Oleh Ilhamdi Sulaiman
PAGI ini, Arman bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia adalah karyawan pabrik minuman segar milik perusahaan Amerika yang iklannya mengeklaim bisa menyegarkan hidup, meski hidup Arman sendiri tak pernah benar-benar segar.
Setelah mandi dengan air yang mengalir seperti tetesan air mata subsidi, dan sarapan mi instan rasa soto yang rasanya seperti keruhnya got-got ibu kota, Arman mengenakan sepatu yang mulai terbuka di bagian tapaknya.
Ia berjalan ke samping rumah kontrakan, tempat ia biasa menitipkan motor. Kontrakannya terlalu sempit untuk motor, dan terlalu murah untuk disebut layak. Tapi di kota ini, murah dan pasrah sudah seperti pasangan sah.
Motor itu lenyap. Arman baru ingat: kemarin motornya disita. Razia dadakan, katanya. Petugas menyebutnya penegakan hukum. Padahal yang ditegakkan lebih sering hanya tilang dan tarif derek. Motornya diangkut ke truk, karena sudah tiga tahun tak bayar pajak. Satu-satunya kendaraan yang dimilikinya.
Dengan perasaan malas ia menuju jalan raya, menunggu angkutan JakLingko gratis peduli rakyat kecil slogannya.
Di halte, Arman duduk lemas. Di sampingnya, seorang pria berseragam polisi lalu lintas tampak melamun sambil memainkan peluitnya. Tampak seperti orang stres saja. Tukang rokok yang mangkal selalu di halte tersebut mengatakan ia ODGJ baru karena dipecat ketahuan pungli oleh atasannya.
Polisi itu bergumam lirih, seolah pada diri sendiri, “Dulu, sebelum ada razia dari Propam, tiap pagi bisa dapet satu-dua…. Sekarang? Habis. Gaji bersih tak cukup bersihkan air mata istri.”
Arman melirik sekilas. Polisi itu mengenakan jam tangan mainan plastik yang baterainya sudah mati, dan sepatu kotor berlumpur tanah merah yang tampak terlalu besar pula. Ia menghela napas panjang.
“Dulu istri saya biasa makan siang di kafe rooftop, sekarang malah rooftop rumah bocor enggak bisa dibenerin,” lanjut polisi itu, lirih tapi penuh beban suaranya.
Sebelum Arman sempat menanggapi, bus datang. Penuh sesak seperti biasa. Ia berdiri di antara lautan tubuh yang penuh harap dan bau keringat perjuangan hidup untuk menaklukkan ibu kota.
Di luar jendela, mobil mewah lewat sambil dikawal sirene. Mungkin pejabat sedang buru-buru ke acara peresmian lampu jalan yang cuma hidup saat siang.
Arman memejamkan mata.
Dan ia tersentak bangun.
Ia masih di halte. Tubuhnya kaku, mulutnya sedikit terbuka. Polisi tadi sudah tak ada—mungkin benar-benar nyata, mungkin juga bagian dari mimpi yang terlalu realistis.
Langit mendung, angin malas. Spanduk pemilu bergoyang pelan, seolah menertawakan semua janji.
Arman menarik napas.
Karena kadang, hidup lebih lucu daripada mimpi. Dan lebih tragis dari acara komedi. []
Ilhamdi Sulaiman, prosais, penyair, aktor.
Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Ilhamdi Sulaiman
Editor: Muhammad Subhan













Bangun, woy, dah siang!