Oleh Rahmat M. Harahap
BAGAI mendengar ledakan bom Pak Taryono melihat berita di televisi pemerintah akan mengimpor beras. Mendadak dirinya gelisah. Tangannya meraih gelas kopi di samping kursi yang sudah disiapkan istrinya dari tadi sebelum dia balik dari masjid untuk salat Subuh. Tanpa disadari tangannya gemetar sambil matanya masih terus melihat ke televisi.
Ribuan petani di daerahnya akan panen raya dalam dua minggu ke depan, sekarang juga sudah ada yang mulai panen. Rencana impor beras ini pasti akan berpengaruh terhadap harga gabah. Panjang rentetan negatifnya kalau harga gabah turun dalam kondisi panen raya. Membayangkan akibat dari berita ini Pak Taryono sebagai ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang membawahi lebih enam puluh Kelompok Tani dengan jumlah anggota hampir dua ribu orang berpikir apa yang mesti dilakukan untuk mencegah tidak terjadi penurunan harga gabah. Dia langsung teringat Pak Kepala Dinas Pertanian Kabupaten, pembina mereka dalam menghadapi berbagai persoalan pertanian yang mereka hadapi. Pak Taryono bangkit dari duduk untuk mengambil hp-nya yang berada di dekat televisi kemudian mulai menelepon Pak Kepala Dinas.
Setelah berbasa-basi sebentar, Pak Taryono langsung bicara tentang berita yang meresahkannya. Pak Kepala Dinas yang belum tahu berita tersebut sangat terkejut mendengarnya. Sebagai pengambil kebijakan masalah pertanian di tingkat kabupaten dia sangat mengerti efek dari berita itu dan dia juga paham tidak banyak yang bisa dia perbuat untuk mencegah jatuhnya harga gabah petani karena berita itu. Tetapi, dia tetap harus melakukan action. Bapak Kepala Dinas Kabupaten mengatakan akan koordinasi dulu dengan Kepala Dinas Pertanian Provinsi.
Pak Taryono semakin tidak tenang. Matanya tidak terlepas dari hp yang ada di tangannya, menunggu Pak Kadis Kabupaten menelepon. Pak Taryono gelisah seperti itu sebenarnya bukan karena memikirkan dirinya. Tetapi karena memikirkan petani lain yang jadi anggotanya. Bagi Pak Taryono mau harga gabah naik atau turun tidak terlalu pengaruh karena dia masih punya sumber penghasilan dari kebun sawit. Namun, kebanyakan anggota kelompok taninya yang menyandarkan penghasilan utamanya dari menanam padi. Akan banyak imbas dari turunnya harga gabah, apalagi kalau turunnya sampai di bawah biaya produksi. Efeknya akan terasa sampai pada beberapa musim tanam berikutnya, karena petani rugi tidak bisa membayar biaya sarana produksi yang dipakainya ke koperasi atau toko tani. Utang akan bertumpuk, karena uang penjualan akan dipakai untuk keperluan sehari-sehari demi kelangsungan hidup keluarganya. Atau ada juga yang tidak menanam padi lagi pada musim tanam berikutnya, memilih menanam komoditi bukan padi atau pergi mencari kerja lain dan sawahnya disewakan.
Hp Pak Taryono berbunyi, Pak Kadis yang menelepon. Cepat-cepat Pak Taryono mengangkatnya, “Iya, Pak Kadis.”
“Begini, Pak Tar, saya sudah koordinasi dengan Bapak Kepala Dinas Pertanian Provinsi. Kebetulan besok ada kunjungan kerja Komisi IV DPR Pusat dalam masa reses ke Provinsi, komisi ini yang menangani pertanian. Beliau mengundang kita hadir di pertemuan tersebut supaya kita bisa menyampaikan langsung permasalahannya kepada anggota DPR pusat. Pak Tar bisa?” tanya Pak Kadis Kabupaten.
Tidak pikir panjang Pak Taryono langsung menjawab bisa karena dia melihat setitik harapan dengan adanya pertemuan itu.
“Sebagusnya diajak beberapa orang pengurus lain, Pak Tar. Kita berangkat siang nanti. Jadi, malam ini kita nginap di sana supaya besok rapat lebih segar,” sambung Pak Kadis di telepon. Dari daerah mereka ke ibu kota provinsi perlu enam jam kalau bawa mobil sendiri.
“Siap, Pak Kadis, saya akan bawa mobil sendiri dengan beberapa pengurus Gapoktan,” sahut Pak Taryono. Setelah itu Pak Taryono menelepon Sekretaris dan Bendahara Gapoktan serta satu orang anggota yang biasa menyetir mobil Pak Taryono ikut rapat ke Ibu Kota Provinsi sore ini. Kemudian Pak Taryono memberi tahu istrinya minta disiapkan pakaian dan keperluan lain.
Pagi di Dinas Pertanian Provinsi, sebelum rapat dengan Komisi IV DPR Pusat jam sepuluh di Aula Pertemuan Kantor Gubernur, Kepala Dinas Kabupaten membawa rombongan Pak Taryono beserta pengurus Gapoktan menemui Bapak Kepala Dinas Pertanian Provinsi di kantornya. Sekarang mereka menunggu di ruang tamu.
“Assalamualaikum. Selamat pagi. Aduh, saya mohon maaf Bapak-bapak jadi menunggu lama,” kata Pak Kepala Dinas Provinsi begitu keluar dari ruang kerjanya sambil menyalami mereka satu per satu. Ketika tiba giliran bersalaman dengan Pak Taryono, Pak Kepala Dinas Provinsi menyapa dengan senyumnya yang khas dan keramahan yang tulus.
“Apa kabar, Pak Tar, pejuang pangan yang kami banggakan?”
Pak Taryono hanya senyum tipis menanggapi sapaan Pak Kadis. Kali ini dia tidak terlalu bangga disapa seperti itu. Bahkan, ada rasa getir di hatinya mendengar ucapan Pak Kadis tersebut. Walau sapaan itu dia yakin adalah rasa bangga Bapak Kepala Dinas Pertanian Provinsi terhadap berbagai prestasi yang dicapai Gapoktan yang diketuai oleh Pak Taryono selama ini. Gapoktan Pak Taryono adalah Gapoktan andalan Dinas Provinsi dan Kabupaten untuk mencapai surplus produksi gabah.
Pak Kadis mempersilahkan mereka semua untuk duduk dan dia sendiri mengambil tempat duduk di kursi yang berada ditengah diujung rombongan. Kemudian, tanpa banyak basa basi Pak Kepala Dinas Provinsi menjelaskan maksud dia mengajak Pak Kepala Dinas Kabupaten dan Gapoktan untuk ikut menghadiri rapat dengan Komisi IV DPR Pusat.
“Sepertinya Yang Maha Kuasa memberi kesempatan buat kita kali ini untuk dapat menyampaikan permasalahan yang kita hadapi kepada pembuat kebijakan. Nanti di rapat saya akan menyampaikan efek dari berita Pemerintah akan melakukan impor beras di saat kondisi petani mau panen raya. Pak Kepala Dinas Kabupaten menambahi dan yang lebih penting Pak Taryono yang mewakili petani omongkanlah semua apa yang mau disampaikan,” kata Pak Kadis Provinsi.
Kursi di Ruang Aula Bina Praja kantor Gubernur tidak terisi semua dalam menyambut kunjungan kerja Komisi IV DPR Pusat dalam masa reses kali ini. Dari Komisi IV yang hadir ada empat belas orang, masing-masing fraksi ada yang mewakili dan ada beberapa fraksi yang diwakili dua dan tiga orang. Mitra Kerja dari pusat yang ikut mendampingi ada dari Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional dan Bulog. Serta yang diundang dari Provinsi adalah Organisasi Perangkat Daerah yang merupakan perpanjangan mitra dari pusat ada Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan juga Bulog Wilayah setempat. Serta ada beberapa pelaku usaha pertanian dan Dinas Pertanian Kabupaten tempat Pak Taryono serta Pak Taryono dengan kawan-kawannya.
Tepat jam sepuluh rapat dimulai yang dibuka oleh Pak Sekda Provinsi. Setelah mengucapkan selamat datang dan kata-kata sambutan lainnya Pak Sekda mempersilahkan pimpinan rombongan dari Komisi IV untuk memimpin rapat.
Pimpinan rapat menjelaskan bahwa Komisi IV yang kunjungan kerja hari ini dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok yang dua lagi bertemu dengan mitra yang lain yaitu satu kelompok dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Badan Gambut. Kelompok satu lagi dengan mitra yang mengurus Kelautan dan Perikanan. Dibagi seperti itu supaya efektif dan efesien karena waktu mereka sangat terbatas.
Kemudian pimpinan rombongan mengatakan maksud kunjungan kerja mereka kali ini lebih memfokuskan masalah pangan khususnya beras karena ada rencana pemerintah untuk melakukan impor beras. Jadi mereka harus menyerap suara dari bawah tentang layak tidaknya pemerintah melakukan impor beras. Pak Taryono mendengar dengan saksama semua penjelasan Pimpinan Rombongan Komisi IV ada secercah harapan di hatinya bahwa rencana impor beras pemerintah ini tidak akan jadi. Walaupun dia tidak bisa menjamin harga gabah mulai besok atau beberapa hari ke depan tidak turun. Karena berita impor beras itu jadi bola liar yang bisa dipergunakan pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan.
Pak Taryono mulai merasa urusan rencana impor beras ini jadi ribet ketika yang mewakili dari Kementerian Pertanian mulai bicara yang mengatakan bahwa impor beras ini bukan kewenangan Kementerian Pertanian tapi kementerian Perdagangan. Kementerian Pertanian hanya mengeluarkan rekomendasi. Hal ini disambut Pimpinan Rombongan DPR dengan mengatakan akan koordinasi dengan Komisi yang bermitra dengan perdagangan setelah pulang ke Jakarta untuk membahas ini. Pak Taryono terpikir berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk membahas ini.
Ketika Pak Kepala Dinas Provinsi diberi kesempatan untuk berbicara, Pak Kepala Dinas menjelaskan bahwa dalam dua bulan kedepan lebih kurang lima ratus ribu hektar sawah akan panen di Provinsi ini. Kalau diratakan produksi per hektarnya lima ton, akan ada dua juta lima ratus ton gabah yang dihasilkan. Jadi, untuk apa dilakukan impor. Bukankah ini sudah bisa dijadikan stok pangan. Belum lagi dari provinsi lain. Sehingga, menurut Kepala Dinas Pertanian Provinsi, negara tidak perlu melakukan impor beras.
Pernyataan Kepala Dinas Provinsi semakin diperkuat oleh Kepala Dinas Kabupaten bahwa di kabupaten mereka akan ada kurang lebih delapan puluh lima ribu hektar yang sedang dan akan panen. Biasanya, jangankan impor beras, isu impor beras itu saja sudah berpengaruh pada harga jual gabah petani. Yang sangat disesalkan, kenapa rencana impor itu dikatakan di saat sebagian besar petani di negeri ini akan panen. Apakah ini ada unsur kesengajaan. Kata Kepala Dinas Kabupaten agak keras, membuat semua peserta rapat terdiam.
“Bapak-bapak dan Ibu-ibu peserta rapat yang saya hormati. Di sini kami bersama dengan salah seorang Ketua Gapoktan yang mengalami langsung akibat dari adanya rencana impor beras. Mohon diberi kesempatan pada beliau untuk menyampaikan sesuatu,” ujar Pak Kepala Dinas Kabupaten dan dipersilakan oleh Pimpinan Rapat.
Pak Taryono berdiri dari kursinya. Menerima mikrofon yang disodorkan panitia. Sesaat matanya mengitari seluruh peserta rapat yang hadir. Kemudian mulai bicara.
“Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang kami hormati. Keinginan kami para petani sebenarnya sangat sederhana. Kami bisa bertanam sesuai musimnya. Benihnya tersedia, pupuknya ada dan ketika kami panen ada yang membelinya dengan harga yang masih memberikan keuntungan pada kami. Keuntungan yang kami inginkan tidak banyak-banyak, cukup untuk bisa menyekolahkan anak-anak kami. Kalau kami sakit ada uang untuk biaya berobat. Sukur-sukur bisa menabung untuk naik haji.” Pak Taryono tersenyum getir.
“Tapi sering keinginan kami yang sederhana itu diganggu oleh hal-hal sederhana tapi sangat mematikan buat kami. Seperti keadaan saat ini, ketika kami akan panen raya tiba-tiba ada isu pemerintah akan melakukan impor beras. Isunya hanya impor tapi akan berimbas luar biasa kepada kami karena isu ini akan menyebabkan secara perlahan tapi pasti harga gabah turun. Jika harga gabah jatuh apalagi sampai di bawah produksi maka kami akan rugi.” Lanjut Pak Taryono. Ruangan rapat senyap. Semua mata tertuju pada Pak Taryono.
“Oleh karena itu, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat. Tolonglah, apapun upayanya dan bagaimanapun caranya, kami mohon jangan dilakukan impor dan di stop isu tentang impor beras ini,” tutup Pak Taryono.
Pimpinan rapat langsung merespon permintaan Pak Taryono dengan mengatakan pada Bulog setempat untuk dapat membeli gabah petani yang mulai panen. Pihak Bulog menjawab bahwa mereka sudah mulai mengadakan pembelian gabah dari petani, tapi mereka tidak akan bisa membeli semua karena anggaran yang terbatas.
Akhirnya, rapat ditutup dengan satu keputusan penting bahwa Komisi IV akan mengusahakan semaksimal mungkin tidak terjadi impor beras dan menghentikan segala isu tentang impor beras.
Pak Taryono percaya bahwa Bapak-bapak dan Ibu-ibu anggota DPR Pusat itu akan bisa mencegah tidak dilakukan impor beras oleh pemerintah dan menghentikan segala isu tentang impor beras. Dengan perasaan lega rombongan Pak Taryono dengan Kepala Dinas Kabupaten pulang.
Setiap pagi setelah rapat itu Pak Taryono dengan harap-harap cemas selalu berada di depan televisi menunggu Bapak-bapak yang terhormat muncul mengumumkan tidak jadi impor beras. Akan tetapi, baru setelah dua minggu di pagi yang berkabut, apa yang ditunggu-tunggu Pak Taryono muncul. Ketua Komisi IV, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Kepala Bulog dan ada beberapa pejabat lagi tampil di televisi dengan wajah-wajah semringah mengumumkan bahwa pemerintah tidak akan melakukan impor beras karena melindungi para petani kita. Wajah-wajah yang merasa menjadi pahlawan buat para petani di negeri ini.
Pak Taryono melihat berita itu dengan mata nanar. Perlahan ada kemarahan yang timbul di dadanya dan mengalir ke tangannya yang bergetar memegang gelas kopi seakan ingin meremukkannya. Untuk apa lagi kebijakan itu setelah semua padi mereka terpaksa dilepas ke tangan tengkulak dengan harga murah, karena tidak ada pilihan lain. Dibiarkan di sawah, tidak di panen padi akan rusak. Di panen pun tidak bisa mereka simpan lama-lama, karena mereka tidak punya gudang yang memadai untuk menyimpannya.
Palembang, Mei 2024
Rahmat M. Harahap. Lahir di kota Padangsidimpuan, Sumatra Utara. Sejak tahun 1995 sampai sekarang tinggal di Palembang. Tulisannya berupa cerpen dan puisi telah dimuat di surat kabar yang terbit di Kota Medan, Palembang, dan Jakarta. Buku kumpulan cerpennya berjudul Pembunuh Ibu telah diterbitkan tahun 2023.
Penulis: Rahmat M. Harahap
Editor: Ayu K. Ardi