Merawat Keutuhan Negara, Belajar dari Konsep Aristoteles
Konsep negara menurut Aristoteles menekankan bahwa negara harus menjadi persekutuan hidup yang akrab dan menjamin kesejahteraan seluruh warganya.

Oleh Wilfridus Fon
INDONESIA sedang tidak baik-baik saja. Ia sedang sakit. Keadaannya belum benar-benar pulih. Indonesia seolah sedang ditimpa dan diguncang penderitaan yang maha dahsyat. Penderitaan yang sedang menggejala bukan karena faktor eksternal, tapi faktor internal. Pertanyaan kita sekarang ialah bagaimana persisnya faktor-faktor internal itu? Jawaban atas pertanyaan ini ada dua, yakni masifnya konflik horisontal dan vertikal.
Pertama, konflik horizontal. Konflik horizontal menyangkut konflik antara warga negara dengan para penguasa negara. Pola laku para penguasa tidak kompatibel dengan predikat sebagai pelayan publik. Korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) terjadi, baik di level lokal maupun nasional. Aturan publik dibuat sekadar mengartikulasikan kehendak parsial dan kroni-kroninya dengan tahu dan mau tanpa rasa malu dan bersalah. Perhatian penguasa terhadap masyarakat terhalangi oleh tembok kepentingan parsial. Ratap tangis dan jeritan masyarakat yang sedang dahaga dan lapar akan kesejahteraan, keadilan, kedamaian, dan kebahagiaan karena diimpit persoalan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang terus mencekik kuat seperti tidak terdengar di gendang telinga para penguasa karena terhambat egoisme dan kezaliman.
Hal ini pada gilirannya memicu perlawanan dari masyarakat. Ada akademisi, kaum intelektual, cendekiawan, dan ahli-ahli politik gencar melayangkan kritik tajam terhadap penguasa. Ada juga kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi sipil dari pelbagai kalangan serta kelompok mahasiswa dari berbagai universitas melakukan demonstrasi besar-besaran. Semuanya itu hendak memberi sinyal bahwa kekuasaan negara sedang disalahgunakan oleh para oknum penguasa, bukan untuk kepentingan umum, tapi demi kepentingan individual semata.
Kedua, konflik vertikal. Konflik vertikal merujuk pada adanya konflik sosial di tengah masyarakat. Pelakunya ialah masyarakat itu sendiri. Masyarakat Indonesia seolah-olah telah menjadi serigala bagi sesamanya. Buas. Keji. Dan, brutal. Di tempat-tempat tertentu, konflik-konflik sosial itu mewujud dalam pelbagai bentuk. Kriminalitas, seperti pembunuhan, human trafficking, pemerkosaan, pertikaian, rasisme, bentrok antaretnis, suku, golongan, dan agama, upah yang tak adil, pencurian, perampokan, dan lainnya. Deretan konflik sosial tersebut mengandaikan raibnya cita rasa persaudaraan, belas kasih, semangat solidaritas, hospitalitas, kerukunan, dan kekeluargaan di tengah masyarakat Indonesia.
Inilah potret kelam Indonesia pada hari-hari ini yang membutuhkan solusi. Kondisi demikian menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang luar biasa karena mengancam keutuhan negara. Di tengah kondisi demikian, bagaimana cara agar kesadaran kolektif masyarakat Indonesia akan pentingnya menjaga keutuhan negara terbentuk?
Belajar dari Konsep Negara Aristoteles
Konsep negara Aristoteles, pemikir Yunani Kuno, penting dalam hal ini. Bagi Aristoteles, manusia ialah hewan politis (political animal). Ciri inilah yang menjadi dasar genealogi negara. Negara adalah persekutuan hidup tertinggi yang terbentuk melalui persekutuan-persekutuan terkecil. Keluarga adalah bentuk persekutuan pertama yang dibentuk manusia untuk memenuhi kebutuhan material dan tuntutan biologis sehari-hari. Kemudian, gabungan dari keluarga-keluarga membentuk desa-desa guna memenuhi kebutuhan sosial. Lalu, desa-desa membentuk polis (negara-kota) guna memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terpenuhi dalam keluarga dan desa seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, dan bahkan semua aspek hidup. Polis adalah persekutuan hidup terakhir manusia (J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, 1988:37-38).
Aristoteles mamahami negara sebagai persekutuan hidup politis (=he koinonia politike, bahasa Yunani). Pemahaman ini mengandung beberapa makna penting. Pertama, Aristoteles hendak mengandaikan bahwa negara sebagai organisme. Negara bukan saja kumpulan-kumpulan yang teratur, tapi juga suatu persekutuan hidup yang menunjukkan keterhubungan yang organik antara warga negara yang satu dengan lainnya.
Kedua, istilah koinonia dalam bahwa Yunani merujuk pada suatu bentuk relasi antar manusia yang khusus, akrab, mesra, dan lestari. Jika negara dipandang sebagai persekutuan hidup politis, maka hubungan antar warga negara dalam satu polis haruslah bersifat khusus, erat, akrab, mesra, dan lestari juga. Ketiga, hakikat negara adalah keluarga. Dalam sebuah keluarga diandaikan bahwa semua anggota memiliki rasa persaudaraan, belas kasih, keakraban, dan kesatuan yang intim agar bertahan lama. Prinsip yang sama juga berlaku dalam negara. Dalam satu negara, relasi warga negara harusnya diwarnai oleh kekhususan, keakraban, dan kemesraan guna menopang keutuhan dan kesatuan negara (Ibid., hlm.34-35).
Lebih lanjut, Aristoteles menegaskan bahwa tujuan akhir negara bersifat universalistis, bukan individualistis. Negara ada bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk warganya. Warga dimaksud bukan menyangkut perorangan atau kelompok-kelompok tertentu, tetapi mencakupi warga negara secara keseluruhan. Negara harus menjamin kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya karena hanya di dalam kesejahteraan bersama, kesejahteraan individual dapat diperoleh. Artinya, tujuan negara tidak tertuju kepada individu, kelompok-kelompok tertentu, atau hanya kepada kelompok penguasa, tapi kepada warga negara secara keseluruhan, baik pemerintah maupun yang diperintah (Ibid., hlm. 40-42).
Aristoteles menentang triologi pemimpin politik seperti infelibel, absolutisme, dan otoritarianisme. Infelibel merujuk pada sikap penguasa yang mematok diri sebagai sumber kebenaran dan tidak pernah bersalah. Ia kemudian kedap terhadap kritik masyarakat. Infelibel ini akan memasuki fase absolutisme, di mana penguasa merasa paling berkuasa. Lalu, absolutisme akan masuk fase otoritarianisme, di mana penguasa dapat bersikap agresif, despotis, korup, dan penuh kezaliman. Triologi politik tersebut, demikian Aristoteles, potensial menghancurkan negara jika dipakai sebagai lokomotif politik.
Selain itu, Aristoteles juga hendak menegaskan bahwa semua warga negara setara dan sama. Tidak ada yang superior dan inferior. Fakta perbedaan, baik suku, budaya, agama, profesi, dan lain sebagainya, bukanlah gap yang membatasi setiap orang dalam berelasi. Semua fakta perbedaan haruslah dipandang sebagai kakayaan dan kaunikan yang luar biasa karenanya patut disyukuri. Sebagai warga negara yang sama, semua orang seyogyanya memiliki hospitalitas, cinta kasih, solidaritas, terhadap yang lain. Yang lain bukan musuh, tetapi sebagai saudara, saudari, keluarga, dan sahabat. Pada titik ini, Aristoteles menegaskan tindakan pembunuhan, pencurian, perampokan, perdagangan manusia atau human trafficking, kerja paksa, upah yang tak adil, perbudakan, pemerkosaan, pertikaian, rasisme, dan peperangan antar etnis, suku, golongan, dan agama adalah sesuatu yang buruk dan harus dihindarkan. Dengan demikian, keharmonisan dan keutuhan negara niscaya tercipta jika yang buruk dapat diselesaikan dengan cara-cara bijak dan mengedepankan supremasi hukum seadil-adilnya. []
Wilfridus Fon, Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, NTT.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Canva.
Penulis: Wilfridus Fon
Editor: Ayu K. Ardi