Oleh Fitriani
Sama halnya seperti kemarin, perempuan dua puluh dua tahun itu masih berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidup di perantauan. Hampir semua toko di pertigaan jalan itu ia masuki untuk mengajukan surat lamaran. Namun, tidak ada satu pun yang mau menerimanya.
“Maaf, Mbak. Di sini nggak nerima untuk mahasiswa karena kerjanya full dari pagi. Nggak ada sistem shift.” Kurang lebih seperti itulah penolakan halus yang ia terima.
“Apa susahnya, sih, nerima mahasiswa? Andai saja aku anak sultan, aku gak bakalan panas-panasan begini buat nyari kerja,” batinnya. Peluh membasahi kemeja yang ia kenakan. Rambut panjangnya sudah tak karuan terkena angin. Terlebih, bedak yang ia kenakan telah memudar sebelum memasuki toko pertama.
Di pikirannya saat ini tidak lagi toko mana yang menjadi target selanjutnya. Melainkan es teh manis, lalapan ayam goreng, dan satu lagi, kipas angin. Sekitar sepuluh meter dari toko terakhir tadi, terdapat warung makan Minimalis. Sesuai namanya, bentuk bangunannya memang minimalis. Meskipun minimalis, tempatnya bersih dan nyaman. Dan ia melabuhkan pilihannya di warung itu. Selang beberapa menit, datang seorang pengamen menyanyikan satu buah lagu milik musisi Pasha Ungu, “Cinta dalam Hati”. Meski suaranya tidak seberapa, tapi cukup menghibur. Di balik kesulitannya mencari kerja, ia masih patut bersyukur karena ternyata masih ada yang lebih sulit dari dia.
Sembari menunggu pesanannya datang, ia teringat percakapan dua hari lalu via telepon. Kata Bapak, dua minggu terakhir ibunya mulai sakit-sakitan. Perihal kapan lulus juga selalu ditanyakan.
“Kamu kapan lulus, Esti? Anak Pak Anton bulan depan katanya sudah wisuda.”
“Didoakan saja, Pak. Esti juga lagi berusaha menyelesaikannya. Hanya sedikit terlambat bukan berarti tidak selesai, Pak.”
Menjalani peran sebagai mahasiswa tingkat akhir, tentu tidak mudah. Beragam pengeluaran untuk mencapai gelar sarjana itu butuh biaya yang tidak sedikit. Dulu, setelah empat bulan menyandang gelar sebagai mahasiswa, ia bekerja paruh waktu di kios Es Teh 2 Daun. Lokasinya tidak jauh dari kos dan kampus. Meskipun gajinya tidak seberapa, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhannya hingga pertengahan bulan. Namun, ia dipecat setelah tiga bulan bekerja. Terlalu sering izin dengan alasan ada jam kuliah menjadikannya hilang pekerjaan hari itu juga.
Tak hilang semangat hanya karena itu, ia memutuskan untuk berjualan baju piama perempuan. Berkat hasil jerih payah bekerja sebelumnya, ia gunakan sebagai modal usaha. Untungnya tidak seberapa, tapi ya, namanya juga buka usaha, berapa pun untungnya disyukuri saja, pikirnya. Tiga minggu pertama, jualannya selalu habis, bahkan banyak temannya yang tidak kebagian. Namun, lambat laun usahanya mulai sepi. Teman-teman yang selalu menjadi pelanggannya saat itu lebih memilih belanja online sendiri. Pikir mereka itu jauh lebih murah, mungkin.
“Apa aku ngamen saja, ya? ‘Kan lumayan dapat seribu, dua ribu. Tapi nggak ah, malu. Ntar diejekin teman-teman,” batinnya kala itu. Juga sempat terlintas di benaknya ingin jadi juru parkir dadakan di pasar malam. Hendak mencoba tapi batal. Ia dimarahi juru parkir lain, dituding mengambil kawasan mereka. Bahkan yang sangat fatal sekali pun kerap terlintas, jual diri. Ia membuang pikiran jahat itu jauh-jauh sembari beristigfar. Berulang kali ia selalu dinasihati Bapak untuk pintar-pintar menjaga diri. Jangan sampai seperti anak tetangga di kampungnya yang pulang dari perantauan malah berbadan dua.
“Kita cuma butuh satu orang lagi untuk gabung di usaha kita. Kalau kamu ada kenalan yang ingin bergabung, kabari segera,” ucap seseorang di meja sebelahnya yang baru saja mengakhiri telepon.
“Permisi, Bu. Apa boleh saya yang bergabung?” tanyanya penuh harap. Tanpa pikir panjang setelah mendengar percakapan tadi, ia langsung mengajukan diri. Pekerjaan apa pun itu, selagi halal kenapa tidak? Ibu itu sedikit terkejut.
“Tapi ini usahanya kegiatan bank sampah lho, Dek. Yakin mau?” Ibu itu tampak meragukannya.
“Bank sampah?” Sejauh ini yang ia tahu hanyalah bank-bank keuangan. Tapi ini? Bank sampah. Itu artinya kegiatannya pasti berurusan dengan sampah.
“Iya, Dek. Bank sampah,” ulang Ibu itu lagi. Akhirnya, ia mengangguk tanda bersedia untuk bergabung. Tak ada salahnya untuk dicoba.
Satu hal lagi yang patut ia syukuri yaitu di pekerjaannya kali ini, ia hanya boleh datang saat ada jam kosong sehingga perkuliahannya tidak terganggu. Dan lokasinya pun ternyata hanya berseberangan gang dengan kosnya. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan? Kos dekat kampus dan tempat kerja bagaikan paket komplet yang tiada duanya. Semua bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki.
Kabar ia bekerja di bank sampah mendapat komentar buruk dari orang tuanya.
“Bapak kuliahkan kamu jauh-jauh, bukannya fokus pendidikan malah urusin sampah! Pokoknya Bapak tidak mau tahu, kamu harus berhenti dari kerjaan itu. Kalau hanya mengurusi sampah, di kampung kita juga banyak, tidak perlu sampai ke kota.”
Pikir Bapak, pekerjaannya adalah pemulung. Namun, mau dijelaskan serinci apa pun Bapak tidak akan paham. Menurutnya, apa pun yang berurusan dengan sampah sudah pasti pemulung.
Keesokan hari, Sabtu pagi. Ia masuk kerja untuk pertama kalinya. Meski awalnya sedikit canggung, lambat laun mulai membaur. Sejak pagi, mereka telah disibukkan dengan orang-orang yang datang membawa barang bekas. Seperti kardus, botol plastik, aneka plastik Molto, Pop Ice, dan Royco.
Semua memiliki harga yang berbeda-beda. Barang yang dibawa ditimbang, dikalkulasi sesuai berat dan harga, kemudian dicatat. Siapa pun boleh langsung menerima uangnya. Namun, sebagian besar memilih untuk menyimpannya dahulu hingga terkumpul banyak. Suatu waktu bagi mereka yang ingin mencairkannya, boleh datang kapan saja. Sampah yang telah terkumpul, dipisahkan sesuai jenisnya terlebih dahulu, kemudian dibersihkan dan lanjut untuk diolah menjadi kerajinan.
Beragam hasil kerajinannya sangat memukau dan telah mendapat penghargaan oleh pemerintah setempat. Hal ini menyadarkannya bahwa tidak semua sampah itu tidak berguna. Bila dikelola dengan baik, akan menghasilkan nilai jual yang besar.
*
Sore itu, ia dibuat pucat pasi atas kelalaiannya. Bagaimana tidak? Uang senilai Rp.600.000 hilang tak berjejak. Ia dipercaya untuk menyimpan uang hasil timbangan kemarin. Seingatnya, uang itu ia letakkan di saku depan celananya. Tapi setelah diperiksa, hasilnya nihil. Ia sudah sepuluh kali bolak-balik mencari di tempat itu. Tapi tidak bertemu sepeser pun. Ia berusaha untuk tetap tenang agar tidak ada yang mencurigainya. Dengan berat hati, ia mengikhlaskan tabungannya untuk mengganti uang tersebut.
Beberapa hari terakhir terasa sangat melelahkan. Ia langsung merebahkan tubuh ke kasur sesampainya di kos. Ke mana uang itu hilang masih terlintas di pikirannya. Dan tiba-tiba ia terbangun menuju mesin cuci, mencari celana hitam yang kemarin ia kenakan. Bagaimana ia bisa lupa kalau ternyata ia punya dua celana seperti itu. Bentuk, ukuran, dan warnanya sama persis.
Yap! Uang Rp600.000 itu ada. Syukurlah. Ponselnya berdering, tertulis di layar, Bu Yuyun. Ada satu kabar baik lagi. Rancangan busana dari sampah yang ia buat, masuk final di Jakarta. Oh, Tuhan, terima kasih, batinnya. Ponselnya kembali berdering, Bapak menelepon. Dengan penuh kebahagiaan ia menceritakan kabar bahwa karyanya masuk final.
“Pak, Esti minggu depan mau ke Jakarta. Esti bakal naik pesawat gratis berkat sampah,” ucapnya antusias. Hening beberapa saat. Tidak ada jawaban.
“Nak, Ibumu meninggal.”[]
Fitriani. Lahir di Tarakan pada 7 Februari 1997. Berdomisili di Samarinda.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Fitriani
Editor: Disyadona