Padang Panjang
Padang Panjang sebuah kota kecil di Sumatra Barat yang kaya akan keindahan alam, budaya, dan kuliner, membuat siapa pun yang datang betah dan merasa seperti pulang ke rumah sendiri.

Oleh Muhammad Subhan
ADA yang menulis nama kota ini satu kata: Padangpanjang. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI menulisnya dua kata: Padang Panjang. Sebuah kota kecil di Sumatra Barat. Terkenal dengan sebutan Kota Serambi Makkah.
Nah, kalau Tuan datang ke Padang Panjang, singgahlah sebentar. Nikmati sudut-sudut kotanya. Tuan akan takjub. Dan bisa pulang membawa setumpuk kenangan.
Kalau Tuan datang dari arah Padang, begitu sampai di batas kota, berbeloklah ke kanan. Tak jauh dari situ, Tuan akan sampai di tempat pemandian yang indah. Namanya Minangkabau Fantasi. Lanskap alamnya memesona.
Sebelum masuk pemandian, ada rumah gadang besar. Ramai dikunjungi wisatawan. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Rumah gadang itu difungsikan sebagai Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Di dalamnya tersimpan manuskrip dan arsip penting. Tentang potret orang Minang masa lampau.
Kalau hati sudah senang, Tuan jangan langsung pulang. Berjalanlah lagi ke jalan raya. Lurus sedikit. Tuan akan sampai ke lepau kuliner legendaris. Sate Mak Syukur.
Konon, presiden, pejabat, dan pembesar-pembesar negeri pernah singgah di lepau ini. Melepas lelah. Sambil menyeruput teh telur. Ditemani angin sejuk dari Tandikek dan Singgalang. Kabut dan rinai membuat mata Tuan terbuai.
Selain Sate Mak Syukur, masih banyak lepau lain. Di pusat kota ada pasar kuliner. Lengkap. Segala makanan khas Padang Panjang tersedia di sana.
Dari lepau tadi, kalau sudah kenyang, teruslah Tuan berjalan. Lurus sedikit. Belok ke kiri. Mampirlah ke pesantren putri termegah. Namanya Diniyyah Puteri.
Perempuan hebat banyak dilahirkan dari pesantren ini. Ada yang jadi tokoh. Ada yang jadi pendamping tokoh. Didirikan oleh Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah. Satu-satunya perempuan Padang Panjang bergelar Syekhah dari Universitas Al Azhar, Kairo.
Dekat dari situ ada pesantren lain. Perguruan Thawalib. Untuk santri putra. Dua pesantren itu berdampingan. Masing-masing punya ciri khas.
Tak jauh dari situ, ada Surau Jembatan Besi. Dikenal dengan nama Jembes. Sekarang sudah jadi masjid. Namanya Masjid Zu’ama. Dulu, tempat berkumpulnya kaum muda. Guru besarnya Syekh Inyiak D.R.—ayah dari Buya Hamka. Juga tempat Zainuddin Labai belajar. Ulama dan pengarang yang menguasai enam bahasa.
Kalau siang datang, cuaca Padang Panjang sedikit terik. Tapi tetap sejuk. Angin dari gunung menyegarkan.
Kalau ingin mandi, beloklah ke kanan. Tuan akan sampai ke Lubuk Matakucing. Lubuk berair jernih, berbatu. Airnya dingin, merasuk tulang. Sumbernya dari Gunung Singgalang.
Dulu, HAMKA muda sering duduk di sana. Bermenung. Mencari inspirasi menulis.
Kalau sudah segar, kembalilah Tuan ke pusat kota. Lurus ke tengah pasar. Kalau perut lapar, mampirlah ke Lepau Gumarang. Rumah makan legendaris.
Dulu, ada Meja Satu di lepau itu. Disebuat Meja Satu, kursinya diduduki tokoh-tokoh kota. Tempat berota. Tentang kota. Tentang kepemimpinan. Tentang masa depan.
Selain Gumarang, banyak rumah makan lain. Tuan bebas memilih. Menunya lezat-lezat juga.
Kalau waktu salat tiba, mampirlah ke Masjid Jihad. Masjid raya kota ini. Di tengah pasar. Didirikan oleh Syekh Adam Balai-Balai. Dulu beliau seorang parewa. Orang bagak. Tapi akhirnya jadi ulama besar. Orang-orang segan kepadanya.
Tak jauh dari masjid, ada bukit menjulang. Bukit Tui, namanya. Di kakinya, batu kapur ditambang. Dulu, asap dari tungku kapur mengepul. Udara agak kotor. Tapi kini sudah tidak lagi.
Di masa lampau, di zaman kolonial, kapur dari bukit ini diangkut pakai rel kereta api. Mak Itam menarik gerbongnya. Dibawa ke Emmahaven, sekarang Teluk Bayur. Dijual ke Eropa. Syukurlah kini negeri sudah merdeka.
Kalau Tuan belum ingin pulang, mampirlah ke Institut Seni Indonesia (ISI). Satu dari dua sekolah seni di Sumatra. Dulu satu-satunya sebelum ada ISBI di Aceh. Di ISI, kalau ada pertunjukan, tontonlah. Ada tari. Ada musik. Ada teater, film, dan lukisan. Menghibur, tentunya.
Di kota ini, Tuan tak harus bawa oto sendiri. Tumpang saja ojek pangkalan. Atau ojek online. Dulu masih ada bendi. Ditarik kuda. Kusirnya suka berpantun. Lucu pula. Kalau tali lecut jatuh, dia tergopoh-gopoh mengambilnya.
Dari atas bendi, pemandangan kota tampak rancak. Tapi bendi kini jarang terlihat. Zaman menggilasnya. Kalah bersaing dengan oto bermesin.
Kalau jam pulang sekolah, jalanan semarak. Anak-anak berseragam beriring di trotoar. Ramai. Senyum mereka semringah. Sekolah di kota ini cukup banyak. Umum dan agama. Salah satunya SMA Negeri 1. Bekas peninggalan Belanda. Gedungnya masih awet. Jendela dan pintunya tinggi besar.
Setelah puas berjalan, mampirlah ke Bancahlaweh, di kaki Bukit Tui. Ada lapangan pacu kuda. Kadang dihelat pacuannya. Orang berbondong-bondong datang. Ramai sekali.
HAMKA menjadikan lapangan ini sebagai latar kisah Zainuddin dan Hayati. Sepasang kekasih yang cintanya tak sampai dalam novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijk. Kisah yang bikin pembaca menitikkan air mata. Sudah difilmkan pula.
Kalau hari sudah senja, dan Tuan ingin berpesiar ke Bukittinggi, jangan lupa singgah di Aie Angek. Minumlah Kopi Kawa Daun di sana. Enaknya, amboi. Apalagi dicampur susu. Atau ditemani lemang tapai dan durian.
Tapi hati-hati, Tuan. Marapi belum pulih. Masih sering batuk. Sering erupsi. Semoga tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Di Aie Angek itu, ada Rumah Puisi Taufiq Ismail. Kini telah menjadi Museum Sastra Indonesia. Di depannya, Rumah Budaya dan Aie Angek Cottage. Pemandangan di sekelilingnya indah. Apalagi kalau rinai dan kabut turun dari pinggang Singgalang. Novel saya, Rinai Kabut Singgalang, di Rumah Puisi itu saya tulis. Tahun 2009.
Kalau Tuan lapar lagi, cobalah Soto Pak Sep. Lepaunya tak jauh jaraknya dari Rumah Puisi. Aroma sotonya sedap nian. Kalau ditambah kerupuk jangek, rasanya makin lezat. Gurih dan renyah. Lado-nya, berpeluh Tuan memakan.
Kalau Tuan benar-benar belum ingin pulang ke daerah asal Tuan, dan balik ke Padang Panjang, Tuan bisa bermalam di homestay. Banyak homestay di Kubu Gadang. Desa wisata. Penginapannya asri. Menghadap sawah. Harganya murah. Tuan juga bisa mencicipi kuliner tradisional khas Kubu Gadang.
Begitulah, Tuan. Padang Panjang bukan kota biasa. Di sini, alamnya sejuk. Warganya ramah. Sejarah, seni, dan agama hidup berdampingan.
Kota kecil ini menyimpan banyak cerita. Banyak kenangan. Penuh makna. Penuh warna. Tak cukup selembar dua lembar kertas saya tuliskan.
Di lain hari, datanglah Tuan lagi ke Padang Panjang. Nikmati udara bersihnya. Sejuk air jernihnya. Jelajahi lebih dalam kampung-kampungnya. Di sini, Tuan bukan sekadar tamu. Tuan akan merasa pulang ke rumah sendiri. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah