Oleh Rofiatul Adawiyah
Di sebuah kota kecil yang ramai, hiduplah seorang pemuda bernama Abi. Abi merupakan seorang pelajar yang berbakat dalam menggambarkan emosi dan imajinasinya menjadi kalimat-kalimat indah. Setiap hari, Abi tidak lupa untuk mengasah bakatnya dengan cara menuangkan segala isi kepalanya yang inspiratif, meski tidak pernah tebersit dalam dirinya untuk menjadi seorang penulis. Abi mengira jika profesi penulis lebih cocok bagi mereka yang ingin meraih popularitas, sedangkan dia menolak keras kehidupannya menjadi konsumsi publik. Terlebih lagi, kehadiran berbagai teknologi yang semakin canggih sehingga mudah bagi siapa saja memperoleh informasi apa saja.
“Tulisanmu bagus, Nak,” ucap seorang perempuan paruh baya yang ternyata diam-diam sudah membaca tulisan Abi dari balik punggungnya. Bahkan sepertinya ia juga telah membaca bakat menulis yang dimiliki oleh Abi.
“Kamu suka menulis, ya?” sambung perempuan paruh baya yang masih dibuat takjub akan keindahan kata-kata pada tulisan Abi.
“Oh, ee… nggeh.. Bu,” jawab Abi terpatah-patah mengetahui keberadaan seseorang yang ternyata diam-diam telah membaca tulisannya. Selama ini, Abi memang hanya beriktikad untuk menuangkan ide-ide luar biasa yang bertebaran di kepala, tanpa ingin memperlihatkan kepada siapa pun. Tidak heran jika sejumlah tulisannya masih tersimpan rapi dalam buku catatan maupun ponsel miliknya.
“Maaf, ya, saya tidak sengaja membaca tulisannya,” ucap perempuan paruh baya seraya beranjak dari posisi duduk sebelumnya, dan berpindah posisi tepat di samping Abi.
“Selain membaca, saya juga suka menulis,” sambung perempuan paruh baya yang ternyata juga memiliki ketertarikan terhadap menulis. Bahkan tanpa ragu, ia mengaku jika kunjungannya ke pasar adalah mencari inspirasi untuk buku barunya. Lain halnya dengan Abi yang bertugas mengantar dan menunggu ibunya berbelanja di pasar karena saat itu libur sekolah.
Setelah berkenalan dan berdialog cukup panjang, perempuan paruh baya berhasil membuat Abi tertarik untuk menerbitkan tulisan-tulisannya, terutama cerita pendek. Rupanya perempuan paruh baya mampu menyentuh pengetahuan Abi melalui penjelasannya bahwa koran dapat menjadi wadah publikasi paling cocok dengan kepribadian penulis yang tidak narsistik. Di mana, Abi sebagai penulis hanya perlu menyertakan biodata secara singkat dan rahasia, seperti nama pena diikuti deskripsi singkat sebagai pemanis. Dengan senang hati, Abi pun menerima tawaran perempuan paruh baya untuk bertukar ide dan menggabungkan keahlian guna mewujudkan misi bersama.
Dalam kesepakatan itu, Abi bertugas menuliskan ide-ide inspiratif, sementara perempuan paruh baya melengkapinya dengan berbagai pengalaman unik dan menarik. Mengingat jumlah pembaca koran lebih banyak orang-orang dewasa, maka perempuan paruh baya mengusulkan cerita pendek perdana mereka hendaknya berbicara tentang orang-orang dewasa pula. Sepanjang perundingan itu, Abi memang tidak berkeberatan dengan usulan-usulan perempuan paruh baya yang dianggapnya lebih berpengalaman dan berkompeten. Namun, tidak lupa Abi menguraikan keluhan-keluhannya; kalau menulis tidak semudah yang terlihat, khususnya menuliskan wacana yang dibalut pengalaman orang lain. Abi mengaku; sesungguhnya dia masih sering kebingungan dalam memilih kata-kata yang tepat untuk sekadar memulai suatu cerita. Tidak jarang akibat dari kekaburan kata-kata dalam kepalanya, Abi juga merasa kesulitan menjalin dan mengembangkan plot-plot yang biasanya sudah ditulis di buku catatan.
“Saya pernah mendengar dari seorang penulis terkenal yang mengatakan ‘setiap penulis akan berubah seiring berjalannya waktu.’ Barangkali kita sempat berpikir kalau diri kita yang lama dan tulisan-tulisan yang telah dibuat adalah karya-karya yang bagus dan luar biasa. Namun, seiring bertambah usia dan pertumbuhan, persepsi dan cara kita melihat tulisan atau siapa dan apa yang telah menginspirasi tentu akan berubah.”
Perempuan paruh baya itu mencoba memberikan pengetahuan baru terhadap Abi.
“Bahkan di fase tertentu, tidak sedikit para penulis cenderung meremehkan dirinya sendiri yang lama atau sebelumnya, meremehkan cara menulis, atau menjadi perfeksionis. Padahal, siapa diri kita sebelumnya bagian dari proses yang membentuk kita sekarang,” sambungnya lagi dengan nada meyakinkan; seakan-akan penjelasan itu bukan lagi dari seorang penulis terkenal, melainkan pengalamannya sendiri.
“Apakah jenengan juga pernah berada di fase itu, Bu?” tanya Abi penasaran.
“Betul, Nak,” jawab perempuan paruh baya.
“Setelah membaca karya-karya lama saya, ya saya tahu ada banyak sekali kesalahan dan beberapa di antaranya karena penulisan yang mendadak. Lantas, apakah saya harus menghakimi diri saya yang sebelumnya? Bukankah kesalahan itu juga bagian dari proses belajar?” tanyanya.
“Setuju, Bu,” sahut Abi.
“Ingat, Nak. Belajar untuk menghormati seorang penulis beserta asal-usulnya, lebih-lebih jika penulis itu diri kita sendiri,” ucap perempuan itu
“Beberapa orang mungkin memilih untuk berhenti menulis karena merasa profesi penulis bukanlah untuk dirinya, sedangkan beberapa yang lain terus melanjutkan. Nak, menjadi penulis itu memang sebuah komitmen yang tidak semua orang dapat melakukannya. Komitmen tersebut adalah malam-malam tanpa tidur, halaman-halaman kosong, pikiran yang berdarah-darah, dan terkadang kritik. Itulah mengapa saya menyimpulkan bahwa salah satu cara menjadi seorang penulis ialah memiliki keberanian untuk memulai dan berkomitmen menyelesaikan tulisannya; apa pun yang terjadi.”
“Nak, menulislah jika kamu merasa kekuatan kata-kata dapat mengubah hidup ini. Sebab, tulisan tidak hanya dapat menjadi alat untuk menyampaikan pesan dan menginspirasi orang lain, tetapi juga menciptakan perubahan positif, khususnya perubahan bagi diri sendiri,” sambungnya seraya beranjak meninggalkan Abi dan haru biru pasar.
*
Setelah beberapa tahun kemudian, Abi berhasil menerbitkan tulisan-tulisannya di beberapa koran dan mendapat apresiasi berupa royalti penulis. Berangkat dari pengalaman itu, Abi mulai tebersit untuk menjadikan tulisan-tulisannya sumber penghasilan utama seraya menyelesaikan pendidikan tinggi. Lahirlah esai pertamanya yang membanggakan karena berhasil meraih juara tiga dalam lomba esai tingkat nasional yang diadakan oleh kampus tercinta. Hal tersebut tentu sangat menyenangkan bagi Abi yang memang begitu mendambakan uang pembinaannya sebagai tambahan penghasilan. Bahkan tidak hanya itu, Abi juga meletakkan sebuah meja kecil di sudut pasar, tempat untuk menampilkan tulisan-tulisannya berupa quotes.
Hebatnya, tulisan-tulisan itu senantiasa menyentuh hati orang-orang yang berhenti sejenak untuk membacanya. Tidak jarang dari mereka tiba-tiba tertawa, ada yang menangis histeris dan merasa terinspirasi sehingga tidak satu pun tulisan tersisa di meja itu setiap harinya.
Hingga, suatu sore dalam perjalanan pulang, Abi tidak henti-hentinya memikirkan ide-ide yang masih menumpuk di kepala. Dengan langkah gontai, Abi berjalan menyusuri trotoar yang sepi seraya membawa keranjang kosong; tempat gulungan kertas menggantung di lengannya. Abi seketika dilema karena muncul hasrat untuk bertahan sekaligus melangkah lebih jauh dari rutinitas memajang tulisan di pasar. Di satu sisi, Abi menyayangkan meja tulisan yang telah menjadi tempat inspirasi kehidupan orang-orang sekitarnya. Di sisi lain, Abi menyadari bahwa dirinya membutuhkan ruang tumbuh yang jauh lebih besar untuk menuangkan segala isi kepala dan melangsungkan kehidupan tanpa dikenal oleh banyak orang.
Saat itu, kesekian tulisan Abi memang sudah terbit dan terjual, bahkan berbagai cara atau tips kepenulisan pun sudah dikantonginya dengan rapi. Meski perasaan rendah diri Abi masih begitu melekat dalam dirinya, tetapi kali ini Abi sudah jauh lebih berani untuk mendaftar sebagai salah satu anggota perusahaan ternama yang sedang mencari tim untuk menulis artikel dan buku pendidikan. Sebab, Abi mulai memahami tujuan menjadi bagian dari perusahaan tersebut untuk memperoleh validasi yang jauh lebih akurat terkait kualitas tulisannya. Dalam hal ini, perusahaan yang sudah berpengalaman dan profesional tentu akan memilih orang atau pelamar yang benar-benar berkompeten dalam bidang menulis. Di mana, keahlian menulis setiap pelamar akan dinilai dari portofolio yang dilampirkan bersama surat lamaran kerjanya. Untuk itu, Abi memilih dan menyertakan tulisan terbaiknya sebagai portofolio dengan harapan lolos pada tahap administrasi.
Semua berjalan sesuai harapan, Abi pun diterima sebagai penulis di perusahaan ternama yang diminatinya. Rasanya seperti mimpi, Abi masih tidak percaya dapat menjadi bagian dari para penulis hebat yang sudah menghasilkan banyak artikel dan buku pendidikan. Hebatnya lagi, mereka bersedia menyerahkan hasil tulisan-tulisannya untuk dan atas nama orang lain; yang bisa disebut sebagai penulis bayangan atau dalam bahasa Inggrisnya ghost writer.
Sementara berbicara mengenai kepemilikan ide yang tidak semua orang memiliki, maka seharusnya tidak mudah bagi mereka menyelesaikannya sebagai karya orang lain. Itulah mengapa Abi bertanya-tanya; apakah mereka memang sengaja melakukannya dengan alasan yang sama persis. Rela menjadi bayang-bayang orang lain alias penjual tulisan untuk menghidupi mimpi-mimpinya yang lain. []
Rofiatul Adawiyah. Lahir di Situbondo, 18 Agustus 1998.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Rofiatul Adawiyah
Editor: Maghdalena