Peranan “Ulando” dalam Merusak Tatanan Adat Minangkabau
Politik adu domba dan eksploitasi ekonomi yang diterapkan Belanda menyebabkan berbagai pemberontakan rakyat Minangkabau, tetapi dampaknya terhadap adat dan pemerintahan nagari masih terasa hingga kini.

Oleh Muhammad Jamil, S.Ag. Lb. Sampono
TULISAN ini berangkat dari studi kasus perjanjian Plakat Panjang 1833 dan Perjanjian Bukittinggi 1865. Perjanjian ini dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dengan masyarakat Minangkabau pada tanggal 25 Oktober 1833 di Padang.
Perjanjian ini berisi beberapa poin, yaitu:
- Larangan peperangan di wilayah Minangkabau, termasuk perang adat, perang batu, dan perang dendam kesumat.
- Larangan pejabat Belanda ikut campur dalam pemerintahan nagari.
- Penghulu atau pemimpin di Minangkabau akan diangkat menjadi wakil pemerintah Belanda dengan imbalan gaji.
- Pemerintah Belanda akan melindungi masyarakat sepenuhnya.
- Tidak akan ada lagi pemungutan pajak, tetapi masyarakat Minang diminta untuk memperluas penanaman kopi.
Perjanjian ini dibuat saat terjadi Perang Padri. Meskipun telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, banyak penyimpangan dari yang telah digariskan.
Penyimpangan inilah yang membuat pihak Minangkabau akhirnya membulatkan tekad mengadakan perlawanan terhadap “Ulando” (Belanda).
Perlawanan rakyat mencapai puncaknya dalam pemberontakan besar terakhir dari rakyat Minang pada tahun 1908.
Pada tanggal 6 April 1865, saat Belanda semakin kuat, diadakan rapat besar yang dihadiri oleh laras-laras yang telah dibentuk Belanda pada masa perjanjian Plakat Panjang.
Rapat ini dihadiri oleh Regeering Commissaris Mr. De Kindren. Maka diputuskan dalam rapat besar tokoh Minang dengan Belanda ini antara lain:
- Segala denda, segala emas bertahil yang selama ini menjadi sumber gaji dari hakim dan penghulu tidak lagi boleh dipungut. Semua harus disetor kepada pemerintah Belanda.
- Undang-Undang 20 dibekukan dan diganti dengan “Wet van Het Strafrecht”. Hak penghulu hanya sebatas “kusuik manyalasai, ka rumah manjaniah.”
- Emas manah yang dulu dipungut raja diganti dengan Blasting, tinggal hanya 4 persen saja untuk raja, selebihnya disetor ke Belanda.
- Rakyat menjalankan kerja rodi, tanpa upah dan dipaksa bekerja untuk pemerintah Belanda.
Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi pemberontakan di Minangkabau, seperti Perang Kamang, Perang Manggopoh, Perang Lintau Buo, dan lain-lain, namun dapat dipadamkan oleh Belanda.
Minangkabau khususnya dan Indonesia umumnya, di mana semua undang-undang adat menjadi lumpuh.
Sejak itulah adat Minangkabau yang tinggal hanya “kabau”-nya saja, “minang”-nya habis. Sehingga gelar penghulu hanya tinggal sebutan, fungsi, dan peranannya berakhir sejak itu.
Maka politik adu domba dan pecah belah Belanda berhasil mampaantuak antuakkan tatanan adat Minang, dan akibatnya sampai kini alun lai bangkik…
Wallahualam bissawab, semoga generasi Minang hari ini bisa menyadari dan mampu berbuat yang terbaik untuk Minangkabau, apalagi pasca ditetapkannya Undang-Undang Nasional ABS-SBK, Adaik Salingka Nagari tahun 2022, adalah momen yang tepat mambangkik batang tarandam.
Apalagi dengan program pemerintah yang sebentar lagi akan berganti di tahun Pilkada ini, 27 November 2024. Semoga. []
Sumber:
Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan, Jakarta Timur.
Dt. Tuah, Tambo Alam Minangkabau, Cet XII, 1985.
Muhammad Jamil, S.Ag. Lb. Sampono, penulis dan praktisi adat Minangkabau, menetap di Padang Panjang.
Penulis: Muhammad Jamil, S.Ag. Lb. Sampono
Editor: Muhammad Subhan