beringin tua itu. Ada kenikmatan yang tak terperikan yang dia rasakan bila berada di bawah pohon tua itu. Seolah-olah semua kegundahan hilang. Seakan-akan semua keresahan hatinya lenyap dibawa angin sepoi yang dilahirkan dari pohon beringin tua itu.

Wanita tua itu kaget. jantungnya hampir copot. Sesosok lelaki tua dengan rambut yang memutih hadir di hadapannya. Dia sangat mengenal lelaki itu. Sangat kenal. Dia adalah Cagal. Lelaki idamannya.

“Aku datang memenuhi janjiku dulu. Aku akan melamarmu ketika aku sudah bekerja,” ujar Cagal.

“Apakah engkau belum beristri?” tanya wanita tua itu.

“Aku datang dengan status lajang. Aku masih membujang. Dan aku pulang hanya untuk melamarmu. Apakah engkau bersedia menerima lamaran aku lelaki tua ini?” tanya Cagal.

Rona memerah menghiasi pipi wanita tua itu. Ada rasa kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

Penantiannya pun tak sia-sia. Sementara ranting di pohon itu masih tetap bertengger di dahan beringin tua itu.

Angin senja itu bertiup sungguh menyejukkan. Tak terkecuali menyejukkan hati wanita tua itu dan Cagal yang bergandengan tangan menuju rumah.

Ya, rumah yang akan menjadi tempat mereka menatap hidup dengan sisa-sisa usia yang kini sudah merenta. (*)

Toboali, Bangka Selatan, September 2024

Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Ia dikenal pula sebagai pegiat literasi Toboali Bangka Selatan dan telah melahirkan beberapa buku kumpulan cerpen.

Penulis: Rusmin Sopian

Editor: Tiara Nursyita Sariza

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan