Pengaruh Pileg dan Pilkada terhadap Kerukunan Badunsanak

Pemilu legislatif dan pilkada seharusnya menjadi ajang demokrasi yang sehat, tetapi sering kali justru memicu perpecahan dalam keluarga dan kaum.

Oleh Mak Jamil Labai Sampono

Urang baiman basudaro, jika ada masalah (sangketo), maka padamaikanlah, dan tingkatkan takwa kepada Allah, Mudah-mudahan kalian mendapat kasih sayang-Nya.” (QS. 49:10)

Anggota legislatif dan presiden terpilih telah hampir enam bulan dilantik, menyusul kemudian Pilkada. Para pemenang akan dilantik pada 6 Februari 2025 mendatang, namun hingga kini baru ada delapan kepala daerah yang diumumkan oleh Mahkamah Agung karena permasalahannya telah selesai. Masih tersisa dua belas yang belum diumumkan di Sumatera Barat.

Menurut informasi yang didengar, lebih dari separuh daerah di Sumatera Barat yang berbasis adat dan berdasarkan ABS-SBK mengalami permasalahan. Padahal kita menjunjung tinggi rasa badunsanak, berkarakter adat sopan santun, raso pareso, menjunjung malu dan arif bijaksana.

Namun, disayangkan ternyata setelah Pilkada dan Pileg banyak meninggalkan persoalan kerenggangan tatanan kekerabatan, rusaknya hubungan badunsanak dan bakaum gara-gara alek demokrasi yang sesaat ini.

Tidak sedikit ditemukan dan dirasakan di lapangan bahwa Pileg dan Pilkada membawa dampak pada hubungan kekerabatan dalam banagari, bakampuang, bakaum, bahkan bertetangga, berkawan, dan badunsanak.

Hubungan menjadi rusak, pecah, dan tidak bertegur sapa karena masing-masing menjagokan calon masing-masing. Jika dilihat di lapangan, hingga kini kondisi psikologis belum stabil. Dan setiap musim pemilu, hal ini terus berulang.

Lalu apa pemicunya? Dan apa jalan keluar yang perlu diantisipasi dari sekarang untuk menuju keutuhan sosial di nagari?

Penyebabnya dapat diurai. Pertama, kebebasan dalam Undang-Undang Pemilu (luber) tanpa mengindahkan adat salingka nagari. Dengan dasar inilah para pendukung kandidat dan calon berdalih mendukung habis-habisan calonnya, bahkan kadang selain dari partai, selain calonnya dianggap rival.

Kedua, kerukunan, keutuhan sadanciang bak basi, saciok bak ayam sebagai simbol badunsanak tidak diperkuat dengan aturan adat salingka nagari. Sehingga memberikan ruang bagi siapa pun anak nagari, siapa pun kamanakan dalam kaum, bebas mencalonkan diri sesuai dengan kehendaknya, bahkan mamak dan kemenakan pun bersaing untuk menjadi pemenang di kaum dan nagarinya. Persoalan inilah yang kuat dalam memicu keretakan dalam kaum dan nagari, karena mau tidak mau, mereka akan memenangkan calon dan dirinya sendiri.

Ketiga, kaum dan nagari tidak kuasa membendung arus demokrasi dengan tatanan adat salingka nagari dan adat sabatang panjang. Kerukunan badunsanak hari ini sedang tercabik-cabik. Keretakan bakaum selama ini sudah terjadi karena persoalan sako, soal harta yang belum selesai, dan ketidakpiawaian datuak dalam memimpin. Air sedang keruh, benang sedang kusut di hampir setiap nagari, dan ini memberi ruang bagi anak kamanakan yang hobi politik untuk mencalonkan dan mendukung calon. Inilah jalan mulus memperdalam keretakan hubungan badunsanak, yang pada akhirnya merusak keutuhan kaum pasca Pileg dan Pilkada.

Lalu, apa jalan keluarnya?

Perkuat pemuda dan parik paga nagari. Sebagai ujung tombak penengah untuk kemajuan nagari. Bagaimana nagari ke depan ditentukan oleh pemudanya saat ini. Kesatuan pemuda dalam menjaga nagari dan keutuhannya akan sangat berpengaruh. Jika suatu nagari pemudanya tidak kuat dan tidak bergerak untuk kemajuan nagari, maka benteng pertahanan nagari akan rubuh (rancak tapian duo nan ado, nan mudo panyumarak nagari).

Perkuat fungsi “Urang Ampek Jinih” (Penghulu, Manti, Malin, dan Dubalang). Mereka adalah penengah utama dan berfungsi sebagai tonggak tua nagari. Jika tonggak tidak kuat, maka rumah akan rubuh. Tentu saja, dengan program kekinian: Penghulu sebagai pemimpin, Manti sebagai bendahara dan kesejahteraan nagari, Malin sebagai ulama nagari, dan Dubalang sebagai parik paga nagari.

Panduan dan aturan adat salingka nagari yang utuh dan kuat. Di dalamnya harus tertuang konsep penguatan kerukunan dan kekerabatan badunsanak. Bisa saja dibuat kesepakatan nagari bahwa calon cukup satu orang, dan lain sebagainya. Hal ini bisa dibuat dalam adat dan aturan kesepakatan nagari yang juga dilindungi oleh undang-undang negara.

Ketidakhadiran panduan adat salingka nagari yang mengatur kerukunan kaum dan suku sampai saat ini adalah hal besar yang menyebabkan runtuhnya rasa badunsanak dalam setiap Pileg dan Pilkada. Yang lebih memprihatinkan, tidak adanya kandidat dari nagari yang terpilih dalam Pileg dan Pilkada, namun keretakan badunsanak sudah telanjur terjadi dan sulit dipersatukan kembali. []

Mak Jamil Labai Sampono, Praktisi Adat Minangkabau, menetap di kota Padang Panjang.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Mak Jamil Labai Sampono

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan