Oleh Muhammad Subhan
PENDIDIK adalah seorang guru. Tapi tidak setiap guru adalah pendidik.
Guru bisa hadir karena profesi. Pendidik hadir karena panggilan nurani. Guru mungkin datang karena gaji. Pendidik datang karena cinta.
Menjadi guru adalah pekerjaan. Menjadi pendidik adalah jalan hidup.
Hari ini kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tapi peringatan bukan tujuan. Ia seharusnya menjadi perenungan.
Apakah pendidikan masih mendidik? Apakah guru masih membimbing jiwa, atau hanya mengisi kepala?
Dalam banjir informasi dan ledakan digital, pendidikan tak lagi sekadar transfer pengetahuan. Bukan lagi soal buku teks, soal pilihan ganda, soal rangking. Kini, pendidikan adalah filter makna.
Karena yang mengkhawatirkan bukan anak yang bodoh. Tapi anak yang cerdas namun kehilangan nurani. Yang tahu segalanya, tapi tak mampu membedakan benar dan salah.
Maka, mendidik bukan mencetak robot yang patuh. Mendidik adalah membangunkan kesadaran. Kesadaran untuk berpikir. Kesadaran untuk merasa. Kesadaran untuk bertindak.
Sebagaimana kata Aristoteles, “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali.”
Mendidik bukan menyiapkan anak untuk ujian. Tapi untuk hidup—yang tak pernah bisa ditebak. Untuk jatuh dan bangkit. Untuk bersikap adil dalam sunyi. Untuk memilih jalan lurus meski sendiri.
Pendidik sejati tak hanya mengajar. Ia hadir sebagai cahaya. Membimbing bukan dari atas, tapi dari samping. Menjadi teman belajar, bukan penguasa kelas. Menjadi penyemai pertanyaan, bukan penghafal jawaban.
Karena sesungguhnya, “Guru adalah kompas yang mengaktifkan magnet keingintahuan, pengetahuan, dan kebijaksanaan dalam diri para murid,” ujar Ever Garrison.
Di tengah krisis empati pasca-pandemi, pendidik menjadi pelipur gersangnya jiwa-jiwa muda. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan keteladanan. Bukan dengan aturan, tapi dengan kebijaksanaan.
Sekolah bukan pabrik nilai. Bukan ruang produksi ijazah. Sekolah adalah taman bertumbuh. Tempat anak boleh salah, lalu bangkit. Tempat anak belajar menjadi manusia.
Tapi benarkah sekolah kita seperti itu? Atau sudah menjadi tempat ujian yang tak henti? Penjara seragam, kurikulum, dan angka-angka?
Buku fisik kini nyaris terlupakan. Menulis tangan menjadi kuno. Padahal, dari aksara itulah karakter disulam. Dari lembar kertas itu, empati tumbuh perlahan.
Kita tak sedang kekurangan teknologi. Kita kekurangan makna.
Di Padang Panjang, Rahmah El Yunusiyah mendidik dengan hati. Di Kayutanam, Engku Mohammad Syafei membebaskan jiwa dari kebodohan. Ia membangun Ruang Pendidik INS. Di Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan mendirikan pondasi peradaban—bukan dengan senjata, tapi pena.
Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum.”
Pendidik tak mengenal sekat ruang dan waktu. Ia ada di kota dan di dusun. Ia hadir untuk semua anak—bukan hanya yang pintar, tapi juga yang miskin, yang pemalu, yang tertinggal.
Pendidikan adalah keadilan sosial yang paling purba. Kalau ia tak adil, ia bukan pendidikan. Kalau ia tak memanusiakan, ia bukan mendidik.
Kita perlu sekolah yang berpihak. Bukan sekadar kepada kurikulum, tapi juga kepada kemanusiaan.
Pendidikan tak boleh menyeragamkan. Ia harus membebaskan. Sebagaimana kata Ki Hadjar Dewantara: “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri.”
Guru masa kini harus menjadi pengajar dan pelajar ulung. Menjadi co-learner. Menjadi co-creator. Karena seringkali, anak lebih cepat tahu dari gurunya. Dan itu bukan ancaman. Itu peluang.
Karena seperti dikatakan Jeffrey HA, “Mengajar bukanlah tentang menjadi sempurna, tetapi tentang terus menyempurnakan dan meningkatkan apa yang Anda lakukan di kelas.”
Di masa depan yang kabur, anak-anak tidak butuh semua jawaban. Mereka butuh keberanian untuk bertanya. Butuh kepekaan untuk peduli. Butuh daya untuk berdiri.
Dan itu semua hanya bisa diajarkan oleh pendidik—yang percaya bahwa tugasnya bukan membuat murid jadi tahu, tapi membuat mereka ingin tahu, ingin menjadi, ingin bermakna.
Dan Rather pernah berkata, “Mimpi dimulai dari seorang guru yang percaya padamu, yang menarik dan mendorong serta menuntunmu ke dataran tinggi berikutnya, terkadang menusukmu dengan tongkat tajam yang disebut ‘kebenaran’.”
Karena mendidik—sejatinya—adalah memanusiakan manusia. Bukan meng-update mesin.
Maribeth Sublette mengingatkan, “Untuk menjadi guru yang efektif, Anda harus mencintai siswa Anda sebagai manusia dan Anda harus mencintai mengajar.”
Dan Max Forman menyindir getir: “Guru adalah orang yang memulai hal-hal yang tidak pernah selesai, dan tidak pernah mendapat ucapan terima kasih hingga semuanya terlambat.”
Di Hari Pendidikan ini, mari kita bertanya ke palung paling dalam: Sudahkah kita menjadi pendidik—bukan sekadar guru? Sudahkah kita menanam benih kebaikan, bukan hanya nilai rapor? Sudahkah anak-anak kita belajar menjadi manusia utuh dengan kemanusiaannya, bukan sekadar lulusan?
Kalau pendidikan adalah jembatan masa depan, sudahkah kita menata pondasinya di jiwa yang utuh—jiwa yang bisa berpikir, merasa, dan bertindak dengan nurani?
Pendidikan adalah kerja sunyi. Tapi dari sunyi itulah lahir cahaya. Dan, dari cahaya itulah, bangsa tumbuh—pelan, tapi pasti.
Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah