Oleh Nur Asikin
“KAPAN menikah…?”
Pertanyaan yang selalu menghantui Siti, entah berapa banyak orang yang dengan santainya melontarkan soal itu tanpa menerawang perasaannya yang hampir putus dicabik-cabik lidah setajam silet.
Perasaan, usianya masih dua puluh tujuh tahun, tapi di desanya angka tersebut sudah masuk di kategori perawan tua. Ditambah, semua teman sebayanya sudah memiliki momongan, sehingga orang-orang tidak segan menyindirnya, baik secara langsung maupun melalui ibunya.
Tidak jarang ibunya yang sering disapa Bu Becce ini menangis ketika pulang dari bantu-bantu acara kondangan karena mendapatkan ejekan pedas dari ibu-ibu yang sukarela menjadi netizen gratis.
“Maaf, Jeng Becce, kok Siti belum nikah-nikah, ya? Bentar lagi kepala tiga, loh. Temannya pada punya anak, tuh.”
“Iya betul. Nah, Jeng, tak usahlah pilih-pilih mantu yang berdasi, keburu tua. Nanti susah melahirkan, loh.”
“Betul, nih. Sampai kapan mau menolak orang yang berhajat baik mau menghalakan, atau jangan-jangan Siti tampangnya aja yang sok solehah, tapi sebenarnya punya pacar diam-diam, makanya nolak lamaran ponakanku kemarin?”
“Masih mending, loh ya, ada yang mau, daripada nanti tidak laku-laku karena bau-bau perawan tua.”
“Hahahaha…”
Belum sempat Bu Becce menjawab sindiran Bu Jennang, langsung saja diserbu dengan lebih pedas oleh ibu-ibu lainnya sampai tertawa terpingkal-pingkal, padahal mereka itu sekelompok pengajian dengan Bu Becce. Saking asyiknya terbahak-bahak, Bu Jennang segera pamit ke WC karena tak terasa keluar sedikit air kencingnya.
Bu Becce berusaha tenang dan sabar, sebisa mungkin menampakkan senyum di guratan wajahnya yang tak muda lagi. Padahal, dalam hati sudah menangis. Belum juga acara selesai, wanita berusia lima puluhan tahun itu bergegas pamit karena sudah tidak bisa menahan gejolak air mata yang minta segera terjun ke pipi.
“Alhamdulillah… Emak sudah pulang? Kok, Emak jalan kaki? Kenapa tidak telfon Siti tuk jemput Emak? Emak nangis…?” Gadis itu bergegas menjemput emaknya di pintu diiringi mencium tangannya penuh takzim dan melihat sang ibu yang sudah melahirkannya itu menangis tersedu.
“Emak….” Karena bertubi pertanyaan belum dijawab Bu Becce, Siti memanggil lagi emaknya dengan lembut dan menuntunnya duduk di ruang tamu yang sempit tanpa kursi itu.
“Siti, anakku…. Apabila ada yang datang melamarmu, bolehkah Emak langsung saja menerimanya? Emak sedih sekali melihat putri Emak satu-satunya ini selalu digelari perawan tua.”
“Emak, Siti bukannya pilih-pilih jodoh, hanya saja Siti takut menaiki sebuah kapal melewati badai dan gelombang besar dengan nakhoda yang tidak paham akan ilmu perkapalan.” Siti menanggapi pernyataan emaknya dengan santun sambil mengurut-urut punggung emaknya. Bu Becce pun mengangguk paham meskipun dalam hati sangat cemas.
“Bapak juga tak sudi putri kita satu-satunya salah pilih dalam berjodoh, cukuplah menjadi pelajaran bagi kita tetangga kita itu kawin cerai, gonta-ganti pasangan. Lihatlah anak-anak mereka yang tak berdosa itu menjadi korban ditelantarkan. Tidak apalah terlambat, asalkan bersama dengan orang yang tepat. Bapak tidak pernah putus mendoakan yang terbaik buat putri kita.” Tiba-tiba Pak Cambang ikut bergabung karena mendengar percakapan berat kedua wanita yang disayanginya ini.
Menurut mitos di desa mereka, konon seorang gadis yang menolak lamaran sebanyak tiga kali, maka gadis tersebut dipastikan sudah menjadi perawan tua seumur hidupnya karena tidak ada lagi yang mau melamarnya.
Hal inilah yang dikhawatirkan oleh keluarga Siti, namun tidak dengan bapaknya. Karena Pak Cambang percaya dengan janji Tuhannya, bahwa jodoh itu cerminan diri kita, tugas kita hanyalah perbaiki diri, mendekatkan diri kepada-Nya, lalu berusaha semampu kita, selebihnya Dialah yang berhak mengaturnya. Fakta telah berbicara melawan mitos, karena kenyataannya Siti sudah mencapai sebelas orang yang melamarnya dalam waktu setahun, bukan hanya tiga orang.
“Dek Siti. Kalau Adek menerima lamaran Abang, maka Abang siap memberikan mahar seratus juta.”
“Bang Didin, Siti mohon maaf sebesarnya. Bang Didin, kan sudah punya istri, sebagai sesama perempuan Siti sangat mengerti betapa sakitnya jika harus berbagi suami.”
“Tapi, kan Abang bisa adil. Dengan dua istri, hidup Abang akan jauh lebih terurus dan teratur, agama kita juga tidak melarang, tuh,” sahut Didin tak terima.
“Nak Didin. Tolong mengertilah perasaan perempuan. Kita sebagai lelaki ini butuh banyak kesabaran dan keikhlasan karena di diri kita inilah anak dan istri tempat bersandar untuk dijaga dan disayangi.” Pak Cambang tidak tahan lagi mendengar alasan Didin yang berisi egoisme itu, ingin menambah istri untuk kepentingan pribadinya. Karena melihat ketegasan Pak Cambang, nyali Didin pun menciut lalu pergi begitu saja tanpa pamit.
Siti tidak hanya heran tapi sekaligus frustrasi. Ia bertanya-tanya, kenapa setiap yang datang melamarnya itu tidak ada yang bisa azan plus mengaji? Bahkan, ibadahnya setahun sekali. Sementara Siti merasa keberatan jika kelak setelah menikah, ia yang harus membimbing suaminya. Bukankah lelaki memiliki jiwa pemimpin dominan sehingga mereka tak suka diatur-atur?
Sebetulnya Siti tidak permasalahkan harta dan profesinya, asalkan ia mencari rezeki dengan baik. Tak kira kerja apa pun, yang penting halal, plus ibadahnya terjaga. Namun sayangnya, yang datang malah pemabuk, penjudi, pemain perempuan, rentenir, bahkan yang sudah beristri sekalipun.
“Jadi perawan tua atau kawin cerai, ya? Ah, sudahlah.” Perang di batin Siti begitu rumit tuk melerainya. Pasrah adalah pilihannya.
Hingga ke suatu titik, akhirnya Siti menyerahkan semua kepada Tuhannya, ia tak mau lagi memikirkan tentang jodoh melainkan fokus memperbaiki diri dengan menyibukkan hati ke berbagai kegiatan positif. Sampai suatu hari, datanglah seorang lelaki idaman, jangankan Siti, perempuan nakal pun sangat kagum padanya.
Firdaus, namanya. Seorang imam muda di Masjid Taqwa dari desa sebelah. Dengan gagah berani ia datang bersama orang tuanya serta sepupunya. Tanpa proses yang panjang dan rumit, akhirnya lamaran ini langsung saja diterima dengan senang hati oleh Siti dan keluarganya. Namun, ada yang mengganjal di mata Siti yang tiba-tiba melihat ke arah sepupu Firdaus. Mereka saling tatap beberapa detik, lalu masing-masing menunduk.
“Kok, aneh, ya, lain yang melamar lain juga yang salah tingkah? Sementara Firdaus datar aja.” Siti bertanya dalam hati.
Beberapa hari kemudian, terdengarlah gosip terheboh, yaitu Firdaus akan menikahi Rina si gadis cantik sang juara qori’ah tingkat kecamatan.
“Pak, Ibu, Siti, maafkan saya, hati saya sebenarnya lebih condong kepada Rina.”
Seenteng itu Firdaus berkata. Lain yang dilamar, lain pula yang dinikahinya. Siti kembali patah hati, kedua orang tuanya pun tak bisa berkata-kata, bingung dengan nasib putrinya.
Keesokan harinya.
“Assalamualaikum…. Maaf, Pak, Bu. Saya Arka, sepupunya Firdaus.”
“Maaf, Nak. Lebih baik kamu pergi. Kalian sekeluarga tega mempermainkan orang kecil seperti kami.”
“Saya mewakili keluarga besar, mohon maaf sebesarnya at….”
“Sudah cukup. Pergilah!” Pak Cambang hampir habis kesabaran, namun segera istrinya merangkul lengannya lalu membisikkan kata,
“Istighfar, Pak.”
“Maaf, Pak, Bu. Izinkan saya bicara lima menit saja agar hati saya tenang. Sebenarnya, sudah lama saya menyukai putri Bapak dan Ibu. Selama dua tahun, dari jauh saya melihat Siti mengajar anak jalanan dengan sukarela. Saya melihat ada ketulusan cintanya pada anak-anak yang membuatnya keibuan. Saya pernah tanpa sengaja mendengar Siti mengaji sangat merdu dan penyebutan tajwidnya sangat tepat, namun Rina dipilih ikut lomba karena ia anak Kepala Desa. Selain manis, saya melihat kepribadiannya yang lemah lembut. Kemarin hati saya sangat sakit saat Firdaus melamarnya. Bolehkah saya menikahi Siti hari ini juga? Saya takut Siti diambil orang, Pak, Bu. Selama dua tahun saya diam-diam menyukainya dan selama itu pula saya menabung untuk melamarnya.”
Semua terkejut dan terharu mendengarnya. Siti kembali ceria karena ia tahu Arka adalah sosok guru PNS yang berpenampilan biasa saja, namun karakter dan ilmunya daging semua. Mereka pun akhirnya hidup bahagia, serasi. Sementara Firdaus menceraikan Rina karena tidak tahan dengan sifat asli Rina. Firdaus sangat iri melihat Arka mendapatkan istri terbaik. Dan ia sangat menyesal telah mengabaikan Mutiara Desa.[]
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Nur Asikin
Editor: Neneng J.K.











