Nyepi

Dalam diam, manusia mendengar dirinya; dalam sepi, manusia menemukan makna.

Oleh Muhammad Subhan

HIDUP ini butuh nyepi. Butuh jeda. Butuh ruang sunyi untuk kembali menata hati.

Manusia terus bergerak. Langkah-langkahnya terburu. Mata sibuk menatap layar. Telinga dipenuhi suara dunia. Hati penuh sesak oleh kegelisahan. Pikiran terhimpit tuntutan.

Nyepi adalah ruang kosong yang diciptakan untuk jiwa. Sebentuk perayaan sunyi agar kita lebih mengenal diri. Lebih mendekat pada Tuhan.

Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu menengok ke dalam. Dari mana kita datang, di mana kita sekarang, dan ke mana esok kita akan pulang?

Dalam agama Hindu, Nyepi adalah perayaan suci. Ruang untuk menyepi dalam arti sesungguhnya. Tidak ada nyala api. Tidak ada langkah keluar rumah. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada pekerjaan yang mengalihkan diri.

Hanya keheningan. Hanya diri dan renungan.

Empat pantangan Nyepi mengajarkan tentang kesederhanaan. Tidak menyalakan api, sebab nafsu harus dikendalikan. Tidak bekerja, sebab dunia akan tetap berputar tanpa kita. Tidak bepergian, sebab rumah adalah tempat kembali. Tidak bersenang-senang, sebab bahagia sejati tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam.

Nyepi adalah jalan mulia. Jalan menuju kesadaran.

Manusia membersihkan diri dari masa lalu. Mengikis dosa-dosa yang melekat. Menyucikan hati agar siap menghadapi hari baru.

Dalam diam, kita merenung. Dalam sepi, kita meminta ampun. Dalam hening, kita mendengar suara Tuhan.

Tetapi Nyepi bukan hanya milik Hindu. Nyepi adalah ajaran universal.

Dalam Islam, misalnya, ada tahajud di tengah keheningan malam. Sebentuk nyepi untuk mendekat kepada Ilahi. Ada Ramadan, nyepi dari segala yang membatalkan puasa. Ada thuma’ninah dalam salat, nyepi sejenak agar gerak dan doa lebih khusyuk.

Dalam Buddha, ada meditasi, menepi dari hiruk-pikuk dunia. Dalam Kristen, ada retret, menyendiri untuk lebih mengenal Tuhan.

Dalam tradisi sufi, ada khalwat, mengasingkan diri demi mencapai kebeningan batin.

Nyepi adalah kesadaran bahwa hidup tidak hanya tentang bergerak, tetapi juga berhenti.

Tidak hanya tentang suara, tetapi juga diam.

Tidak hanya tentang dunia luar, tetapi juga dunia dalam.

Manusia adalah pejalan. Tetapi seorang pejalan tidak akan pernah benar-benar tahu jalan jika tidak berhenti sejenak untuk membaca peta.

Tanpa nyepi, kita hanya melangkah tanpa arah. Tanpa nyepi, kita lupa untuk pulang ke diri sendiri.

Terkadang, dunia terasa begitu bising. Pikiran dipenuhi suara-suara yang saling bertabrakan. Keinginan dan ketakutan beradu dalam dada.

Kita butuh nyepi untuk mendengar hati sendiri. Kita butuh nyepi untuk memahami ke mana langkah harus diarahkan.

Dan, Langit pun mengenal nyepi. Matahari tenggelam setiap sore, memberi waktu bagi bumi untuk beristirahat.

Laut pun mengenal nyepi. Ombak surut sebelum datang pasang.

Alam mengenal nyepi, sebab kehidupan tidak bisa terus bergerak tanpa jeda.

Dalam dunia yang serba cepat, nyepi adalah perlawanan. Perlawanan terhadap kegaduhan yang membuat kita lupa akan diri sendiri. Perlawanan terhadap rutinitas yang membuat kita kehilangan makna hidup. Perlawanan terhadap kesibukan yang membuat kita jauh dari Tuhan.

Nyepi bukan sekadar diam. Nyepi adalah perjalanan.

Perjalanan ke dalam diri. Perjalanan yang membawa kita menemukan ketenangan sejati. Perjalanan yang membuat kita mengerti bahwa dunia bisa menunggu, tetapi jiwa tidak.

Dalam diam, kita mendengar. Dalam sepi, kita menemukan. Dalam hening, kita kembali menjadi manusia seutuhnya.

Maka, ambillah waktu untuk nyepi. Setidaknya sekali dalam hidup.

Duduklah dalam sunyi. Renungkan jalan yang telah ditempuh. Tanyakan pada diri sendiri: ke mana langkah akan dibawa esok?

Sebab hidup bukan sekadar berjalan, tetapi juga pulang. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan