Narsistik
Narsistik adalah gangguan kepribadian yang ditandai oleh kecintaan berlebihan pada diri sendiri dan kurangnya empati terhadap orang lain.

Oleh Muhammad Subhan
Hari ini, 11 Mei. Hari Kesadaran Ego Sedunia. Hari untuk berkaca. Bukan pada cermin yang memantulkan rupa, melainkan pada batin yang kerap terbelah.
Apakah kita telah menjadi pelaku? Atau korban dari narsisme yang halus merayap?
Di era media sosial yang hiruk, di tengah parade selfie dan sanjungan palsu, kita lupa: siapa sebenarnya kita?
Dari mana kita datang. Di mana kita sekarang. Ke mana esok kita akan pulang?
Narsistik. Kata yang cantik tapi menusuk. Muncul dari mitologi Yunani. Narcissus, pemuda tampan yang jatuh cinta pada bayangan dirinya sendiri. Lalu mati tenggelam dalam genangan cinta palsu.
Begitu pula kita hari ini. Tenggelam dalam citra. Dalam like. Dalam komentar penuh puja-puji.
Kita haus pengakuan. Lapar sorotan. Dan kehilangan empati.
Menurut psikologi, narsistik ada dua wajahnya. Pertama, sebagai sifat. Ringan. Masih bisa ditertawakan. Suka pamer. Suka dipuji. Merasa paling benar.
Kedua, sebagai gangguan. Narcissistic personality disorder atau dikenal sebagai NPD. Pola pikir dan perilaku yang ekstrem. Merusak hubungan. Merusak cinta. Merusak kejujuran.
Gejalanya mencolok: Merasa istimewa. Ingin disanjung tanpa henti. Mengabaikan perasaan orang lain. Manipulatif. Iri, tapi merasa diirikan. Menganggap diri poros segalanya.
Lalu, kita bertanya: Apakah ini hanya soal kepribadian? Atau ini luka kolektif zaman?
Kita hidup dalam kebisingan narsisme. Dari kantor sampai layar ponsel. Dari meja makan hingga ruang sidang.
Narsisme tidak hanya di dalam diri. Ia menjelma sistem. Menjelma budaya.
Lihatlah mereka yang berkuasa. Bersuara demi rakyat, tapi membungkam yang lemah. Lihatlah mereka yang kaya. Bederma untuk dipotret. Lihatlah mereka yang terpelajar. Berkarya demi pujian, bukan kejujuran.
Narsistik tidak mengenal profesi. Ia mengendap di balik gelar. Di balik jabatan. Bahkan, di balik niat baik.
Dan yang paling mengerikan dari semua itu: Narsistik mengeringkan kemanusiaan. Ia menjadikan manusia makhluk tunggal. Individualis. Yang tak peduli luka sesama. Yang membunuh empati pelan-pelan.
Narsistik juga muncul dari sikap egois.
Egois. Kata yang lebih tajam dari ego. Ia bukan sekadar kesadaran diri. Ia kerakusan atas nama “aku”.
Apa dampaknya?
Pertama, hubungan rusak. Cinta jadi transaksional. Persahabatan jadi panggung kompetisi.
Kedua, masyarakat retak. Kebersamaan menguap. Solidaritas jadi kata mati.
Ketiga, bumi pun menderita. Eksploitasi demi gengsi. Lupa bahwa tanah ini bukan warisan, melainkan titipan.
Keempat, jiwa kita sendiri jadi rusak. Kesepian di tengah sorotan. Sunyi di tengah ribuan atau jutaan pengikut.
Adakah jalan keluar?
Ada. Selalu ada. Selama kita mau jujur menatap diri. Selama kita berani mengakui bahwa kita terluka.
Pertama, mulailah dari kesadaran. Hari ini, Hari Kesadaran Ego. Gunakan untuk bertanya: apa makna keberadaan?
Kedua, belajar empati. Duduklah di samping orang lain. Dengarkan. Jangan hanya bicara.
Ketiga, buka ruang refleksi. Menulis jurnal. Berdoa. Berbicara dengan orang yang kita percayai.
Keempat, terlibatlah dalam kerja sosial. Bersihkan sungai. Kunjungi panti asuhan atau panti jompo. Bantu tetangga. Bantu orang susah—sebab, sungguh susah menjadi orang susah. Semua serba susah.
Kebaikan adalah obat. Kerendahan hati adalah penawar.
Kelima, jauhi pujian palsu. Bangun kepercayaan diri dari karya, bukan dari sanjungan.
Dan keenam, biarkan seni bicara. Sastra, musik, puisi—
semua bisa jadi cermin untuk menyentuh nurani.
Kita bukan Narcissus. Kita tidak harus mati mencintai bayangan sendiri.
Kita adalah makhluk sosial. Diciptakan bukan untuk dipuja, tapi untuk menyayangi.
Di hari ini, sejenak duduklah. Diam. Tarik napas panjang.
Bayangkan seseorang yang pernah kamu abaikan. Karena terlalu sibuk memikirkan dirimu. Karena merasa kamu lebih penting.
Bayangkan ia sedang menatapmu, menunggu uluran tanganmu.
Masihkah kamu berpikir kamu pusat semesta?
Hari Kesadaran Ego Sedunia bukanlah hari yang meriah. Bukan hari untuk pesta. Tapi hari untuk menghela. Menggugah. Membuka kembali pintu hati yang sudah lama terkunci oleh kata aku… aku… dan aku.
Hidup bukan tentang menjadi paling hebat. Bukan tentang paling dikagumi. Melainkan tentang menjadi manusia. Yang bisa jatuh. Bisa menangis. Dan bisa mencintai tanpa syarat.
Mari berjalan pelan-pelan. Menurunkan ego yang membumbung. Menggenggam tangan yang pernah kita dorong pergi. Menyapa yang pernah kita abaikan.
Karena di penghujung hidup, yang kita butuhkan bukanlah pujian. Tapi kehadiran.
Selamat memperingati Hari Kesadaran Ego Sedunia. Semoga kita semua, belajar untuk lebih ada bagi yang lain. Bukan untuk dipuja, tapi untuk menyembuhkan.
Barangkali, penyembuhan paling awal dari luka egoisme dan narsistik adalah ketika kita belajar menatap wajah orang lain dengan penuh kasih, dan mendengar suara mereka tanpa perlu mendominasi. Dalam dunia yang makin gaduh oleh kepentingan diri, barangkali yang paling revolusioner adalah menjadi manusia yang peduli. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah