Oleh Andriyana
Pada kala lalu. Di sudut kolong langit yang siangnya masih memancar hangat dan malamnya menggigil dingin, kau terjaga. Kau bertanya-tanya seakan tersesat langkah, “Di manakah aku?” Sementara mereka, acuh tak acuh akan rupa kehadiranmu setiba kejapan mata karena luput dari pandangan.
Hanya kepiawaianmu berceritalah yang membuat mereka betah berkumpul mengelilingimu laksana pandita, padahal sering kali kau membantah, “Bukan.” Meskipun kau sudah berulang kali menolak, bertutur, “Itu tak adab. Aku adalah kalian. Sama-sama sekolongan langit.”
Namun, apalah mau dikata. Mereka sudah berputar lidah menafikan perkataanmu. Mereka hanya ingin kau terus bercerita mengundang gelak dan mempersilakan tangis hadir sesekali.
Ketika kau menceritakan tentang cinta dan rindu, bagaimana indah syahdu keduanya berpadu. Kau bercerita seolah-olah kau tengah menghamparkan permadani langit berbintik-bintik cahaya, lalu mengajak mereka meresapi kesyahduan cerita cinta dan rindumu. Namun, sontak jemawa mereka bersungut.
“Pendongeng,” ujar-getir mereka satu per satu, pergi dari permadani langit yang sudah kauhamparkan.
“Apa itu cinta?”
“Apa itu rindu?”
Jawabmu, “Ialah pembawa keajaiban.” Kaugenapkan ucap, “Ialah mengganjilkan kemustahilan menjadikannya genap niscaya.”
“Kalian takpercaya?” Wajahmu membias ragu.
“Tidak!”
Kau lantas menegakkan tulang punggung, tungkai kaki, juga telunjukmu.
“Jika aku menceritakan perihal ini kepada kaum penghuni hutan di tapak gunung itu, percaya kaliankah?”
Mereka terbahak.
“Takpantas kautanyakan itu.”
“Apa pula adanya di sini, siapa kuat, dia berhak. Tak perlu cerita dongengmu tentang cinta syahdu merindu pilu. Getir berkorban, rugi di badan.”
Sejak itu, tidur malammu tak lagi pulas. Kaulantunkan kidung rindu bersama gumaman pada setiap pentas malam kesendirianmu. Tidakkah kau membosan juga dibenci lelah? Kau terus merindu menjulang berusaha menggapai betis langit, walau inginmu memeluknya mesra. Bukan dengan jemarimu yang mencengkeram, alih-alih kaubuka kedua telapak kusam menghatur dendam rindu yang membebati nadi.
“Terobati sekala, berdarah-darah lagi.”
Nun, kau ditanya, “Mengapa begitu?”
Jawabmu mangkus, “Aku cinta.”
Sementara beberapa orang di sekitarmu menyebut kau tergila-gila mencinta membabi buta. “Kau gila,” kata mereka. Nun, lantas jawabmu memangkas sarkastis.
“Begitulah anggapanmu, itulah yang didapat.” Baris geligimu tampak putih bersih tak mendengki. Pernah kau bercerita bahwa Nun kesasar.
“Aku bersedu-sedan ingin pulang,” ucapmu. “Tetapi jerat waktu terbilang memenjarakanku.”
Taksa cerita sedu-sedanmu. Pada senja hari, kau kegirangan. “Aku tak sabar,” ujarmu ceria.
Sesaat fajar menyingsing. “Namun taklah rinduku memudar hingga …,” katamu berjeda.
Apa yang kaukatakan berbuah riskan. Tak ayal Nun kau disebut gila. Belakangan waktu, kau diusir, dicerca hina oleh orang-orang waras. Kau dituding gila betulan. Bersama imbuhan senyum tak mendengki, kau pun pergi menuju hutan di sisi tapak gunung, membawa rindu di genggaman dan cinta di pusara hati.
“Gunung angker. Menyeramkan,” kata mereka yang waras.
Namun tetaplah tangan-tangan mereka mengipas bersahutan teriak umpatan, mengumpatmu.
“Kau sudah gila karena merindui cinta.”
Hingga satu waktu, terbetiklah kabar berita dari satu orang yang waras, bahwa di gunung itu kau sudah kelelahan menggenggam rindu lantas mati. Namun, tiba-tiba sang Kancil datang dari hutan, tergesa-gesa berlari, menyanggah,
“Tidak! Rindu di genggamannya sudah menyemaikan hutan, membuahkan tunas-tunas cinta.”
Mereka yang waras melongo; terkejut berlapis takut dan khawatir, ada binatang berceramah di hadapan mereka. Beriringan kemudian, datang sekawanan binatang dari hutan di tapak gunung, berbaris rapi di belakang sang Kancil tanpa dikomando. Saling bergumam mereka yang waras.
“Apa aku sudah gila?” Sementara betik hati mereka menitik tanya, “binatang berbicara tentang rindu dan cinta (?)”
Mereka hanya mampu menjawab dengan wajah kebingungan serta-merta hati kecut berbaju takut. Lalu sang Harimau urun berucap, “Hai manusia yang waras, siapakah sekarang si waras dan si gila?”
Hening ….
Sang Harimau pun lanjut berujar, “Atas nama cinta dijadikanlah kami sehutan dilumuri kasih sayang. Atas nama rindu, tumbuh suburlah menghijau hutan kami, pepohonan menjulang tetapi bak padi merunduk.”
“Kau, kalian bisa berbicara, atas nama apa?” tanya takut-takut seorang di antara kerumunan mereka yang waras.
Hening berjeda.
Si Kera mengikik dan berkata nyinyir, “masa kecil kalian tak pernah mendengar dongeng, ya.” Disambut riuh gelak sekawanan binatang.
Mereka si waras yang perlahan surut sedikit rasa takutnya, berangsur-angsur mulai menyadari bahwa mereka telah telanjur mengusir si Pendongeng cinta dan rindu. Namun, wujud dongengan itu kini tampak kasatmata bersehadap dengan mereka.
“Ingat-ingatlah, Kawan. Cinta dan rindu bukanlah sekadar dongeng.” Pak Suliarma pun mengakhiri wejangan di perhelatan pernikahan anaknya.
Aku takjub. Tanpa sadar aku pun bertepuk tangan lalu bangkit berdiri dari bangku undangan di tengah-tengah para hadirin. Aku mengapresiasi wejangan Pak Suliarma masih dengan ekspresi wajah takjub dan berdiri bertepuk tangan.
Namun, banyak pasang mata berwajah dengan berbagai macam ekspresi, mengerumun menatapiku. “Ini bukan acara pementasan seni!” Begitu barangkali ujar bahasa wajah mereka bila kuterka-terka. Tetap aku tak peduli. Persetan!
Ketika apresiasi dibataskekangi momen seperti acara, bersiap-siaplah hati yang akan menggurat puisi pada dinding langit-langitnya. Meski aku pun sadar diri, jika hanya aku yang takjub dan berdiri bertepuk tangan; mengapresiasi, di perhelatan itu.[]
Andriyana. Suka menulis kala luang. Berdomisili di Sleman, Yogyakarta.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan AI Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Andriyana
Editor: Ayu K. Ardi