Menulis
Menulis adalah warisan intelektual yang harus dilanjutkan generasi muda. Melalui menulis, seseorang bisa berdakwah, berbagi ilmu, dan meninggalkan jejak keabadian.

Oleh Muhammad Subhan
MENULIS adalah pekerjaan sunyi. Tapi dari kesunyian itulah lahir kekuatan. Kekuatan untuk menyampaikan. Kekuatan untuk mengubah. Kekuatan untuk mengabadikan.
Membaca adalah syarat awal. Tanpa membaca, menulis kehilangan isi. Orang yang banyak membaca kaya kosakata. Kaya wawasan. Kaya sudut pandang.
Namun, menulis lebih dari itu. Menulis adalah membaca ulang hidup. Menulis adalah berpikir dalam bentuk kata. Menulis adalah proses menyusun ulang dunia dalam imajinasi dan logika.
Banyak orang bisa berbicara, tapi tidak semua mampu menulis. Berbicara bisa spontan. Menulis membutuhkan perenungan. Kesabaran. Keberanian.
Dalam sejarah, menulis adalah tradisi ulama. Para ulama dahulu bukan hanya piawai berdakwah di mimbar. Mereka juga menulis. Meninggalkan jejak pemikiran. Yang bisa dibaca hingga kini.
Salah satunya Buya HAMKA. Ulama, sastrawan, dan pemikir. Lewat karya-karyanya, ia hidup kembali. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Dan tentu, Tafsir Al-Azhar yang masyhur itu.
Fisiknya telah tiada. Namun, kata-katanya tetap berbicara. Melintasi zaman. Menyapa generasi baru. Menginspirasi jiwa-jiwa muda.
Selain HAMKA, ada pula ulama-ulama Minang lainnya. HAKA (Haji Abdul Karim Amrullah), ayah HAMKA. Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Zainuddin Labai el-Yunusiyyah. Natsir. Banyak lainnya. Mereka semua berdakwah dengan pena. Dengan tulisan.
Tulisan mereka menembus batas. Menolak dilupakan waktu. Mereka telah tiada, tapi pemikirannya tetap ada.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Kini kita hidup di era digital. Semua orang bisa menulis. Namun, tidak semua mau. Teknologi memberi kemudahan. Namun, kemudahan sering disia-siakan.
Generasi muda harus melanjutkan tradisi menulis. Bukan hanya untuk eksistensi. Tetapi untuk kontribusi. Untuk perenungan. Untuk peradaban.
Menulis bukan hanya soal kata. Menulis juga menyentuh aspek kesehatan. Psikologis. Menulis bisa menjadi terapi jiwa. Menyalurkan emosi. Mengurai benang kusut pikiran. Bahkan memperbaiki suasana hati.
Dalam aspek ekonomi, menulis bisa menjadi profesi. Penulis buku. Jurnalis. Kreator konten. Penulis naskah. Penerjemah.
Semua bermula dari kata yang ditulis dengan kesungguhan.
Dalam dakwah, menulis memiliki jangkauan luas. Lebih luas dari suara di masjid. Lebih tahan lama dari ceramah lisan. Tulisan bisa dibaca siapa saja. Kapan saja. Di mana saja.
Pendidikan perlu memberi ruang untuk menulis. Bukan sekadar tugas sekolah. Tapi sebagai proses pengembangan diri. Sanggar menulis perlu dibentuk. Didampingi. Diberi ruang untuk tumbuh.
Termasuk di bulan Ramadan. Pesantren Ramadan jangan hanya berisi ceramah. Tapi juga materi menulis. Menulis puisi islami. Menulis cerpen bertema keteladanan Nabi. Menulis kisah hikmah.
Bayangkan, setiap Ramadan lahir ribuan tulisan. Dikumpulkan. Dibukukan. Menjadi warisan intelektual dari masjid dan musala. Menghidupkan Ramadan dengan kreativitas.
Narasumbernya bisa siapa saja. Penulis. Jurnalis. Guru yang menulis. Tak harus ustaz atau ustazah. Yang penting tulisannya menyentuh dan menggugah.
Menulis tak bisa diburu. Ia harus dibiasakan. Setiap hari. Sedikit demi sedikit. Seperti mengasah pisau. Bila berhenti, tumpul. Bila konsisten, tajam.
Menulis menuntut disiplin. Menuntut kerendahan hati untuk belajar. Menuntut ketekunan yang tak kenal lelah.
Menulis juga membangun peradaban.
Lihatlah bangsa-bangsa besar. Semua menyimpan peradabannya dalam tulisan. Lewat buku. Lewat naskah. Lewat dokumen-dokumen sejarah.
Kita tidak ingin hanya menjadi bangsa pembaca. Kita harus juga menjadi bangsa penulis. Penulis yang menulis bukan sekadar karena tugas. Tapi karena kesadaran. Bahwa menulis adalah ibadah.
Maka jangan tunggu sempurna. Tulis saja. Karena kata-kata yang kita tulis hari ini, bisa jadi penyelamat seseorang di masa depan.
Mungkin tulisan kita sederhana. Namun, bisa mengubah arah hidup seseorang. Mungkin kita hanya menulis puisi. Tapi bisa menyentuh jiwa yang patah.
Mungkin kita hanya menulis catatan Ramadan. Namun, bisa menjadi cermin perjalanan iman.
Menulis itu menanam. Hari ini kita tanam huruf demi huruf. Besok, mungkin tumbuh doa-doa dalam bentuk buku. Dan kelak, kita akan dikenang. Bukan karena apa yang kita punya. Tapi karena apa yang telah kita tulis.
Jika kita ingin dikenang, menulislah. Jika ingin berdakwah tanpa batas, menulislah. Jika ingin menolong jiwa sendiri dan jiwa orang lain, menulislah.
Dan, jika hari ini terasa sunyi, menulislah. Sebab, dari sunyi itu, lahir suara paling jujur dari hati kita. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah