Oleh Afri Juang
SETIAP kali senja datang, aku selalu menyempatkan waktu untuk menatap kursi kosong di teras rumahku. Sejak sebulan yang lalu, kursi itu selalu tanpa penghuni. Tak ada lagi secangkir kopi di atas meja yang setia berada di depan kursi itu. Tak ada lagi sosok laki-laki perkasa yang duduk di atas kursi itu, sambal menikmati kopinya dan kepulan asap rokok membubung ke atap rumah yang sudah berkarat.
*
Senja itu, ia memanggilku untuk sekadar menemaninya di teras rumah menghabiskan secangkir kopi buatan Ibu. Aku terkejut karena kejadian seperti ini jarang sekali terjadi. Biasanya ia menikmati kopi sendirian sambil mengawasi kami, anak-anaknya, bermain bersama di halaman rumah yang cukup luas.
Sebelumnya, ia akan menghabiskan secangkir kopinya setiap waktu senja. Sendirian, tanpa ada yang menemani. Baginya, menghabisakan kopi pada senja hari adalah seni hidup atau cara menikmati hidupnya yang amat sederhana ini. Mungkin baginya, itu adalah kesempatan untuk kembali melihat satu hari yang telah ia lalui dan mencoba merancang hari esok yang bisa jadi lebih baik atau malah lebih buruk dari hari kemarin.
Aku sering bertanya apa yang ada dalam benaknya sementara meneguk kopi dan mengisap rokok yang asap-asapnya mengepul ke mana angin bertiup. Namun, senja itu cukup berbeda. Ia memanggilku untuk berada di sampingnya menghabisakan secangkir kopi. Ia membuka percakapan itu, percakapan yang membuatku menjadi bingung dan melahirkan sejuta pertanyaan dalam benakku.
“Nak, kau lihat ayahmu ini?” Dia membuka percakapan itu.
“Kau lihat rambutku yang semakin memutih ini. Kau tahu itu, anakku. Aku sudah semakin tua.”
Rambut ayahku memang sudah memiliki dua warna, hitam dan putih. Seperti menggambarkan perjuangan hidupnya yang selalu jatuh bangun, gagal dan berhasil, bahagia dan sedih, serta terang dan gelap. Lama sekali baru ia melanjutkan ucapannya itu. Sembari menunggu kata-kata selanjutnya, aku perhatikan ayahku itu. Tangannya penuh bekas luka. Kulihat wajahnya yang makin menua dan punggungnya yang makin membungkuk. Ayah menatapku, tatapannya seakan menyiratkan pesan yang begitu dalam. Mungkin tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata yang sederhana, sebab kata-kata pun bisa dimanipulasi sesuai selera orang yang mengungkapkannya.
Keheningan itu dipecahkan oleh tangisan adik bungsuku yang diganggu temannya saat bermain. Itu juga yang menjadi alasan bubarnya permainan sore itu. Kebiasaan anak-anak Flores pada umumnya, akan mengakhiri setiap permainan dengan bertengkar satu sama lain. Bila ada yang sudah menangis, anak-anak yang lainnya akan berlari mencari perlindungan dari orang tua masing-masing.
Lalu, ayahku melanjutkan kalimatnya yang sempat tertunda itu.
“Aku sudah tua dan aku tak mampu lagi mengarungi kerasnya hidup ini. Sementara engkau masih muda sekali. Namun, Ayah percaya, tidak ada kata terlalu muda untuk memulai sesuatu,” katanya memecah keheningan yang cukup panjang.
Aku tidak menjawab sepatah kata pun. Saat itu aku belum mengerti, sebab aku masih duduk di bangku SMP. Mungkin ia memanggilku untuk menemaninya menghabiskan secangkir kopi di senja itu, karena statusku sebagai anak sulung. Aku berusaha mencerna kalimatnya itu dalam hatiku. Aku memikirkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi kepadaku selanjutnya.
Percakapan di teras rumah itu selanjutnya berlalu dalam keheningan yang panjang. Bila kusimpulkan bahwa percakapan itu belum berakhir, aku senantiasa melanjutkan percakapan itu dalam benakku setiap saat. Hal yang kemudian kusesali adalah tidak pernah meminta Ayah untuk melanjutkan percakapan kami itu.
Satu hal yang aku tak mengerti dari kejadian senja itu adalah pada senja berikutnya, aku tidak pernah menyaksikan ayahku menikmati secangkir kopi di teras rumah setiap senja lagi. Aku tidak lagi melihat asap rokoknya membubung menembus atap rumah kami yang berlobang di sana-sini itu. Senja itu ternyata menjadi senja terakhir Ayah menikmati kopi di kursi tua itu. Senja selanjutnya dia tak lagi menyaksikan kami bermain-main di teras rumah.
Percakapan itu terus menggangguku pada hari-hari selanjutnya. Setiap hari kujalani dengan berat dan pikiranku makin dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Setiap malam aku bertanya-tanya maksud percakapan itu. Setiap pagi datang, aku pun mencoba bertanya kepada sang mentari maksud percakapan senja itu.
Suatu senja, saat baru pulang bermain dengan teman-teman di sungai dekat kampung kami, aku kaget menyaksikan orang banyak di teras rumahku. Aku bertanya dengan penuh rasa ingin tahu, tetapi yang kudapati bukanlah jawaban melainkan tatapan sedih yang seolah-olah berkata, “Kasihan sekali nasibmu, Nak.”
Aku terus menerobos masuk ke dalam rumah yang penuh sesak. Setiap orang menatapku seakan berkata dalam hatinya, “Tetap kuat, Nak. Hidupmu akan semakin berat dan engkau pasti akan kewalahan menghadapinya.”
Kusaksikan dengan mataku sendiri, tubuh ayahku yang terbaring di ruang tamu. Di sampingnya, ibuku tertunduk lesu, mencoba menahan ratap tangis yang begitu pilu. Tak ada lagi yang akan menikmati secangkir kopi buatannya di waktu senja. Ibuku wanita yang hebat, ia bertahan di sisi Ayah, walau kadang badai datang berkali-kali menimpa kami sekeluarga.
Kini aku tahu, bahwa ayahku telah pergi dan dia tak akan menikmati secangkir kopi di teras rumah sambil menyaksikan kami bermain-main di halaman. Hatiku seakan membatu dan tak setetes pun air mata yang keluar dari mataku. Aku masih belum percaya akan hal ini. Aku beranjak pergi mendapati kursi di teras yang sering ditempati ayahku saat senja. Aku berharap masih melihatnya duduk di atas kursi itu dengan secangkir kopi di depannya dan sebatang rokok di tangannya yang perkasa itu.
Kursi itu masih kosong dan tak ada yang mau menempatinya. Mungkin tetangga-tetangga yang datang takut menduduki kursi itu karena itu adalah tempat ayahku selalu duduk. Lalu, aku menempati kursi itu, duduk seperti yang biasa dilakukan ayahku dulu. Aku merasakan seolah-olah roh ayahku ada dalam diriku. Aku seolah menjadi ayahku yang menyaksikan anak-anaknya bermain di halaman rumah kami yang sederhana itu. Setelah sekian lama aku duduk, aku melihat ada sesuatu di atas meja di depanku yang menarik perhatian. Ada sebuah surat di sana, ditulis dengan huruf yang jelek menyerupai sebait puisi tua yang tak pernah dibaca. Kuambil surat itu, aku mencoba membacanya.
Anakku.
Ayahmu ini bukan orang yang sukses. Ada banyak kesulitan yang kalian alami karena ayahmu ini.
Emas dan perak tak ada padaku, untuk kuberi kepadamu.
Tak ada harta yang berharga yang bisa kutinggalkan untukmu, Nak.
Nak, Ayah tahu engkau masih terlalu muda untuk mengarungi lautan kehidupan ini.
Sayap-sayapmu belum kuat ‘tuk terbang mengarungi langit nan megah ini.
Namun, Ayah yakin tidak ada kata terlalu muda untuk memulai sesuatu, sama seperti tak ada kata terlambat untuk mulai belajar.
Maafkan ayahmu, karena pergi sebelum kalian memiliki tangan yang kuat ‘tuk mendayung perahu kehidupan ini.
Maafkan Ayah karena tak memberi kalian sayap-sayap yang kuat untuk terbang mengarungi langit kehidupan ini.
Satu hal yang Ayah yakin, engkau sudah punya hati yang kuat dan tekad dalam hidupmu. Hiduplah lebih baik dari Ayah, sehingga setiap senja engkau tak hanya menghabiskan secangkir kopi seperti yang Ayah lakukan.
Air mataku menetes perlahan membaca surat sederhana ini. Surat sederhana yang ditulis oleh pria sederhana pula. Namun, hatinya tidak sesederhana suratnya ini. Aku bangga kepadamu, Ayah. Sebab engkau percaya kepadaku, bahwa aku akan lebih baik dari padamu suatu saat nanti. Terima kasih, ayahku yang hebat.[]
Ledalero, 15 April 2025

Afri Juang. Adalah panggilan yang diberikan oleh teman-temannya. Juang diambil dari nama panjangnya, yaitu Afrianus Juang. Ia berasal dari Flores dan sekarang sedang belajar di Jurusan Filsafat Semester empat, IFTK Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Afri Juang
Editor: Asna Rofiqoh












