Panggilan Rindu dari Panggung yang Jauh

Menonton pertunjukan seni dari panggung jauh menyentuh rasa, tapi menyisakan rindu akan kehadiran nyata.

Oleh Ilhamdi Sulaiman

MALAM itu terasa kerinduan.

Saya duduk di depan layar, menyaksikan Kaba Festival X 2025 Nan Maurak Alek lewat kanal YouTube Nan Jombang, sebuah kiriman dari sahabat, Dr. Hermawan. Di Gedung Manti Minuik, Ladang Tari Nan Jombang Company, riuh tepuk tangan mungkin tengah menggema.

Namun di sini, di ruang saya sendiri, hanya ada layar, suara, dan imajinasi.

Menyaksikan secara virtual memang anugerah, tetapi tetap ada jarak yang tak bisa ditembus. Tak ada tegur sapa, tak ada harum keringat, tak ada denting napas para penampil. Hanya bayangannya saja yang sampai ke sini.

Festival malam itu dibuka oleh Rio Mefri dengan karya tari Tangka. Rio seperti menganyam benang-benang ketegangan di udara. Gerak tubuh penari, yang terkadang perlahan dan tiba-tiba meledak, mengisyaratkan pergulatan batin antara daya tahan dan keterpurukan. Setiap langkah mengirim pesan samar tentang harapan yang dicekik kenyataan. Sebuah karya yang kuat dalam rasa, meski di beberapa bagian terasa diperketat untuk menjaga intensitas emosi.

Lalu hadir Gaung Ganto, pertunjukan teater kedua yang menawarkan dunia serba absurd. Tak ada percakapan logis. Yang ada hanya potongan-potongan gerak, narasi pendek tanpa urutan sebab-akibat. Cahaya minim menenggelamkan para pemain ke dalam dunia siluet—bayang-bayang bergerak di atas kain putih. Sebuah pilihan estetik yang berani, namun berisiko. Dalam eksekusinya, keterbatasan teknis membuat kedalaman emosi tak sepenuhnya tersampaikan. Penonton dipaksa mencari makna sendiri di tengah kabut lambang-lambang.

Sebagai penutup, Teater Old Trak dengan naskah Ruang Hampa karya dan sutradara Rizal Tanjung membawa kita ke dimensi lain.

Rizal memilih sunyi. Ia berbicara lewat ruang kosong, lewat tatapan, lewat keheningan tubuh. Ruang Hampa adalah semacam meditasi tentang eksistensi manusia—meski lagi-lagi, nuansa penuh magis itu tentu akan jauh lebih dahsyat bila ditonton secara langsung.

Sepanjang malam, saya bergulat dengan rasa. Rasa syukur karena bisa menyaksikan. Rasa kehilangan karena tak bisa hadir langsung. Bahwa panggung sejatinya adalah dunia yang hidup. Dan kehidupan itu tak pernah bisa dipindahkan seluruhnya ke dalam layar.

Malam itu, dari kejauhan, saya menyaksikan panggilan rindu. (*)

Ilhamdi Sulaiman, lebih akrab dipanggil Boyke Sulaiman. Lahir 68 tahun lalu di Medan, berkesenian diawali tahun 1978 bersama Grup Bumi Teater asuhan Wisran Hadi. Kini menetap di Jakarta sebagai aktor dan deklamator.

Penulis: Ilhamdi Sulaiman

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan