Oleh Wilfridus Fon

 “Ini negara berpayung demokrasi, bukan militerisme dan fasisme!” ungkap Pak Thomas, hendak memulai pembicaraan di ruang rapat dengan suara keras nan menggelegar. Dia tampak serius. Mukanya memerah. Sorotan matanya pun tajam. Tampaknya, dia sama sekali tidak setuju dengan keputusan mayoritas peserta rapat.

Mendengar suara yang menggelegar dari kursi paling belakang itu, semua orang terdiam. Ruang rapat seketika hening. Semua wartawan yang sedang meliput persidangan mengarahkan kameranya ke muka Pak Thomas. Hanya Pak Thomas yang berani menolak UU TNI tersebut. UU TNI ini menjadikan militer sebagai pemain utama dalam politik dan memangku jabatan-jabatan sipil negara.

“Teman-teman terkasih, saya menolak UU TNI ini. Saya tidak ingin aparat militer memangku jabatan-jabatan sipil negara. Saya tidak sedang meremehkan kemampuan mereka di bidang politik. Tidak sama sekali. Saya hanya ingin agar mereka fokus pada kerja-kerja pertahanan negara dari ancaman eksternal,” tegas Pak Thomas.

“Jangan Anda menolak UU TNI ini. Ini mandat Presiden dan ketua-ketua partai. Ingat, Presiden kita itu berlatar belakang pendidikan militer. Apakah Anda ingin dibekuk? Dan, Saudara harus paham bahwa kita semua berada di bawah kendali ketua-ketua partai. Jadi, Anda harus berhati-hati dalam mengambil sikap. Anda mau jabatan Anda dicopot?” sanggah Pak Sugiono selaku pemimpin rapat.

“Pak Sugiono terkasih, saya berada di sini karena demokrasi. Tidak salah kalau saya menolak UU TNI atas nama demokrasi. Saya ingin memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi menjadi panduan keputusan kita. Dan, saya di sini juga mewakili rakyat. Saya dipilih bukan untuk mengabdi kepada Presiden dan ketua partai, tapi mengabdi kepada rakyat. Saya mengasihi Presiden dan ketua partai, tapi saya lebih mengasihi demokrasi dan kebenaran,” terang Pak Thomas.

Situasi semakin panas. AC dalam ruangan rapat serasa tidak berfungsi. Situasi tegang. Semua peserta rapat tampak serius. Hampir tidak ada yang berani membantah Pak Thomas setelah dia menanggapi Pak Sugiono. Sanggahannya kritis dan menohok.

“Pak Thomas, harusnya Anda mengikuti suara mayoritas. Kami semua bersepakat mendukung UU TNI. Lihat, kami tidak membantahnya sama sekali. Saya setuju dengan Pak Sugiono, kalau kebijakan ini adalah perintah Presiden dan ketua-ketua partai, karenanya harus disahkan segera,” kecam Ibu Ani dengan suara lantang dari pojok kanan setelah lima menit merenungkan protes Pak Thomas.  

Pak Thomas kaget dan heran mendengar pernyataan Ibu Ani. Hal ini memantik dia untuk kembali bersuara. Kali ini, dia berbicara sambil berdiri.

“Anda memaksa saya mengikuti suara mayoritas?” tanya Pak Thomas sambil tersenyum sinis.

“Bu, ini negara demokrasi. Legitimasi UU yang dibuat mesti didahului lewat diskursus demokratis, bukan atas kepatuhan buta dan dangkal terhadap atasan. Aneh sekali. Seharusnya, dalam persidangan ini kita mengevaluasi UU TNI lewat argumentasi rasional, bukan atas dasar kepentingan parsial. Emangnya, UU TNI sesuai dengan demokrasi atau tidak? Diskursus kita di sini mestinya menjawabi pertanyaan ini,” beber Pak Thomas sambil merebahkan bokongnya di kursi.

“Lalu, apa alasan Anda menolak UU TNI?” tanya Pak Sugiono dengan suara datar.

“Kepada kalian, para sahabat, tahukah kalian kenapa saya menolak UU TNI yang kalian putuskan? Karena saya merasa bahwa UU TNI potensial mengancam demokrasi. Kalau ingatan kolektif saudara-saudari tentang sejarah kelam bangsa ini telah hilang, saya tidak keberatan untuk menarasikannya kembali. Kita pernah ditindas oleh penguasa otoriter yang menjunjung militerisme dan fasisme. Semua kursi jabatan di pemerintahan waktu itu nyaris diduduki oleh aparat militer. Iklim politik pun berwatak militer. Partisipasi politik masyarakat termarginalkan. Kebebasan pers dibatasi. Suara-suara kritis oposisi, akademisi, dan organisasi-organisasi sipil lainnya dibungkam. Jika ada yang mengkritik pemerintah maka akan dibekuk dengan tangan besi negara dan senjata militer. Korupsi, kolusi, dan nepotisme nyaris tak terbendung. Mengenang sejarah kelam ini mestinya menjadi momen evaluasi dan kritik terhadap UU TNI ini agar kisah kelam dulu tidak terulang lagi di masa depan,” terang Pak Thomas secara perlahan.

“Sekali lagi, ini negara berpayung demokrasi. Demokrasi kita tidak lahir dari ruang kosong. Demokrasi yang sedang kita sanjung adalah kritik terhadap militerisme dan fasisme. Membiarkan aparat militer mendominasi arena politik di negara demokrasi adalah irasional. Secara kelembagaan, militerisme identik dengan kepemimpinan maskulin yang menekankan hierarki, kekerasan, dan kepatuhan. Militerisme sering menekan oposisi, membungkam kebebasan pers, dan membatasi partisipasi sipil dalam pemerintahan. Ini adalah ancaman nyata bagi tegaknya demokrasi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip etis menyangkut partisipasi, deliberasi, transparansi, dan akuntabilitas,” jelas Pak Thomas dengan suara lugas dan lantang disertai argumentasi yang kritis dan komprehensif.

“Sudahlah, Pak Thomas. Itu hanya spekulasi Anda. Semuanya tidak seperti yang Anda bayangkan. Kita harus ikut suara mayoritas. Suara mayoritas adalah kebenaran. Apalagi, ini perintah Presiden dan ketua-ketua partai. Kita harus patuh dan manut terhadap mereka,” ucap Pak Sugiono dengan yakin.

“Suara mayoritas tidak menjamin kebenaran bila telah dimabukkan oleh uang dan kekuasaan. Saya tidak mau terjebak dalam praktik politik pragmatis yang kotor dan memuakkan. Saya tetap ingin rasional di tengah kedangkalan berpikir mayoritas. Dengarkanlah perlawanan saya ini. Apabila kalian tetap bersikap seperti itu, maka inilah hari terakhir saya datang sebagai sahabat atau saudara kalian. Esok adalah hari di mana saya menjelma menjadi musuh kalian dan berdiri di barisan para pendemo yang akan bangkit menyorakkan keadilan. Karena saya tetap berjuang agar demokrasi tetap berjalan seratus persen,” bantah Pak Thomas dengan tegas, penuh amarah.

Demikian pernyataan penutup Pak Thomas sebelum keluar dari ruang rapat. Pak Sugiono, Ibu Ani, dan semua peserta rapat lainnya membiarkan Pak Thomas meninggalkan ruang rapat tanpa menahannya.

“Sikap Pak Thomas sangat ekstrem. Dia tidak takut pada atasan. Dia berani mengambil sikap. Apakah sosok seperti dia sangat dibutuhkan dalam panggung politik mutakhir atau tidak?” gumam Pak Sugiono dalam hati setelah melihat Pak Thomas meninggalkan ruang rapat sebelum waktunya. []

Wilfridus Fon. Mahasiswa IFTK Ledalero, Maumere.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan AI Bing Image Creator.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Wilfridus Fon

Editor: Asna Rofiqoh

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan