Oleh Ricardo Marbun
Untuk apa lagi kau pandangi pintu di depanmu yang masih terbuka? Rombongan itu sudah pergi meninggalkan keangkuhan diri. Seharusnya kau tidak perlu memedulikan Ibu sebab apa lagi artinya daging yang hampir berbau tanah ini dibanding masa depanmu yang belum terukir? Kau membiarkan mereka pergi tanpa bertindak apa pun? Bahkan, kau bilang pada Ibu, “Biarkan saja!”
Kau berdiri tanpa raut sedih di wajah. Ibu masih duduk terbelenggu perasaan bingung. Kau tersenyum kepada Ibu. Senyum yang sulit Ibu artikan maksudnya. Apakah kau seperti Ibu, begitu piawainya menutup perasaan hati? Sesaat kemudian, kau membungkuk memunguti gelas-gelas yang bahkan belum sempat berkurang isinya. Ibu tidak berani melihatnya sebab Ibu takut kau akan memergoki Ibu penuh dengan kesedihan. Kau membawa peralatan minum itu ke dapur dan Ibu berdiri mengikutimu.
“Ibu percaya Iskandar pasti berubah pikiran. Bukankah Iskandar selama ini mencintai dirimu apa adanya?” kata Ibu dari belakang punggungmu. Kau terus saja melangkah. Ibu berubah lebih berani.
“Bertemulah dengan Iskandar, Nak? Beri dia pandangan bahwa kalian adalah dua orang dewasa. Keluarga memang penting, tapi yang menjalani hidup kelak adalah kalian. Kau mau bertemu dengan Iskandar, bukan?”
Kau berhenti sampai menyentuh pinggiran meja makan. Kau yang membeli meja makan ini. Sebelumnya, kau bahkan membangun dapur rumah ini agar layak disebut dapur. Kau mengatur semuanya sendiri. Mulai mencari tukang, membuat perhitungan biaya, dan tawar-menawar harga bahan bangunan. Ibu memperhatikan caramu bekerja menimbulkan rasa bangga di dada Ibu yang kerempeng. Kau melihat Ibu dengan tatapan biasa.
“Ibu telah membentuk saya menjadi perempuan yang mengutamakan sopan santun. Bisa menempatkan diri dengan baik. Ramah kepada siapa pun. Terbuka untuk semua pemikiran, juga pandangan orang lain. Bukankah Ibu telah melakukan tindakan yang baik untuk saya? Apa dalam pertemuan tadi, Ibu melihat saya membantah? Tidak, kan? Saya lebih banyak diam dan mendengar saja, kan, Bu?”
Ibu menghela napas pelan. Uh! Andai saja tadi anggota keluarga Iskandar tidak terlalu banyak bicara, pasti pertemuan tadi akan mengarah ke jenjang yang selama ini kau impikan, bukan? Ibu tetap berpikir keras agar hubungan yang telah terjalin antara kau dan Iskandar tidak kandas begitu saja.
“Bagaimana kalau kau menuruti permintaan keluarga Iskandar?” Kau terbelalak menatap Ibu.
“Berhenti bekerja? Total menjadi Ibu rumah tangga saja? Begitu maksud Ibu?” Kau melirik Ibu tidak percaya.
“Betul, begitu. Pasti keluarga Iskandar memiliki alasan membicarakan hal seperti itu di depan sebelum kalian resmi berumah tangga. Menurut Ibu, tidak ada salahnya sama sekali, kan? Itu artinya, Iskandar adalah pria bertanggung jawab terhadap istri. Memang seharusnya begitu, kan?” ujar Ibu penuh semangat.
Kau tercenung melihat Ibu dengan cermat. Perlahan-lahan senyummu mengembang dan itu memberi sedikit harapan kepada Ibu. Kau tidak menyangka Ibu dapat berubah begitu cepat hanya karena tak ingin putrinya dicap sebagai perawan tidak laku.
“Saya tidak masalah sama sekali, Ibu. Sebagai calon istri, tentu saya akan menuruti semua permintaan calon suami saya kelak. Imam saya di masa depan. Hanya saja, kami tidak pernah membahas mengenai hal itu sebelumnya. Keluarga besar Mas Iskandar hanya mencari-cari alasan saja, menurut saya. Ibu tadi lihat sendiri, Mas Iskandar sama sekali tidak bersuara? Apa saya tidak keliru langsung mengiyakan segala permintaan mereka?” Kau mencoba memberi wawasan terhadap Ibu.
“Tapi….”
“Ibu tenang saja, ya? Kalau kami berjodoh, saya percaya, hubungan kami akan berakhir seperti harapan Ibu. Kita tunggu saja ya, Bu?” Kau berusaha menenangkan Ibu.
Malam itu, bakda Isya Ibu tertidur di depan televisi.
*
Biasanya Ibu menjahit baju-baju pesanan orang. Sejak bekerja kau sudah meminta Ibu untuk tidak menjahit lagi. Tentu kau memintanya dengan sangat hati-hati. Sebab kau tahu mesin jahit adalah napas kedua Ibu dalam menjalani kehidupan. Ibu hanyalah seorang perempuan biasa. Nasib mengukir kisahnya sendiri dalam perjalanan hidup Ibu. Ayah meninggal dalam suatu kecelakaan. Ayah bekerja sebagai penambang pasir. Dalam hujan yang deras dan berangin, pinggiran tambang yang lembek longsor menutup sempurna lubang tempat Ayah dan teman-temannya bekerja. Ayah terkubur hidup-hidup di tambang itu. Ibu menjanda di usia sangat muda. Kau masih menetek dan tidak mengerti apa-apa.
Ibu bekerja apa saja demi menyambung hidup kalian. Mulai dari buruh cuci, pembantu di rumah makan, dan belajar menjahit di rumah Bu RW pada malam hari. Ibu hidup tidak mengenal hari demi membesarkan dirimu. Siang dan malam Ibu membanting tulang untuk memberikan yang terbaik untukmu. Beruntung, kau adalah anak manis yang diberikan Allah untuk menemani hidup ibumu sebagai pengganti ayahmu. Ibu menutup seluruh lorong hidupnya dari cahaya apa pun. Bagi Ibu, cahaya dalam hidupnya hanya kau.
Tak kurang campur tangan keluarga mengingat begitu muda usia Ibu. Mereka tidak ingin melihat Ibu sendiri membesarkan kau. Bahkan pamanmu secara terbuka meminta Ibu memilih salah satu pemuda yang datang melamar, tapi Ibu tidak berminat pada seorang pun.
Tidak ada lagi campur tangan pengganggu hidup Ibu dan kau. Ibu adalah guru di setiap ayunan langkahmu. Kau sebagai anak berbakti memberi segala baktimu untuk Ibu. Kau tidak pernah menyia-nyiakan waktu, tidak peduli Ibu jarang bersamamu. Pagi Ibu bekerja di luar. Malam Ibu berteman dengan mesin jahitnya. Semua demi kau dan kalian berdua. Deru mesin itu adalah irama bagimu.
Kau melakukan tugasmu demi menyenangkan Ibu setiap melihat perkembanganmu. Prestasi demi prestasi kau hadiahkan untuk Ibu sebagai pengganti segala lelah yang telah Ibu taruhkan. Kau membawa Ibu menyaksikan wisuda terbaikmu. Ibu bercahaya seperti bulan purnama di malam terang. Kau berlari mempersembahkan semuanya untuk Ibu.
Kau keluar dari kamar disambut suara mesin jahit yang saling berlomba dari samping rumah. Ibu tidak ingin mesin jahitnya berhenti. Ibu ingin membaktikan dirinya untuk ibu-ibu muda atau perempuan putus sekolah agar mandiri. Kau mewujudkan keinginan Ibu dengan membeli sepetak tanah samping rumah dengan harga pantas. Ibu menghampirimu dengan wajah semringah.
“Kau sudah siap? Mobil yang menjemputmu sudah tiba sejak pagi. Minggu depan kau jadi pulang?” Ibu sudah kembali seperti semula.
“Jadi. Kita ke makam Ayah, ya?” Kau lihat Ibu tersenyum. Bagi kau, Iskandar hanya riak yang sedikit memberi gelombang dalam hidupmu. Mesin jahit terus memberi iramanya di benakmu.[]
Ricardo Marbun. Berasal dari Pematang Siantar, menetap di Surabaya walau lahir di Jakarta. Lulusan Universitas Negeri Surabaya, sangat mengidolakan Budi Darma. Belajar menulis secara autodidak sejak tahun 2010. Banyak karya sederhananya dimuat media nasional seperti Femina, Pesona, Kartini, Gadis, Hai, Aneka, Nova, Jawa Pos, Suara Pembangunan, Jurnal Nasional, Republika, Detik, Kompas digital, dan media online lainnya. Mengikuti perubahan, aktif mengikuti lomba cerpen dari Instagram. Menjalani hidup dengan senyum dan semangat. Berencana ingin menulis sampai ujung usia.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan AI Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Ricardo Marbun
Editor: Ayu K. Ardi
Bagi Ibu, nyawanya pun akan dikorbankan demi kebahagiaan anaknya.