Mudik
Tidak semua yang pulang membawa kebahagiaan, ada yang mudik dengan senyum, tapi menyembunyikan luka.

Oleh Muhammad Subhan
MUDIK adalah pulang. Pulang ke kampung halaman. Pulang dari rantau.
Pulang karena rindu. Pulang karena gengsi. Pulang sebab lelah mengarungi hidup di negeri orang.
Setiap tahun, jutaan orang mudik. Mereka yang punya uang naik pesawat. Mereka yang berkantong pas-pasan memilih jalur darat atau laut.
Mereka yang benar-benar tak punya memilih menunda, atau memendam rindu.
Mudik adalah tradisi. Khususnya di saat Lebaran. Saat itu, jalanan penuh. Stasiun sesak. Pelabuhan dan bandara riuh.
Semua orang ingin sampai ke rumah. Bertemu orang tua. Bertemu saudara. Bertemu teman lama. Menyentuh tanah kelahiran. Menyapa tepian mandi.
Tidak semua yang mudik adalah orang yang sukses. Ada yang pulang membawa emas. Ada yang pulang membawa luka.
Rantau yang dikira hujan emas, ternyata hanya hujan batu.
Ada yang pulang dengan mobil sewaan. Ada yang mudik dengan uang pinjaman.
Orang kampung mengira mereka berhasil. Padahal, entah berapa air mata yang tertahan di balik senyum itu.
Bagi sebagian orang, mudik adalah ujian. Mereka harus tetap terlihat bahagia. Harus terlihat berhasil. Tidak boleh mengecewakan keluarga. Tidak boleh terlihat kalah di rantau.
Karena itu, ada yang lebih memilih tak pulang. Tak sanggup menanggung beban ekspektasi.
Tapi ada juga yang tak lagi punya kampung. Kampungnya sudah tenggelam. Atau kampungnya sudah hilang digusur pembangunan.
Mereka ingin pulang, tapi tak ada lagi rumah untuk disinggahi. Tak ada lagi tungku yang menyala. Tak ada lagi halaman tempat bermain di masa kecil.
Sebagian lagi memilih tak mudik karena kampung telah melukainya.
Dulu, mereka pergi karena luka. Sekarang, mereka menetap di rantau karena damai. Bagi mereka, rantau lebih ramah daripada kampung sendiri.
Mudik adalah pengingat. Bahwa hidup ini bergerak. Bahwa kampung halaman tak selalu sama. Bahwa orang tua makin tua. Bahwa rumah makin lapuk. Bahwa suatu saat, tak ada lagi tempat untuk kembali.
Mudik adalah pertanyaan. Untuk apa pulang? Untuk siapa kita kembali? Jika rumah sudah tiada, jika kasih telah usang, jika kampung hanya tinggal nama, masihkah mudik menjadi sebuah keharusan?
Mudik adalah cermin. Bagi yang pulang, bagi yang menunggu, bagi yang tak bisa lagi kembali.
Setiap orang membawa kisahnya sendiri. Dan di jalanan yang sesak, di pelabuhan yang riuh, di langit yang penuh pesawat berangkat dan tiba, ada banyak cerita yang tak terucap.
Ada rindu, ada duka, ada rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mengalaminya.
Di kampung, orang-orang menunggu dengan harapan. Anak-anak menanti bungkusan oleh-oleh. Orang tua menanti cium tangan.
Rumah-rumah dibersihkan, tikar digelar, kue-kue disiapkan. Tetapi tidak semua yang ditunggu pasti datang.
Ada anak yang tak bisa pulang, karena tak cukup ongkos. Ada yang sebenarnya bisa pulang, tapi memilih tidak.
Ada pula yang ingin pulang, tetapi tak ada lagi yang menunggu.
Ada rumah yang riuh karena tawa. Ada pula rumah yang sepi, meski pintunya tetap terbuka. Ibu menatap ke jalan, berharap melihat bayangan anaknya. Ayah menghela napas, berusaha memahami.
Tak semua kepulangan bisa diwujudkan. Tak semua rindu bisa terobati.
Mudik bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan hati.
Ada yang pulang membawa kebahagiaan. Ada yang pulang membawa beban.
Ada yang pulang untuk menggenapkan cerita. Ada yang pulang justru untuk mengucapkan selamat tinggal.
Selamat mudik, bagi yang masih punya rumah untuk pulang.
Selamat merantau, bagi yang memilih tinggal jauh.
Dan, bagi yang tak lagi punya tempat kembali, ingatlah bahwa rumah sejati ada di hati, bukan hanya pada tanah yang ditinggalkan. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Canva.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah