Paket Jenazah dari Kota X

Korban terus berjatuhan dari hari ke hari, ia sendiri cemas karena tinggal dalam apartemen sendirian.

Oleh Riska Widiana

Dalam beberapa tahun ini, kasus pembunuhan di kota X meningkat dari perkiraan. Setelah mengadakan survei lapangan minggu lalu, sekitar empat puluh kali peristiwa di kota X ini terjadi dalam satu bulan. Tidak ada kejelasan bagaimana kronologisnya. Sementara ini polisi dan pihak bersangkutan masih melakukan penyelidikan. Bagi Masyarakat di kota X harap waspada ketika berada di rumah ataupun di luar, pastikan Anda tidak sendirian, laporan berita saya kembalikan.”

Klik, Natasha mematikan TV tua berukuran 21 inci. Ia menghela napas berat, seraya meminum setengah teh yang sudah hampir dingin dan menghabiskannya sepotong roti yang tinggal seperempat, lalu teleponnya tiba-tiba berbunyi. Panggilan dari ibunya yang menanyakan kepastian Natasha untuk pulang.

“Pulang biar dijemput Papa, ya,” tawar Ibunya.

“Enggak perlu, Ma, Natasya sendiri saja. Minggu depan pasti pulang,” jawabnya menenangkan.

“Ya sudah, tapi tetap hati-hati, Mama cemas, katanya di kotamu …”

“Enggak, Ma, tenang saja, itu bukan kota Natasya, tapi kota lain,” jawabnya memotong ucapan.

“Oh ya sudah.”

“Tapi sebelum pulang, Natasya mau mengirimkan barang-barang dahulu. Biar lebih ringan.”

“Baiklah, ongkos kirimnya biar Mama yang bayar.”

Telepon mati, ia kembali menatap hampa ke luar jendela, sambil mengembuskan napas berat. Terlihat ranting-ranting pohon mengering dan daun-daunnya berjatuhan ke tanah. Korban terus berjatuhan dari hari ke hari, ia sendiri cemas karena tinggal dalam apartemen sendirian. Sebenarnya, Natasya hendak pulang lebih awal. Mengingat keadaan kota X terus mengalami peristiwa mengerikan, bahkan pelakunya belum terungkap. Keadaan kota itu seperti kota mati, biasanya siang atau pun malam, aktivitas tiada henti. Sungguh jauh perubahan terjadi, semenjak pembunuhan meningkat akhir-akhir ini, penduduknya lebih memilih berdiam di rumah, keluar seperlunya dan membeli keperluan dalam jumlah banyak. Itu pun tidak sendiri, minimal berdua biar aman. Pembunuhan terjadi tidak hanya malam hari, bahkan siang hari pun demikian, anehnya kejadian itu benar-benar tanpa diketahui oleh siapa pun. Hanya menyisakan jasad yang dikirim ke alamat-alamat si korban, unik tapi mengherankan. Itulah alasan utama kenapa Natasya menunda kepulangannya. Karena tidak ingin mengundang kecurigaan sang Ibu, ia nekat untuk tetap meninggalkan kota X meski dalam keadaan genting, karena hingga hari ini Ibunya Natasya tidak tahu perihal kejadian mengerikan itu. Ia hanya tahu bahwa kota X adalah kota lain yang dikatakan Natasya agar Ibunya tidak cemas.

Alasan utama wanita itu pulang juga karena kegentingan kota X kini seperti kota mati. Pagi itu ia bersiap mengepak barang dan langsung pergi menuju bandara. Suasana di perjalanan benar-benar sepi. Kendaraan hanya terlihat satu-satu. Orang-orang berjalan seperti diikuti oleh penguntit, saling berpasangan dan tergesa-gesa. Ia tetap memasukkan barang-barangnya ke bagasi mobil. Tiba-tiba sebuah tangan memegang bahu dan membuatnya tersentak.

“Kembalilah ke kediamanmu Nak, di luar tidak aman.” Seorang wanita tua bermantel cokelat memperingatkan.

“Iya Bu, saya hanya ada beberapa keperluan.”

“Sebaiknya jangan sendiri, berdua lebih aman.”

Wanita itu lalu beranjak meninggalkan Natasya yang mematung, ia terus berjalan seraya tidak melepas pandangannya pada Natasya. Entah tatapan seperti apa, ia sendiri tak mampu membaca apa yang ada di pikiran wanita itu. Natasya beranjak meninggalkan halaman apartemen, menuju bandara. Sepanjang jalan kota X berita-berita terus disiarkan melalui televisi besar di sepanjang jalan, tentang pembunuhan itu tanpa ada yang memperhatikan. Layar-layar itu seperti berbicara pada batu-batu, bangunan bisu, dan jalanan yang lengang. Diinformasikanlah bahwa ada lima pembunuhan terjadi tadi malam, hal itu membuat Natasya bergidik. Ia menaikkan gas mobil untuk segera sampai ke bandara, ia benar-benar ingin segera meninggalkan kota X ini.

Di bandara pagi itu Natasya sudah siap menunggu jadwal penerbangannya. Sambil menunggu, ia sempatkan menelepon ibunya dan mengabarkan akan berangkat sekitar setengah jam lagi. Selesai menelepon Ibunya ia duduk sebentar seraya melihat jam tangan. Ada sisa waktu sekitar 20 menit sebelum berangkat. Natasya memutuskan ke toilet untuk menenangkan perasaan, sejak tadi malam tidak tidur nyenyak. Selalu dihantui tentang pembunuhan. Di dalam kaca toilet ia bercermin melihat dirinya sendiri. Jantungnya berpacu, napasnya memburu. Ia menghembuskan napas berkali-kali, agar tenang.

“Tenang, Sya. Sebentar lagi kau akan meninggalkan kota ini. Hanya dalam beberapa menit lagi.” Ia menggenggam tangannya sendiri sambil menguatkan diri. Di luar terdengar pengumuman mengenai jadwal keberangkatannya yang sudah tiba, Natasya bergegas menuju pesawat. Tiba-tiba seorang perempuan tua yang ia temui beberapa jam lalu di depan apartemen memegang tangannya.

“Kamu juga mau berangkat, mari kita sama-sama, aku terlalu tua untuk naik ke pesawat. Bisakah kau bantu aku.”

Natasya awalnya tercengang, tapi ia lekas-lekas mengindahkan pikiran buruk tersebut. Ia membimbing wanita tua itu menuju pesawat

*

Amelia, ibunya Natasya mendapat telepon. Ia yang sedang memasak bergegas mengangkatnya.

“Ya halo.”

“Ada kiriman paket atas nama Bu Amelia.” Terdengar suara laki-laki, mungkin juga perempuan agak serak, tegas, dan kaku. Amelia hendak menjawab, tapi sambungan telepon telah mati. Sejenak ia tertegun, seperti ada keanehan tapi cepat-cepat wanita itu menampik pikiran yang tidak-tidak. Ia melanjutkan memasak di dapur sambil menunggu kabar dari Natasya.

Jam tiga sore, seharusnya Natasya sudah tiba, ia menatap cemas dari pintu rumah, sambil mengamati telepon. Tak lama masuk sebuah pesan tak dikenal.

“Paketnya sudah sampai, silakan diambil.”

Amelia beranjak ke halaman rumah, ia menemukan sebuah kotak besar. Lalu membawanya ke dalam, tapi terasa sangat berat. Karena tak kuat mengangkat, ia menyeret kotak besar itu ke dalam rumah. Awalnya ia mengira paket itu berisi barang-barang Natasya, karena merasa heran sebab terlalu berat. Amelia membukanya dan betapa kagetnya wanita itu, seonggok jasad perempuan telah terbujur kaku, terbungkus kain putih. Amelia bergetar, ia tak sanggup berkata-kata, air matanya tumpah. Jasad perempuan itu adalah Natasya, ia menangis sejadi-jadinya sambil meraung-raung memeluk jasad putrinya tersebut. Tapi ada satu hal yang ganjil di jasad Natasya, sebuah kertas tergenggam di tangan kanannya, Amelia mengambil dan membacanya.

“Siapa pun tidak ada yang boleh kembali setelah memasuki kota X. Sebelum pergi dari kota ini, ia boleh pergi jika ruhnya pulang ke langit, dan jasadnya akan pulang ke kampung halaman. Sudah menjadi takdir untuk siapa pun pulang dalam keadaan tak bernyawa. Di kota X tidak ada yang boleh hidup, dan kembali dalam keadaan bernapas.”

Tangan wanita itu meremas-remas kertas tersebut, rasa amarahnya membara, tapi ia tak tahu kepada siapa, bahkan nama si pengirim tak tertera. Dengan frustasi wanita itu hanya meraung seperti orang gila, beberapa warga mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi.

*

Di bandara pada pukul 09.30 WIB. Natasya bersiap akan naik ke pesawat, sebab jadwal penerbangannya telah tiba. Seorang wanita tua yang pernah ia temui di depan apartemen meminta untuk naik ke pesawat secara bersamaan, awalnya ia ragu. Karena terdesak waktu ia langsung membimbing wanita itu untuk menuju pesawat, tapi alangkah malang, Natasya disekap oleh perempuan tua tersebut, dibawa ke tempat sepi ke dalam sebuah gubuk tua dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di sudut ruangan terdapat kalender tua, perempuan itu melingkari angka lima puluh. Genap sudah angka pembunuhan dalam satu bulan, ia tersenyum puas. Misinya berhasil, sambil melihat Natasya yang sudah tak bernyawa di atas ranjang kayu. Semenjak itu kota X benar-benar sunyi, tidak ada lagi penduduknya. Kematian Natasya adalah penutup dari kisah pembunuhan misterius tersebut. Sejak saat itu kota X lenyap. hanya sebuah hutan luas dan berita mengenai kota X masih disiarkan. []

Riska Widiana. Lahir 25 November 1997. Berdomisili di Riau, Kabupaten Indragiri hilir. Ia tergabung dalam komunitas menulis Kepul (Kelas Puisi Alit), kelas menulis bagi pemula. (FB) Pensyair Berkarya; dan Diskusi Sahabat Inspirasi dan Sastra Indonesia. Karyanya pernah termuat dalam media cetak dan online. Karyanya juga tergabung di beberapa antologi bersama seperti FSIGB-Festival Internasional Gunung Bintan (2022); 100 Tahun Chairil Anwar (2022); HPI Perayaan Tanah puisi Masyarakat Jember (2022); Sanglah Hospital Bali, Suatu Hari Dari Balik Jendela Rumah Sakit (2021); Hari Puisi Sedunia (2022); Antologi Negeri Poci 12 Raja Kelana (2022). Pernah menjadi kategori puisi terbaik tingkat nasional oleh Penerbit Alqalam Batang dan Penerbit Salam Pedia (2021). Buku novel solonya berjudul Singgasana Cahaya (2016), antologi puisi Dalam Kata Aku Mencipta (2020).

Penulis: Riska Widiana

Editor: Neneng J.K.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan