Moralitas dalam Pusaran Kekuasaan: Antara Kejujuran dan Manipulasi

Moralitas sering kali dipandang sebagai pedoman utama dalam kehidupan sosial yang mengarahkan manusia untuk berperilaku dengan cara yang dianggap baik dan benar.

Oleh Denni Meilizon

UNTUK memulai tulisan sederhana ini, mari kita pahami cuplikan cerita berikut, yang saya kutip dari novel karya Yudhi Herwibowo, Sang Penggesek Biola: Sebuah Roman Wage Rudolf Supratman (Penerbit Imania, 2018).

Saat di Makassar dia memang sudah mendengar kisah-kisah ketidakadilan seperti ini. Tapi, dia tidak tahu keadaannya akan semencolok ini. Sepulang dari gedung pengadilan dengan semangat membara, Supratman segera mengetik laporannya. Dia membuat judul: “Bumiputra Dapat Setahun. Belanda Hanya Dua Minggu”.

Saat Kang Amir-salah satu wartawan yang lebih senior-membaca laporannya, dia hanya bisa menggeleng-geleng kepala.

“Kau terlalu terbawa perasaan.”

Supratman hanya diam, tak mengelak.

“Kau harus menahan diri. Semua tahu, pengadilan memang hanya alat bagi pemerintah.”

“Hakim, jaksa, dan polisi yang·mengetahui pasal-pasal itu, maka mereka bisa memilih pasal-pasal itu sesuka hati. Bila untuk Bumiputra, mereka akan memakai pasal yang berat. Tapi, bila untuk orang-orang Belanda, mereka memilih pasal yang ringan.”

Kang Amir hanya mengangguk-angguk. “Maka itu, kalau kau tahu tentang itu, apa kau tak berpikir kalau tulisanmu ini bisa membahayakan kita. semua di sini?”

Supratman terhenyak. Kang Amir kemudian tersenyum. “Coba kau perhalus lagi,” ujarnya sambil menyodorkan kembali tulisan Supratman.

Supratman hanya bisa mengangguk.

Dalam adegan tersebut di atas, Supratman menyaksikan ketidakadilan sistem peradilan kolonial yang menerapkan standar ganda dalam menjatuhkan hukuman—hukum yang lebih berat untuk bumiputra, sementara orang Belanda mendapat hukuman yang lebih ringan. Ia ingin menyoroti ketidakadilan ini melalui laporannya, tetapi seorang wartawan senior, Kang Amir, mengingatkannya untuk berhati-hati karena pengadilan sejatinya adalah alat pemerintah yang dapat digunakan untuk menekan suara kritis.

Kisah di atas memperlihatkan bahwa sistem moralitas sering kali tidak diterapkan secara objektif. Agaknya, moralitas di tangan penguasa atau kelompok dominan dapat digunakan untuk membentuk narasi yang menguntungkan mereka, sementara pihak yang menentang atau berusaha membongkar ketidakadilan justru dianggap sebagai ancaman.

Kutipan ini juga menggemakan gagasan filsuf Michael Foucault tentang bagaimana wacana dan kekuasaan bekerja dalam menentukan apa yang dianggap “benar” dan “salah” dalam suatu masyarakat. Moralitas dalam konteks ini bukan lagi sekadar pedoman etis, melainkan instrumen yang dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk mendikte hukum dan kebijakan sosial.

Moralitas sering kali dipandang sebagai pedoman utama dalam kehidupan sosial yang mengarahkan manusia untuk berperilaku dengan cara yang dianggap baik dan benar. Namun, dalam praktiknya, moralitas tidak selalu menjadi cerminan kejujuran dan integritas. Sering kali, ia digunakan sebagai alat untuk menilai dan menghakimi orang lain, bahkan menjadi komoditas yang dimanfaatkan oleh individu atau kelompok untuk meraih kekuasaan. Dalam tulisan ini, akan dibahas bagaimana moralitas yang seharusnya menjadi nilai luhur justru mengalami distorsi dan berfungsi sebagai instrumen penghakiman serta strategi kekuasaan, dengan mengangkat kisah-kisah nyata sebagai refleksi.

Moralitas kehilangan makna aslinya ketika digunakan untuk menilai dan menghakimi individu berdasarkan standar yang tidak selalu objektif. Seperti yang dialami Supratman, penghakiman moral sering kali muncul dalam bentuk stigmatisasi terhadap kelompok atau individu yang memiliki pandangan atau gaya hidup yang berbeda. Dalam masyarakat yang konservatif, misalnya, seseorang yang memiliki cara berpikir progresif bisa dicap sebagai tidak bermoral. Sebaliknya, dalam lingkungan yang lebih liberal, mereka yang mempertahankan nilai-nilai tradisional bisa dianggap sebagai kolot atau tertinggal.

Di media sosial, penghakiman moral semakin menjadi-jadi. Misalnya seperti kasus seorang aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-hak pekerja sempat viral, tetapi kemudian ia dijatuhkan oleh publik karena dugaan kehidupan pribadinya yang dianggap bertentangan dengan norma sosial. Dalam kondisi seperti ini, moralitas tidak lagi berfungsi sebagai pedoman yang memupuk kebaikan bersama, melainkan sebagai sarana untuk menciptakan batas-batas sosial yang memisahkan individu atau kelompok berdasarkan standar yang sering kali bersifat subjektif.

Selain digunakan sebagai alat penghakiman, moralitas juga sering dijadikan komoditas dalam dunia politik dan kekuasaan. Pemimpin atau kelompok yang berkuasa sering kali mengklaim diri sebagai penjaga moralitas untuk memperkuat legitimasi mereka. Narasi moralitas digunakan untuk membangun citra sebagai pemimpin yang baik, sementara lawan politik mereka sering kali digambarkan sebagai tidak bermoral atau tidak memiliki nilai-nilai luhur.

Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat dalam kampanye politik di berbagai negara. Seorang kandidat dapat memenangkan pemilihan dengan mengusung isu-isu moral seperti pemberantasan korupsi atau peningkatan nilai-nilai agama, meskipun dalam praktiknya, mereka sendiri kerap terjerat skandal yang bertentangan dengan moralitas yang mereka gaungkan. Dengan demikian, moralitas dalam konteks ini tidak lebih dari strategi kekuasaan yang bertujuan untuk memperoleh dan mempertahankan dominasi atas masyarakat.

Filsuf moral klasik Immanuel Kant pernah menekankan, “bertindaklah hanya menurut prinsip yang dapat kau kehendaki agar menjadi hukum universal.” Kutipan ini mengingatkan kepada kita bahwa nilai moral seharusnya bersifat objektif dan universal, bukan alat yang dipolitisasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Dalam konteks yang lebih modern, Michael Sandel mengemukakan bahwa keadilan sejati harus dibangun atas dasar dialog dan komitmen terhadap kebaikan bersama, bukan sekadar retorika untuk memenangkan pertarungan politik. Ia berpendapat bahwa ketika moralitas diselewengkan menjadi strategi kekuasaan, maka ia justru mengikis kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai etis yang mendasarinya.

Lebih lanjut, dalam studi perkembangan moral, Lawrence Kohlberg menunjukkan bahwa moralitas merupakan proses evolusioner yang kompleks. Menurutnya, penilaian moral berkembang seiring dengan peningkatan kesadaran individu terhadap prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial. Pemahaman ini seharusnya mendorong kita untuk melihat ke dalam diri dan membangun nilai-nilai universal, bukan menggunakannya sebagai senjata untuk memecah belah.

Moralitas yang sejati harusnya bersumber dari kejujuran, integritas, dan keterbukaan terhadap keragaman. Kejujuran dalam moralitas berarti pengakuan terhadap kompleksitas kehidupan manusia serta penghormatan terhadap perspektif yang berbeda. Ketika moralitas berubah menjadi alat untuk menghakimi atau menjadi strategi politik, ia kehilangan sifat utamanya sebagai pedoman yang berorientasi pada kebaikan dan keadilan.

Moralitas bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan atau dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Ia harus tetap menjadi prinsip yang dihormati dalam segala keberagaman dan tidak digunakan sebagai alat penghakiman atau strategi politik. []

Denni Meilizon, Penulis dan Ketua Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat, Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Pasaman Barat.

Penulis: Denni Meilizon

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan