Oleh Bgd. Ishak Fahmi
NEGARA modern tidak bisa hanya mengandalkan hukum yang tegas atau meritokrasi yang adil secara terpisah. Keduanya harus berjalan beriringan seperti rem dan setir pada kendaraan. Meritokrasi memastikan siapa yang berhak duduk di kursi jabatan, sedangkan hukum menjaga agar roda kekuasaan tidak melaju liar. Jika salah satunya hilang, celaka hanya soal waktu.
Hukum yang diperketat tetapi jabatan tetap diberikan kepada orang yang dipilih karena koneksi, bukan kompetensi, akan melahirkan birokrat pandai berkamuflase. Mereka mengerti cara “bermain aturan,” bukan untuk memperbaiki sistem, melainkan mencari cara melanggar tanpa terlihat. Integritas hanya menjadi slogan kosong. Sebaliknya, jika meritokrasi ditegakkan tanpa hukum yang kuat, pejabat cerdas dan berintegritas pun bisa hanyut dalam arus permisif. Orang baik terkikis karena sistem tidak memberi efek jera pada yang melanggar. Cepat atau lambat, meritokrasi runtuh, digantikan oleh praktik “asal ada jalan” yang dilindungi impunitas.
Meritokrasi adalah pagar awal, barrier to entry, agar jabatan strategis tidak jatuh ke tangan yang salah. Hukum yang kuat adalah pengikat, memastikan mereka yang sudah duduk di kursi kuasa tetap lurus dan tidak tergoda menyalahgunakan kewenangan. Dari kombinasi inilah lahir integritas sejati bukan karena takut dihukum, melainkan karena sistem mendorong, menuntut, sekaligus menghargai ketulusan.
Di titik inilah kita perlu memahami arti penting “moral hukum.” Hukum bukan hanya soal teks, pasal, dan prosedur, melainkan soal jiwa yang menghidupinya. Moral hukum adalah dimensi etis yang memberi arah, agar hukum tidak berhenti pada kepatuhan formal tetapi berfungsi sebagai penuntun keadilan. Tanpa moral hukum, regulasi apa pun bisa dijadikan alat justifikasi, bahkan untuk perbuatan menyimpang.
Seperti ditegaskan oleh filsuf hukum Jerman, Gustav Radbruch, hukum tidak boleh berhenti pada kepastian belaka. Hukum yang sekadar menekankan legalitas tanpa mempertimbangkan keadilan justru bisa berubah menjadi alat penindasan yang sah secara prosedural, tetapi batil secara moral. Inilah yang dimaksud dengan moral hukum, roh yang menjaga agar aturan tidak dijalankan sekadar demi kepatuhan formal, melainkan untuk menegakkan keadilan substantif. Jika meritokrasi dan hukum dipisahkan dari moral hukum, maka aturan hanya tinggal teks yang bisa dipelintir sesuai kepentingan.
Indikasi paling nyata ada pada praktik pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD. Konsep ini lahir dengan niat baik memberi ruang bagi aspirasi masyarakat yang mungkin tidak terserap dalam Musrenbang. Namun niat baik tanpa integritas justru rawan disalahgunakan. Anggota dewan bisa merasa pokir sebagai hak istimewa, bukan sebagai kewajiban moral. Padahal, kedudukan mereka adalah sebagai penyalur aspirasi rakyat agar terintegrasi dalam APBD , sebagai sebuah ” kewajiban ” bukan sebagai ” hak” , yang harus selaras dengan RPJMD sebagai arah pembangunan daerah.
Di sinilah moral hukum diuji. Apabila pokir diperlakukan sebagai jalur khusus dirasakan sebagai hak bukan sebagai kewajiban sebagai wakil rakyat , ia berubah menjadi bypass yang membuka ruang kepentingan sempit. Jalan pintas ini berbahaya karena menegasikan Musrenbang sebagai forum demokratis, dan pada akhirnya menciptakan potensi “APBD ganda” satu lewat Musrenbang, satu lagi lewat pokir. Padahal, seharusnya semua usulan bertemu dalam satu ruang yang sama, lalu diformulasikan bersama antara eksekutif dan legislatif. Dengan begitu, ketika palu APBD diketuk, tidak ada lagi jalur ganda. Semua usulan telah sah menjadi satu kesatuan yang wajib dijalankan oleh eksekutif melalui dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) pada tiap OPD.
Jika sistem ini dijalankan dengan kesadaran moral hukum, fungsi DPRD menjadi lebih jernih. Legislasi dan penganggaran selesai di ruang sidang. Setelah itu, tugas mereka bukan lagi turut serta dibelakang layar mengatur pelaksanaan program, melainkan mengawasi jalannya pelaksanaan. Mereka kembali ke khitah sebagai pengawas yang merupakan representasi rakyat, bukan operator proyek.
Kita perlu menegaskan integritas bukan sekadar sifat bawaan individu. Ia lahir dari lingkungan yang menuntut akuntabilitas sekaligus memberi kesempatan adil. Meritokrasi memastikan jalur menuju jabatan ditempuh melalui prestasi, bukan koneksi atau money politics. Hukum yang tegas memberi kepastian bahwa setiap pelanggaran membawa konsekuensi nyata. Moral hukum adalah roh yang menyatukan keduanya, agar aturan tidak sekadar ditaati karena takut, melainkan dijalankan karena diyakini sebagai jalan benar.
Indonesia hari ini membutuhkan keberanian untuk menegakkan meritokrasi yang sejati dan hukum yang bermoral. Tanpa itu, kita hanya akan melahirkan pejabat licik yang mahir bersembunyi di balik prosedur. Tetapi dengan keduanya, kita punya harapan lahirnya birokrat yang jujur bukan karena takut ketahuan, melainkan karena sadar kejujuran adalah satu-satunya jalan untuk membangun negeri. []
Bgd. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatra Barat.
Penulis: Bgd. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan









