Nilam Cayo dan Jalan Hidup dari Literasi

Nilam Cayo membuktikan bahwa dari rumah pun, seorang ibu rumah tangga bisa sukses dan mandiri lewat kekuatan kata-kata.

Oleh Muhammad Subhan

DI NAGARI Kumanis, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat, saya mengenal sosok perempuan yang gigih dan inspiratif. Namanya Desi Guswita, S.Pd., tetapi di dunia kepenulisan ia lebih populer dengan nama pena Nilam Cayo.

Ia seorang ibu rumah tangga yang berhasil mengubah hobi menulis menjadi sumber penghidupan. Dan, dalam amatan saya, ia benar-benar sukses.

Saya mengenalnya pertama kali pada 2019 di Ruang Baca Rimba Bulan Padang Panjang, ketika ia datang membawa novel karyanya dan mengajak berdiskusi. Waktu itu, saya melihat semangat luar biasa dalam dirinya. Menulis baginya bukan sekadar hobi, tetapi jalan hidup yang bisa membawa perubahan besar.

Nilam memulai perjalanan menulis sejak duduk di bangku STM. Ia suka menulis puisi tentang kota kelahirannya, Sawahlunto. Namun, perjalanan seriusnya di dunia novel baru dimulai sekitar tahun 2018, setelah ibunya meninggal dunia dan ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya di sebuah BUMN.

Saat itu, Nilam merasa hidupnya kosong. Untuk mengisi waktu, ia mencoba berjualan peyek dan baju secara online, tetapi hatinya terasa tidak di sana. Suatu hari, ia membuka kembali catatan lamanya, sebuah diary masa SMP yang penuh coretan perasaan dan mimpi. Dari sanalah api menulis itu menyala lagi.

Nilam sadar, menulis membuat dirinya merasa hidup kembali. Dan, sejak itu, Nilam menulis setiap hari. Di ruang tamu, di teras rumah, di dapur, bahkan di warung kopi tempat sinyal internet lumayan kuat, ia bisa menulis berjam-jam.

Laptop selalu dibawanya ke mana pun. “Kalau tidak menulis sehari saja, rasanya seperti kehilangan sesuatu,” ujarnya sembari tersenyum.

Awalnya, ia menulis novel-novel bernuansa religi dan motivasi. Beberapa karyanya sempat diterbitkan dalam bentuk buku cetak dengan nama pena sebelumnya: Desi Kirana Aza. Ada sembilan judul yang sempat beredar. Namun, pendapatan dari buku cetak, akunya, ternyata tidak seberapa, malah sering tak terjual. Honor penulis kecil, penjualan pun terbatas.

“Saya sempat hampir putus asa dan berhenti menulis,” katanya jujur. Tapi hidup memang sering punya rencana lain.

Titik balik datang ketika ia mengenal platform digital seperti Fizzo, Wattpad, dan Webnovel. Dunia baru itu membuka cakrawala luas: menulis bukan hanya bisa dibaca banyak orang, tapi juga bisa menjadi sumber penghasilan yang nyata.

“Menulis di platform digital itu seperti berburu rusa di rimba belantara,” ceritanya. “Kita ditantang untuk menulis setiap hari dengan jumlah kata tertentu. Tidak ada waktu bermalas-malasan.”

Dan benar saja, dari ketekunan itu, novel digitalnya berjudul Dinikahi Bocah Tengil meledak di pasaran pembaca daring. Cerita itu viral, dibaca jutaan kali, dan membuat namanya melambung di antara penulis digital Indonesia.

Berapa pendapatannya?

Tak disangka, dari menulis di platform digital ia mengantongi cuan mendekati angka satu miliar rupiah sejak tahun 2021 hingga sekarang. Sebuah angka yang fantastis, sulit dibayangkan, bahkan untuk profesi penulis di negeri ini. Dari uang menulis itu, ia bisa melaksanakan umroh ke Tanah Suci, memperbaiki rumah, dan menyekolahkan anak-anaknya dengan lebih baik.

Namun, yang paling menarik bagi saya bukan semata kisah sukses finansialnya, melainkan etos kerja dan keyakinan yang ia tanamkan. Nilam tidak pernah melihat status “ibu rumah tangga” sebagai penghalang untuk berkarya. Justru dari rumah, di tengah kesibukan memasak dan mengurus anak, ia membangun dunia kata demi kata, bab demi bab.

“Saya yakin bisa hidup dari menulis,” ujarnya tegas. Keyakinan itu terbukti benar.

Dalam setiap percakapan kami, Nilam selalu menekankan bahwa menulis di era digital bukan hanya soal karya, tapi juga soal membangun koneksi dan memahami pasar pembaca. Ia belajar menganalisis tren bacaan, gaya narasi yang digemari pembaca milenial, dan memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi langsung dengan mereka. Ia sadar, penulis zaman sekarang bukan hanya pencipta cerita, tetapi juga manajer bagi karyanya sendiri.

Ia juga rajin berbagi pengalaman kepada penulis pemula, baik lewat komunitas maupun workshop. Katanya, “Gabung dengan komunitas penulis itu penting. Di sana kita belajar, saling menyemangati, dan membuka peluang kolaborasi.” Ia percaya, menulis bukan sekadar urusan bakat, melainkan soal disiplin dan konsistensi.

Setiap hari ia menulis minimal dua ribu kata, bahkan saat sakit atau sedang bepergian. “Saya tidak mau kehilangan momentum,” katanya.

Bagi Nilam, keberhasilan bukanlah keberuntungan semata. Ia hasil dari kerja keras, ketekunan, dan kesediaan untuk terus belajar. Ia tidak takut menerima kritik, bahkan mencari kritik yang membangun.

“Kalau kita berhenti belajar, kita akan ketinggalan,” ucapnya.

Ia selalu mengikuti perkembangan dunia kepenulisan digital, memahami sistem royalti, dan menjaga hak cipta agar karyanya tetap terlindungi.

Kini, nama Nilam Cayo sudah dikenal di berbagai komunitas literasi digital. Banyak penulis muda yang menjadikannya inspirasi. Dari sebuah kampung kecil di Kumanis, Sumpur Kudus, ia membuktikan bahwa literasi bisa mengubah hidup. Ia menulis bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk menggerakkan semangat perempuan-perempuan lain agar berani berkarya dari rumah.

Ketika saya berkunjung ke Kumanis pekan lalu, ia begitu semangat bercerita tentang perjalanannya sebagai penulis. Bahkan, ketika saya menjadi narasumber workshop menulis fiksi di Rumah Edukasi Kumanis, dan ia sebagai moderatornya, Nilam begitu asyik mengetik cerita-ceritanya di layar laptop di meja.

“Saya buka workshop ini dan nanti izin saya kerja ya, Bang,” ucapnya sembari tertawa. Kerja, yang dia maksud adalah mengetik tulisan-tulisannya yang akan tayang pada hari itu di sebuah platform digital tempat ia bertumbuh.

Menjelang pulang, di akhir perbincangan, saya bertanya kepada Nilam apa makna menulis baginya? Seberapa penting menulis bagi seorang Nilam?

Dan, ia singkat menjawab, “Menulis adalah napas saya. Dari menulis saya belajar sabar, ikhlas, dan bersyukur. Dari menulis pula saya bisa melihat dunia lebih luas tanpa harus meninggalkan rumah.”

Jawaban sederhana yang begitu bersahaja. Dan, saya percaya, kalimat itu adalah kunci seluruh perjalanan hidupnya.

Sukses terus, Nilam Cayo. Tetap menjadi inspirasi bagi penulis-penulis muda masa depan Indonesia. Tabik. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, pendiri Sekolah Menulis elipsis.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan