Musriadi Musanif, Wartawan Bersahaja Itu Telah Tiada
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, tetapi jejak karyanya akan terus hidup dalam dunia jurnalistik dan literasi.

Oleh Muhammad Subhan
SENIN, 10 Maret 2025, pukul 1 dini hari. Kabar duka itu menyebar cepat di berbagai grup WhatsApp. Musriadi Musanif telah berpulang.
Saya terdiam. Sulit menerima kenyataan bahwa sahabat, guru, dan panutan itu telah tiada.
Wartawan terbaik yang pernah saya kenal telah meninggalkan dunia ini.
Saya mengenal Musriadi Musanif di awal tahun 2000-an. Ketika itu, saya mulai mengirim tulisan ke harian Singgalang. Ia salah seorang redaktur yang mengurasi tulisan-tulisan saya.
Ketelitian dan ketajaman redaksinya membentuk saya menjadi penulis yang lebih baik. Sejak itu, kami makin akrab.
Musriadi bukan sekadar wartawan. Ia adalah sosok pendiam, bersahaja, dan penuh pemikiran cerdas.
Ia tak banyak bicara, tetapi ketika berbicara, kata-katanya berbobot.
Ia kader Muhammadiyah yang gigih, menjabat sebagai Ketua PDM Pabasko. Ia juga aktif memberikan pelatihan jurnalistik bagi siswa sekolah.
Pada tahun 2009, saya menetap di kota Padang Panjang dan mengajaknya bergabung dalam Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Kebetulan, pada 2007 saya diberi mandat oleh Ketum DPN PPWI Wilson Lalengke untuk membangun jejaring PPWI di Sumatra Barat.
Musriadi merespons positif, lalu kami dirikan organisasi itu dengan semangat besar di Padang Panjang. Pada rapat, saya mengusulkannya sebagai ketua pertama. Kawan-kawan lainnya setuju.
Setelah itu, kami bekerja sama dalam berbagai kegiatan literasi, seminar, dan pelatihan jurnalistik. Di bawah kepemimpinannya, PPWI Padang Panjang berkembang pesat.
Banyak masyarakat yang tertarik untuk ikut serta dalam pelatihan jurnalistik yang kami adakan. Para pelajar pun mulai mengenal dunia tulis-menulis dengan lebih mendalam. Zaman itu era digital belum begitu masif.
Musriadi adalah guru jurnalistik yang santun. Ia tidak hanya menulis berita, tetapi juga melahirkan generasi penulis muda. Sekolah-sekolah binaannya melahirkan banyak penulis yang karyanya terbit di harian Singgalang atau media digital yang dikelolanya.
Beberapa tahun lalu, saya dan rekan-rekan wartawan mengunjungi kediamannya. Ia dikabarkan sakit. Tubuhnya tampak lebih kurus.
Namun, semangatnya tetap menyala. Setelah perawatan, ia kembali aktif, meski kondisi fisiknya tak sekuat dulu.
Ia tetap setia dengan dunia jurnalistik, tetap menjadi koresponden Singgalang untuk Tanah Datar.
Namun, pandemi membuat pertemuan kami makin jarang. Kesibukan masing-masing menjauhkan kami. Hingga akhirnya, kabar duka itu datang. Musriadi Musanif pergi untuk selamanya.
Sumatra Barat kehilangan salah satu wartawan terbaiknya. Tanah Datar dan Padang Panjang kehilangan sosok yang gigih mengawal informasi. Muhammadiyah kehilangan kader terbaiknya. Namun, karya-karyanya abadi.
Ia meninggalkan jejak yang dalam. Tidak hanya melalui tulisannya, tetapi juga melalui kebaikannya yang tulus.
Ia selalu ringan tangan membantu sesama. Tidak jarang ia memberi motivasi kepada wartawan muda agar terus belajar dan berkembang.
Sikapnya yang bersahaja membuatnya dihormati oleh banyak orang.
Kini, ia telah pergi. Namun, semangatnya tetap hidup di hati sanubari. Warisan ilmu yang ia tinggalkan akan terus mengalir, menginspirasi generasi yang akan datang.
Selamat jalan, Sahabat. Pena itu mungkin berhenti menulis di dunia, tetapi namamu akan tetap hidup dalam tulisan dan kenangan kami.
Semoga husnulkhatimah. Al-Fatihah. []
Muhammad Subhan, Tim Redaksi Majalahelipsis.id, founder Sekolah Menulis elipsis, menetap di kota Padang Panjang.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah