Oleh Bgd. Ishak Fahmi
SUDAH saatnya hak mendasar untuk memilih dan dipilih, terutama bagi calon legislatif, tidak lagi menjadi lahan subur bagi popularitas dan kekayaan semata. Demokrasi sejati semestinya lahir dari fondasi kompetensi yang terukur bukan sebatas jumlah suara atau gemerlap dana kampanye. Jika hak politik itu dibiarkan bebas tanpa standar kualitas, sesungguhnya bangsa ini tengah mengabaikan hak asasi masyarakat yang memiliki kapasitas dan integritas tinggi, namun terpinggirkan karena kurang populer atau tak berlimpah harta.
Kita hidup di tengah sistem demokrasi yang kerap mengagungkan simbol, bukan substansi. Pemilu berubah menjadi ajang adu poster, baliho, dan citra, bukan lagi ruang untuk menguji gagasan dan kapasitas calon wakil rakyat. Akibatnya, banyak parlemen diisi oleh figur yang berangkat dari popularitas instan, bukan dari proses panjang memahami tata kelola pemerintahan, ekonomi rakyat, atau kebijakan publik. Padahal, jabatan legislatif bukan ruang magang bagi ketenaran, melainkan amanah besar yang menuntut tanggung jawab intelektual dan moral.
Wakil rakyat sejatinya adalah pelayan publik. Ia mengemban tiga peran utama membuat aturan yang adil, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menjaga keberlangsungan demokrasi. Fungsi ini jelas bukan tugas ringan yang boleh diserahkan kepada mereka yang hanya bermodalkan nama besar atau kantong tebal. Di sanalah urgensi kompetensi menjadi kebutuhan mendesak.
Kompetensi yang dimaksud tidak berhenti pada syarat administratif seperti ijazah atau status partai. Ia mencakup kemampuan berpikir kritis, memahami masalah sosial ekonomi rakyat, serta memiliki etika publik yang kokoh. Negara mestinya mewajibkan adanya mekanisme seleksi yang tidak hanya menilai kelengkapan berkas, tetapi juga kualitas pemikiran dan komitmen kebangsaan.
Ketika popularitas dan uang mendominasi proses pencalonan legislator, sesungguhnya terjadi diskriminasi terselubung terhadap warga yang berkompeten namun tak memiliki modal besar. Demokrasi pun menjadi ironi yang berhak mewakili rakyat bukan mereka yang terbaik, tetapi yang terkuat secara finansial. Akibatnya, parlemen sering kali menjadi panggung kompromi kepentingan, bukan ruang perumusan kebijakan yang berlandaskan nalar dan keadilan.
Padahal, demokrasi sejati bukan sekadar permainan angka. Ia adalah kewajiban negara untuk menciptakan ruang partisipasi yang adil dan bermartabat. Negara harus memastikan bahwa hak politik warga tidak dimonopoli oleh kekuatan materi atau dinasti politik. Dalam hal ini, keadilan elektoral menjadi ukuran moral bangsa apakah demokrasi kita masih melindungi hak mereka yang cerdas, berintegritas, dan berpengalaman, namun tersingkir oleh sistem yang mahal?
Dalam perspektif tata kelola bernegara internasional, Dr. Michael C. Dorf, pakar hukum konstitusi dari University of Columbia, menegaskan: “Good governance is not merely the product of democratic choice but the outcome of institutional structures that ensure accountability, transparency, and competence in the exercise of public power.” Pernyataan itu menegaskan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik tidak cukup lahir dari pilihan rakyat semata, melainkan dari struktur kelembagaan yang menjamin akuntabilitas, transparansi, dan kompetensi. Dengan kata lain, kualitas demokrasi tidak diukur dari banyaknya partai atau pemilu yang rutin digelar, melainkan dari mutu para pelaku di dalamnya.
Indonesia perlu berani melangkah melampaui syarat minimalisme demokrasi menuju sistem yang berorientasi pada kualitas. Seleksi calon legislatif harus melibatkan uji publik yang benar-benar menilai kemampuan intelektual, pemahaman terhadap kebijakan publik, serta rekam jejak moral. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi ritual lima tahunan tanpa arah yang jelas.
Bayangkan sebuah negara di mana kursi parlemen diisi oleh orang-orang yang memahami ekonomi rakyat, hukum, dan etika politik. Mereka bukan sekadar penyambung lidah konstituen, tapi juga perumus kebijakan yang solutif dan visioner. Demokrasi seperti itu bukan utopia ia mungkin terwujud jika kita berani mengubah paradigma dari popular based politics menjadi competence based democracy.
Kita tidak sedang menolak hak dasar siapa pun untuk dipilih. Namun, setiap hak selalu melekat dengan kewajiban. Dalam hal ini, kewajiban utama calon wakil rakyat adalah memastikan dirinya layak secara kompetensi untuk mengemban amanah rakyat. Sama halnya seperti seorang dokter yang tak boleh praktik tanpa lisensi, atau seorang pilot yang wajib lulus pelatihan sebelum menerbangkan pesawat mengatur negara pun tidak bisa diserahkan pada mereka yang hanya berbekal niat dan nama besar.
Demokrasi yang sehat justru tumbuh ketika negara dan masyarakat bersama sama membangun standar etika politik yang tegas bahwa setiap wakil rakyat harus memiliki kapasitas intelektual, moralitas publik, dan visi kebangsaan yang jelas. Ini bukan bentuk pembatasan, melainkan perlindungan terhadap kualitas bangsa itu sendiri.
Untuk itu, undang-undang tentang pemilu dan partai politik perlu dievaluasi ulang. Regulasi harus membuka ruang bagi seleksi berbasis merit dan integritas, bukan semata persaingan uang dan suara. Lembaga penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil perlu menegakkan prinsip fit and proper test yang obyektif. Partai-partai politik juga mesti berani melakukan kaderisasi yang berorientasi kualitas, bukan popularitas.
Demokrasi Indonesia telah matang secara prosedural, namun belum dewasa secara substansial. Kita memiliki pemilu yang rutin, tetapi belum memiliki mekanisme kuat untuk memastikan siapa yang pantas duduk di kursi pengambil kebijakan. Akibatnya, banyak keputusan strategis diambil tanpa nalar publik yang kuat, melainkan atas dasar kepentingan sesaat.
Maka, sudah saatnya kita membangun demokrasi yang menghargai esensi hak asasi manusia, bukan sekadar ritual elektoral. Demokrasi yang tidak hanya memberi suara, tapi memastikan suara itu benar-benar diwakili oleh mereka yang pantas.
Negara harus berani menegaskan bahwa hak dipilih juga menuntut kewajiban memenuhi standar kompetensi. Sebab di tangan para legislatorlah nasib hukum, pendidikan, kesejahteraan, dan masa depan bangsa ditentukan. Demokrasi bermartabat dimulai dari sini dari keberanian menegakkan standar yang tidak boleh dikompromikan terhadap kualitas. Karena di balik setiap keputusan parlemen, ada masa depan bangsa yang sedang dipertaruhkan.
Dan bangsa yang besar, tidak pernah membiarkan nasibnya ditentukan oleh popularitas semu, tetapi oleh kapasitas yang sesungguhnya. []
Bgd. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatra Barat.
Penulis: Bgd. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan










