Oleh Ilhamdi Sulaiman
HASAN, preman kecil-kecilan di sebuah pasar grosir pakaian, dikenal sebagai pimpinan kelompok dengan semboyan gokil: “Pantang Pulang Sebelum Kenyang.” Setiap ada hajatan warga, Hasan dan anak buahnya selalu siap tempur, menyiapkan perut untuk pesta.
Dengan seragam kebesaran yang tampak kebesaran di badannya yang kecil, kurus, dan kerempeng, Hasan tampil penuh percaya diri. Kacamata hitam Ray-Ban bertengger gagah di hidungnya, mempertegas gayanya yang sok jenderal. Di lapangan, ia sibuk mengatur pasukan, membagi tugas: siapa menyerbu tenda makanan, siapa mendekati dapur.
Namun, menjelang Idulfitri, sudah hampir tiga bulan tak ada hajatan. Organisasi Hasan praktis mati suri. Ia gelisah. Kalau tidak ada sunatan, pernikahan, atau pesta syukuran, dari mana ia bisa mensejahterakan anak buahnya?
Hasan memaksa otaknya bekerja keras. Ia duduk di beranda rumah kontrakannya yang sempit, menghitung peluang, mencari siasat. Semua terasa buntu.
Suatu siang di bulan Ramadan, dalam perjalanan pulang, matanya menangkap pemandangan yang membuat dadanya bergemuruh. Seorang pria berkulit putih, berwajah Indonesia tulen, berdiri di atas sebuah mobil Alphard putih, membagi-bagikan uang lembaran baru. Pelat mobil itu istimewa: G 1 LA, entah apa artinya.
“Enak betul, ya,” gumam Hasan lirih. “Para pemulung dan gelandangan itu dapat uang tanpa perlu bertaruh nyawa… Sedangkan aku, harus memaksa pedagang di pasar untuk sekadar ngasih jatah ke anak buah.”
Kacamata hitam itu tetap bertengger di hidungnya, tapi sinar di balik lensa mulai redup. Hasan mendesah panjang, seolah tahu, hidup ini tak selamanya soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang punya otak.
Hasan pulang dengan langkah gontai. Di sudut pikirannya, masih bergema pemandangan mobil Alphard dan tumpukan uang yang dibagi cuma-cuma.
Di beranda rumah kontrakannya, sambil menyeruput kopi hitam, tiba-tiba muncul ide aneh: membuat surat edaran.
“Kalau bisa ada edaran resmi buat THR beneran, kenapa aku nggak bikin edaran sendiri?” bisiknya.
Matanya bersinar.
Malam itu, Hasan menuju rental komputer dekat kontrakannya. Tempat yang ia tuju tidak begitu ramai, karena orang-orang sedang menjalankan ibadah tarawih. Hasan menyuruh petugas rental untuk membuatkan sepucuk surat sesuai dengan dikteannya.
“Bahasanya dibuat resmi, lengkap dengan kop organisasi ya! Organisasi Solidaritas Sosial Pantang Pulang Sebelum Kenyang,” perintahnya.
Isinya sederhana tapi mengancam:
Setiap perusahaan, toko, dan lapak di kawasan pasar grosir diwajibkan memberikan Tunjangan Hari Raya kepada organisasi sebagai bentuk dukungan keamanan menjelang Lebaran.
“Yang nggak patuh, ya… kita datengin baik-baik,” kata Hasan sambil tersenyum, memperlihatkan gigi emasnya pada anak buahnya.
Beberapa anak buah sudah disiapkan membawa surat-surat itu ke toko-toko besar. Ada yang pakai kemeja rapi, ada yang sengaja berseragam agar tampak berwibawa.
Semuanya dengan satu pesan: “Ini imbauan, Bos. Biar suasana Lebaran aman, nyaman, dan damai.”
Di dalam hati, Hasan merasa seperti pengusaha sukses yang sedang menjalankan misi sosial. Padahal, ini hanya cara baru agar semboyan mereka tetap hidup: Pantang Pulang Sebelum Kenyang.
Hari ketiga setelah surat edaran disebar, anak buahnya merasa percaya diri. Hampir separuh toko di pasar grosir sudah menyerahkan amplop “THR” tanpa banyak tanya. Ada yang takut, ada yang malas ribut.
Namun sore itu, di sebuah toko besar, rencana mereka mental. Pemiliknya, seorang pria muda keturunan Tionghoa, berkaos putih lusuh, menolak mentah-mentah.
“Ini pasar umum, bukan kerajaan preman!” sergahnya, sambil menolak surat edaran yang disodorkan.
“Ini imbauan, Bos. Demi keamanan dan kenyamanan kita bersama,” bujuk anak buah Hasan.
Si pemilik toko tertawa sinis.
“Keamanan? Kalau mau aman, lapor polisi!”
Tanpa banyak cakap, si pemilik toko mengeluarkan ponsel dan mulai merekam.
“Bapak-bapak sekalian, ini ada preman minta THR,” ujar pemilik toko ke arah kamera. “Kita lawan premanisme model begini!”
Beberapa pengunjung pasar juga mulai menyoraki mereka.
Tak sampai sejam, video itu sudah tersebar di media sosial. Potongan gambar anak buah Hasan—surat di tangan dan wajah panik—menjadi bahan lelucon.
“Bang, kita viral! Polisi katanya lagi cari-cari, Abang!” lapor seorang anak buah.
Hasan hanya bisa menatap langit-langit rumah kontrakannya, mendadak merasa kecil. Lebih kecil dari tubuhnya yang kerempeng. Lebih kerempeng dari harga dirinya yang sudah tercabik di dunia maya.
Di televisi lokal, pejabat daerah tampil penuh percaya diri. Mengenakan kemeja putih berikat kepala putih, ia memberikan pernyataan pers, yang bunyinya: “Pemerintah provinsi berkomitmen menegakkan hukum dan memberantas aksi premanisme dalam bentuk apa pun, demi menciptakan suasana yang aman dan kondusif, khususnya menjelang Lebaran.”
Di media sosial, akun resmi pemerintah daerah pun rajin mengunggah foto-foto razia. Caption-nya bersemangat: “Terima kasih masyarakat yang sudah membantu! Laporkan premanisme! Mari kita jaga kota kita bersih dari pungli dan kekerasan!”
Orang-orang tahu, ini soal pencitraan. Tapi siapa yang peduli? Yang penting ramai.
Malam itu, Hasan merenung lama. Dunia yang dulu ia kuasai dengan nyali siap mati, kini membalikkan wajah. Kota yang dulu diam saat ia menggertak, kini mengepungnya dengan kamera, razia, dan politik.
Jakarta, 27 April 2025
Ilhamdi Sulaiman, lebih akrab dipanggil Boyke Sulaiman. Lahir 68 tahun lalu di Medan, berkesenian diawali tahun 1978 bersama Grup Bumi Teater asuhan Wisran Hadi. Kini menetap di Jakarta sebagai aktor dan deklamator.
Lukisan ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Ilhamdi Sulaiman
Editor: Muhammad Subhan